Ketegaran Seorang Ibu: Ketika Sekolah Dinilai Tak Memihak Korban

Ketegaran Seorang Ibu: Ketika Sekolah Dinilai Tak Memihak Korban

Spread the love

Tangerang Selatan – Tak ada yang lebih menghancurkan hati seorang ibu selain melihat anak gadisnya terluka… dan baru mengetahuinya saat semuanya sudah terjadi.

Itulah yang dirasakan Elly, seorang ibu tunggal yang hidup hanya berdua dengan putri semata wayangnya, Putri (nama samaran) berusia 16 tahun. Sejak kecil, Putri adalah gadis ceria yang selalu terbuka pada ibunya. Namun semuanya berubah setelah ia dekat dengan Jhon ( bukan nama sebenarnya), teman sekelasnya di sebuah SMA internasional di Tangerang.

Putri mulai sering pulang larut malam, acuh pada nasehat, dan menutup diri. Elly sempat berpikir ini hanya fase remaja biasa. Sampai suatu malam, ia menemukan bercak mencurigakan di pakaian anaknya. Saat ditanya, Putri marah besar. Tapi Elly tahu, naluri seorang ibu tak pernah salah.

Beberapa hari kemudian, Putri akhirnya mengaku. Dengan tangis tak terbendung, ia bercerita bahwa dirinya telah mengalami tekanan dalam relasi dengan Jhon. Hubungan mereka bukan lagi hubungan sehat remaja. Putri mengaku telah beberapa kali “dipaksa menuruti” permintaan Jhon, bahkan dengan cara yang membuat Elly nyaris pingsan saat mendengarnya.

“Saya tidak bisa diam. Anak saya harus dilindungi. Saya akan cari keadilan sampai ke ujung dunia kalau perlu,” ucap Elly dengan suara bergetar, namun matanya penuh ketegasan.

Lapor Polisi, Langkah Awal Mencari Keadilan

Didampingi kuasa hukumnya, Rio Saputro, Elly melaporkan Jhon ke pihak kepolisian pada 13 Mei 2025. Laporan tersebut tercatat dengan nomor LB/B/1015/V/2025/SPKT/POLRES TANGERANG SELATAN/POLDA METRO JAYA.

Terlapor dikenakan pasal-pasal serius yang mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

“Ini bukan soal balas dendam. Ini soal perlindungan terhadap anak-anak kita. Jangan tunggu anakmu sendiri jadi korban,” tambah Elly.

Sekolah Tak Mendukung, Elly Semakin Terluka

Bukannya mendapat dukungan, Elly justru kecewa karena pihak sekolah tempat Putri menimba ilmu dinilai tidak berpihak pada korban.

Putri dikeluarkan dari sekolah dengan cara halus—melalui surat pengunduran diri yang seolah-olah dibuat atas keinginan sendiri. “Kami dipaksa mundur secara elegan,” kata Elly pahit.

Karena merasa tidak mendapat perlindungan dari lingkungan sekolah, Elly akhirnya memindahkan Putri ke rumah saudaranya di luar kota. Ia ingin anaknya tenang, jauh dari trauma dan tekanan sosial yang makin berat.

Untuk Semua Orangtua: Dengarkan Anakmu, Jangan Abaikan Tanda-tandanya

Kisah Elly bukan cuma cerita satu ibu. Ini peringatan untuk semua orangtua: Jangan mengabaikan perubahan kecil pada anak. Dengarkan mereka. Peluk mereka sebelum dunia membuat mereka memilih diam.

“Saya terlambat memahami tanda-tandanya. Tapi saya tak akan terlambat membela anak saya,” ucap Elly, menahan air mata.

Kini, Elly berjuang di jalur hukum. Untuk Putri. Untuk semua anak yang takut bicara. Dan untuk suara-suara yang selama ini terpaksa diam.[÷]

error: Content is protected !!