Esensi Kemanusiaan dalam Hindu: Tautan Agama dengan Ilmu dalam Ruang Pasca-Industri

Esensi Kemanusiaan dalam Hindu: Tautan Agama dengan Ilmu dalam Ruang Pasca-Industri

Spread the love

Klik NEWS 

Om Swastyastu, Om Awignam Astu Namo Sidham. Umat Sedharna semoga dalam keadaan sehat dan berbahagia, Mimbar Hindu pekan ini mengangkat tema tentang esensi kemanusiaan.

Siapakah itu manusia? atau apa itu kemanusiaan? Usaha untuk mencari jawaban atas dua pertanyaan ontologi tersebut menuntun saya untuk menoleh kembali kepada kebijaksanaan kuno seturut teks Suci Agama Hindu.

Sloka Manawa Dharmasastra Bab I. 96 mengungkap esensi kemanusiaan menurut Agama Hindu. Sloka tersebut berbunyi: “di antara sesama Ciptaan Tuhan, yang berjiwalah yang lebih utama, di antara yang berjiwa yang hidup dengan pikiranlah yang lebih utama, di antara yang hidup dengan pikiran, manusialah yang lebih utama, di antara manusia tak ada yang melebihi mereka yang berkualitas Brahmana”.

Sloka Manawa Dharmasastra tersebut memberikan pemahaman dan refkelsi terkait hakikat kemanusiaan sebagai berikut.

Pertama, pemahaman bahwa manusia memiliki kesitimewaan berupa kemampuan dalam menggunakan pikirannya untuk mengembangkan peradaban yang lebih tinggi dari makhluk lainnya. Dalam agama Hindu, manusia memiliki Sabda, Bayu dan Idep, sedangkan makhluk selain manusia hanya memiliki Sabda dan Bayu. Melalui idepnya, sabda dan bayu bertranformasi. Sabda artinya bunyi atau suara, dari suara jadilah tanda, dari tanda jadilah simbol. Bayu adalah energi, dari energi jadilah dia kerja, dari kerja jadilah karya.

Pentingnya kegunaan pikiran yang mengikuti nalariah ini telah banyak dibahas di berbagai penelitian dan diterbitkan dalam buku-buku populer. Misalnya, Buku “Sapiens” karya Yuval Noah Harari. Manusia mampu merekam ragam implus dari luar dirinya, kemudian menyimpan dan mengolahnya, serta mencoba untuk merekayasa dan memecahkan masalah.

Hasil dari pemecahan masalah ini kemudian dijadikan pedoman hidup. Tidak berhenti di sana, jawaban yang telah diperoleh diturunkan ke generasi berikutnya. Generasi baru tersebut menggunakan daya kreativitas atas jawaban masalah leluhurnya. Inilah keistimewaan manusia, selalu menemukan jawaban baru atas masalah klasik sehingga peradaban terus berlanjut, berkembang, bergerak ke arah beradab.

Kongkritnya, manusia mulai memecahkan masalah purba dalam hidupnya, merekanya dalam bentuk lukisan, gambar, peninggalan arkeologi, meningkat menjadi bahasa, tulisan dan akhirnya sastra. Kemudian, manusia mendelegasikan hal itu kepada generasi berikutnya. Generasi baru ini menjadikan jawaban pendahulunya sebagai acuan dalam memproduksi jawaban yang lebih baru dan kreatif. Inilah yang dimaksud “idep-nya manusia menggerakkan manusia ke arah kehidupan yang lebih beradab”.

Manusia telah mengkonstruksi pengetahuannya menjadi ilmu, dan terus memproduksi produk pengetahuan itu sendiri, sehingga memudahkan hidupnya. Seperti halnya kutipan kekawin Niti Satra menyatakan, ‘Nora ana mitra manglewihane wara-guna maruhur’. Artinya “tidak ada sahabat yang dapat melebihi pengetahuan yang tinggi faedahnya”.

Pengetahuan adalah produk dari kemanusiaan yang terus akan berkembang dan memberikan keistimewaan pada manusia. Dengan demikian manusia adalah makhluk berilmu. Itulah pemahaman yang dapat kita petik.

Adapun refleksi atau renungan dari sloka manawa dharmasastra I.96 adalah bahwa manusia harus menuju pada kualitas manusia Brahmana. Dalam pengertian yang lebih empirik, manusia harus menggunakan ilmunya atau idepnya untuk menjadikan dirinya menjadi manusia berkualitas Brahmana, atau ber”wiweka”.

Di sinilah agama Hindu memberikan batasan untuk pengembangan Ilmu yang terlalu frontal. Sehingga, ilmu memiliki nilai yang membuat kehidupan manusia lebih baik dan bermanfaat.

Dalam agama Hindu, tersebar begitu banyak contoh yang mengaitkan ilmu dengan nilai. Kisah-kisah mitologi seperti kehancuran raksasa Sunda dan Upasundha atau kematian raksasa Mahesasura. Ketiga raksasa ini menggambarkan ketekunan dalam memperoleh ilmu namun memanfaatkan ilmu yang dimiliki dengan cara yang tidak baik sehingga menimbulkan kehancuran.

Ilmu harus tertuju pada keharmonisan hubungan manusia dengan alam/lingkungan hidupnya. Keharmoniasan manusia dengan manusia dalam ruang yang tidak terbatas dan keharmonisan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta, dalam rumusan bijaksana tetua kita melalui pembacaan atas teks-teks suci Hindu disebutkan sebagai “Tri Hita Karana”.

Ilmu manusia harus diperuntungkan untuk menjaga kelangsungan lingkungan hidup atau pelestarian alam. Dalam Isa Upanisad sloka 1, lingkungan hidup/alam aemesta dianalogikan sebagai bagian dari “Tuhan”, Isavasyam Idam Sarvam, Yat Kim Ca Jagatyam Jagat,. Artinya, ketahuilah apapun yang bergerak dan tidak bergerak di dunia ini (Bumi), diliputi oleh Tuhan.

Dengan demikian kelangsungan hidup, tetumbuhan, binatang, hewan, rerumputan, air, danau, laut dan seluruh eksistensi biotik harus terus dijaga keseimbangannya. Karena merawat lingkungan hidup sebagaimana Isa Upanisad menyatakan sama dengan merawat “ Tuhan”.

Analogi ini dikuatkan oleh rangkaian laporan dari penulis terkemuka yaitu Elizabeth Kolbert dalam Bukunya “Sixth Extinction”. E. Kolbert menyatakan fisik lingkungan sangat tergantung pada manusia karena kita memasuki masa Antroposen. Yaitu, manusia dengan ilmunya menjadi penentu dari kelangsungan lingkungan hidup untuk mencegah kehancuran keenam bumi yang tidak alami.

Begitu juga dalam pemahaman filsafat Samkhya, terdapat analogi bahwa Tuhan dapat dimengerti melalui kerja fisik bumi/lingkungan hidup. Bumi dapat dirasakan melalui kerja fisik manusia. Sehingga antara makrokosmos dan mikrokosmos adalah satu kesatuan yang kedua fisik yang harus dijaga kelangsungan hidupnya. Fisik bagi agama Hindu juga harus dijaga karena merupakan sarana untuk memahami, alam lingkungan/bumi bahkan juga untuk mencapai pengetahuan Abadi atau Moksa, “Moksanam Sariram Sadhanam”.

Dengan ilmunya manusia harus membangun tata hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Karena manusia adalah makhluk yang niscaya sosial. Dalam Atharwa weda X.8.29 berbunyi “Demikianlah manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan suatu kesatuan dengan alam semesta ini”.

Dari sloka ini kita belajar bahwa kehidupan manusia selalu terkait dengan kehidupan orang lain, mulai dari dalam kandungan sampai pada kematian. Dari saling keterkaitan ini, Ilmuan David Christian, menyatakan bahwa manusia mengembangkan sistem tatanan baru yang khas manusia, suatu sistem yang akan menandakan bahwa manusia adalah berbeda dengan makhluk lainnya. Sistem tatanan yang mempu menopang segala lini kehidupan dari privat, keluarga, lingkungan desa, sampai pada negara, dengan pengorganisasian yang rumit dan kompleks serta sistem birokrasi yang tertata. Inilah kemampuan sosial yang khas manusia sebagaimana sloka Atharwa Weda.

Dengan manusia juga menjalin hubungan harmonis dengan Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, suatu daya yang tidak terjangkau hanya melalui nalarnya. Manusia mengetahui kemahakuasaan Tuhan dari seluruh aspek alam semesta yang bekerja begitu teratur dan tertata, kehidupan yang membentang dari mikroorganisme sampai mahkluk-mahkluk raksasa, keindahan alam berikut rahasianya yang belum jerjamah oleh ilmunya.

Nalar adalah jembatan bagi manusia untuk sampai pada puncak “Para Widya” atau pengetahuan yang utama tentang hakikat awal Kehidupan, perjalanan Hidup, dan peleburan kembali, menuju tatanan yang baru yang bersifat niscaya. Proses kontruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi yang tergambar dalam konsep Tri Kona dikerjakan oleh “Yang serba Maha”. Dari kemahakuasaan dan ketidak-terbatsan itulah kita umat manusia menciptakan niyasa untuk mendekatkan diri kepada kemahakuasaan Hyang Widhi.

Umat sedharma, adapun yang dapat saya simpulkan dari uraian tentang esensi kemanusiaan dalam Agama Hindu adalah bahwa manusia tidak hanya dicerna secara fisik, pun tidak dapat dipahami hanya dengan kemampuan nalar, atau hanya mentalitas semata. Manusia adalah satu kesatuan di antara ketiga itu. Namun dengan pikirannya atau idepnya, manusia mampu mengembangkan kehidupan yang jauh lebih beradab dibandingkan dengan mahkluk lainnya. Dengan kemampuan idepnya, manusia harus hidup harmonis dengan alam lingkungannya, dengan sesama manusia dan dengan Hyang Widhi dan para leluhur.

Umat Sedharma semoga uraian yang saya sampaikan memiliki manfaat baik secara kognitif, afeksi dan tindakan sosial. Rahayu. Om Santih Santih Santih Om.

Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya (Rohaniwan Hindu)

error: Content is protected !!