Gereja dan Lumbung Ekonomi Umat

Gereja dan Lumbung Ekonomi Umat

Spread the love

Oleh: Nick Irwan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024 mencatat, lebih dari 25 juta penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Di tengah tekanan inflasi dan ketidakpastian ekonomi global, beban hidup masyarakat, termasuk jemaat gereja dari kalangan menengah ke bawah, kian terasa berat. Dalam konteks inilah, gereja tidak hanya dipanggil untuk menjadi menara doa, tetapi juga sebagai agen transformasi sosial-ekonomi yang konkret.

Gereja, dengan basis komunitasnya yang solid, memiliki modal sosial yang luar biasa. Jejaring kepercayaan dan rasa kebersamaan yang sudah terbangun merupakan fondasi yang kuat untuk membangun lumbung ekonomi. Sayangnya, potensi kolosal ini sering kali belum dimanfaatkan secara optimal. Inisiatif yang ada, seperti festival kuliner atau bazar UMKM, kerap berjalan dalam skala terbatas dan eksklusif, hanya melayani kalangan internal gereja sendiri. Padahal, esensi pemberdayaan sejati terletak pada kemampuan menciptakan ekosistem yang lebih luas.

Bayangkan jika semangat “jemaat bantu jemaat” ini diekskalasi. Sebuah festival kuliner berskala kota, yang diinisiasi oleh kerja sama gereja-gereja lintas denominasi, bukan hanya sekadar acara. Ia menjadi sebuah gerakan ekonomi sirkular yang powerful. Dana yang dihimpun dari gereja-gereja yang lebih mampu dapat dialokasikan sebagai modal bergulir bagi UMKM jemaat dari gereja yang berada di daerah kurang mampu. Proses produksi, mulai dari pembelian bahan baku, dapat diputar di dalam komunitas. Selanjutnya, pemasaran dilakukan melalui platform digital terpadu dan event-event besar yang menjangkau pasar lebih luas.

Gerakan semacam ini memiliki dampak berlapis. Pertama, ia langsung meringankan beban ekonomi jemaat dengan membuka akses permodalan dan pasar. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa 60% UMKM menganggap akses permodalan dan pemasaran sebagai kendala utama. Gereja dapat menjawab persoalan ini secara kolektif. Kedua, ia mempraktikkan ekonomi sirkular dimana uang berputar lebih lama di dalam komunitas, memperkuat ketahanan ekonomi lokal. Ketiga, dan yang tak kalah penting, kolaborasi ini menghadirkan kesaksian visual yang nyata tentang persatuan tubuh Kristus yang membawa berkat bagi kota dan wilayah tempatnya berada.

Pada akhirnya, panggilan gereja di zaman yang penuh tantangan ini adalah menjadi tangan dan kaki Kristus yang aktif. Melihat gereja bukan hanya sebagai tempat ibadah mingguan, tetapi sebagai simpul kekuatan ekonomi yang inklusif dan transformatif. Dengan memanfaatkan modal sosial, membangun kolaborasi strategis, dan berfokus pada pemberdayaan berkelanjutan, gereja dapat benar-benar menjadi garam dan terang, tidak hanya dalam narasi spiritual, tetapi dalam aksi nyata yang meringankan beban dan memulihkan pengharapan.

error: Content is protected !!