Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur – Polemik antara masyarakat Kelurahan Jahab dan PT. Budi Duta Agro Makmur (BDAM) di Kutai Kartanegara kembali mencuat, memicu perhatian publik dan praktisi hukum. Yahya Tonang, seorang praktisi hukum dan advokat muda asal Kutai Barat, angkat bicara menyoroti konflik berkepanjangan tersebut.
Menurut Tonang, kasus ini bukan perkara sederhana. Ia menyinggung adanya putusan kasasi No. 98 PK/PID/2013, yang menyebut pengajuan perpanjangan HGU PT BDAM atas lahan seluas 119.127.650 m² di Desa Jahab terbukti cacat hukum. “Itu sudah jelas-jelas terbukti pidana pemalsuan surat. Putusannya inkrah, pelaku divonis enam bulan penjara. Jadi bagaimana mungkin hal seperti ini tidak diperhatikan pemerintah dan aparat penegak hukum?” ujar Tonang.
Tonang menegaskan bahwa negara seharusnya hadir melindungi masyarakat agar hak-haknya tidak tergerus oleh kepentingan korporasi. “Kalau tanaman warga sudah produktif lalu dirusak alat berat, itu harus diproses hukum. Tanaman itu ditanam oleh manusia, bukan tumbuh sendiri. Ada asas ‘equality before the law’, semua sama di mata hukum,” tegasnya.
Tonang juga menyoroti praktik-praktik yang ia sebut “izin di atas meja” yang kerap merugikan masyarakat. “Bayangkan saja, ada warga yang tidak pernah menjual tanahnya, tapi tiba-tiba lahannya sudah masuk dalam IUP atau HGU. Apa jadinya kalau rakyat jadi seperti ngontrak di atas tanah sendiri? Lama-lama bisa-bisa warga asli Kalimantan disuruh pindah ke bulan,” sindirnya.
Ia menambahkan bahwa polemik makin runyam ketika wakil rakyat yang mencoba menyuarakan keluhan masyarakat malahan mendapat tekanan. “Wakil di Senayan kena ancaman PAW, bagaimana nasib rakyat jelata?” katanya.
Tonang juga menyinggung masalah plasma kebun sawit yang tak kunjung jelas. “Warga itu bercocok tanam bukan untuk kaya, tapi untuk bertahan hidup. Investasi boleh, tapi harus menghargai warga sekitar. Jangan sedikit-sedikit lapor polisi. Kalau mau berpikir, banyak jalan menuju Roma, cari solusi yang adil,” tegasnya.
Saat ditanya soal rencana aksi damai masyarakat Jahab dan sekitarnya pada 25 Agustus 2025, Tonang menilai hal itu sebagai bentuk solidaritas warga terhadap polemik yang tak kunjung selesai. “Bayangkan para ibu-ibu, waktunya habis mengurus suami yang dipanggil polisi terus-terusan. Kalau undangan kawinan kan bahagia, bisa makan kenyang. Tapi ini undangannya ‘surat cinta’ dari polisi. Itu yang mungkin mau disampaikan warga lewat aksi damai,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Tonang berharap pemerintah serius mencari solusi agar konflik serupa tidak selalu berujung kriminalisasi terhadap masyarakat kecil. “Hukum harus tegak sama rata. Jangan sampai rakyat kecil terus yang jadi tumbal,” pungkasnya. [MM]