Mataram, NTB – Seminar Nasional bertajuk “Benang Kusut Tambang di NTB: Reformasi Tambang Untuk Kesejahteraan Ekonomi Nusa Tenggara Barat” yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNDIKMA pada Sabtu (11/10/2025) di Gedung Handayani, menjadi panggung bagi kritik tajam terhadap pengelolaan izin pertambangan rakyat (IPR) di NTB. Sorotan utama tertuju pada dugaan keterlibatan oknum Polda NTB dalam praktik yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Fathul Bayan, Koordinator Nusantara Bali-Nusra BEM Nusantara, dengan lantang menyatakan, “Kami menilai harus adanya evaluasi lebih luas terhadap izin pertambangan rakyat. Kondisi ini tidak boleh dijadikan ruang abu-abu untuk membuka ruang bagi tengkulak tambang, yang diindikasikan juga kepada Polda NTB.”
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. BEM Nusantara menyoroti adanya indikasi bahwa oknum kepolisian berperan sebagai “beking” bagi kegiatan penambangan ilegal, menerima “setoran” dana dari pengusaha tambang, hingga terlibat sebagai pemodal atau penghubung dengan pembeli hasil tambang.
“Ini sangat memprihatinkan. Jika benar ada oknum yang terlibat, ini bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah moral dan etika,” ujar seorang peserta seminar yang enggan disebutkan namanya.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus pada tata kelola sektor energi dan sumber daya alam (SDA), juga turut memberikan perhatian serius terhadap isu ini. PWYP Indonesia, yang telah berdiri sejak 2007, menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA.
Secara yuridis, penerbitan IPR didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2022 yang mendelegasikan kewenangan izin pertambangan rakyat ke pemerintah provinsi. Namun, legalitas formal ini tidak menjamin praktik yang baik di lapangan.
“Hukum administrasi negara tidak berhenti pada legalitas. Substansi penting terletak pada sejauh mana asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dijalankan,” tegas seorang ahli hukum administrasi yang hadir sebagai pembicara dalam seminar.
Fenomena IPR di NTB mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Instrumen yang seharusnya menjadi jalan kedaulatan rakyat, justru berubah wajah karena biaya pengelolaan yang tinggi, memaksa koperasi mencari investor. Kondisi ini membuka celah bagi masuknya para tengkulak dan praktik-praktik ilegal.
Jika dugaan keterlibatan oknum Polda NTB benar adanya, dampak negatifnya sangat luas:
– Melemahkan Penegakan Hukum: Oknum polisi yang melindungi penambang ilegal akan menghambat penegakan hukum.
– Kerusakan Lingkungan: Penambangan ilegal yang dilindungi akan terus berlanjut tanpa memperhatikan izin dan kajian lingkungan (AMDAL).
– Memburuknya Kepercayaan Masyarakat: Keterlibatan oknum polisi dalam kasus tambang ilegal dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Polda NTB terkait tudingan yang dilayangkan oleh BEM Nusantara. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan.
Isu IPR di NTB menjadi sorotan tajam karena adanya dugaan keterlibatan oknum Polda NTB dalam praktik yang merugikan. BEM Nusantara dan PWYP Indonesia mendesak adanya evaluasi menyeluruh dan tindakan tegas terhadap para pelaku yang terlibat. Masyarakat NTB berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum dapat bertindak transparan dan akuntabel dalam mengelola sumber daya alam, demi kesejahteraan bersama dan kelestarian lingkungan.
(R)