Klikberita.net – Jakarta, kota yang masih bangga disebut “kota global,” kini makin menegaskan identitasnya lewat ikon legendaris: Tugu Monas. Monumen Nasional yang seharusnya jadi lambang kejayaan dan kebersihan kota, justru menyuguhkan ironi yang apik—sangat “Jakarta,” dengan sentuhan khas trantib dan tarif parkir, jl. Merdeka Utara pada kota Jakarta Pusat, Minggu 4/5/2025 pukul 19.46 wib.
Monas, sebagai wajah kota yang konon sudah bukan lagi ibu kota, tetap dijaga ketat oleh pasukan trantib dan Satpol PP. Para penjaga keamanan ini disebut-sebut menerima tunjangan kesejahteraan (Kesra) yang tak main-main nominalnya, jauh melampaui para petugas serupa di luar Jakarta. Gaji besar, tapi sayang, tugas menjaga estetika kota ternyata masih kalah dengan semangat pedagang kaki lima yang menggelar dagangan seenaknya.
Di area Monas, parkir sepeda motor ditarik tarif “standar global” sebesar Rp5.000—angka yang tampaknya tak perlu dipertanyakan lagi, meski tanpa karcis dan tanpa fasilitas yang jelas. Padahal, katanya ini kawasan bebas pungli. Entah bagaimana angka itu bisa muncul begitu saja, mengalir rapi ke kas siapa?
Tak hanya itu, kawasan sekitar Monas semakin semarak dengan deretan PKL, dari pedagang baju hingga penjaja makanan dadakan, yang menempati area jalan pintu gerbang masuk yg dikunci suasana seperti layaknya pasar malam. Estetika ruang publik? Tampaknya sudah jadi wacana manis yang tersimpan di laci perencanaan kota.
Ironisnya, segala kekacauan ini seolah dibiarkan menjadi “keunikan” kota. Jakarta memang piawai mengubah masalah jadi kebiasaan. Dan jika Monas adalah tolok ukur “kebersihan dan ketertiban,” maka bisa dibayangkan bagaimana wajah kota-kota lain di Indonesia jika ikut meniru “standar” ibukota yang telah turun tahta ini.
Monas tetap berdiri tegak, jadi saksi bisu bahwa Jakarta memang tak pernah kekurangan drama—bahkan dalam urusan parkir dan PKL
Reporter : Widodo/PW-JBR