Kutai Barat dalam Pusaran Dualisme Lembaga Adat: Tantangan bagi Kearifan Lokal

Kutai Barat dalam Pusaran Dualisme Lembaga Adat: Tantangan bagi Kearifan Lokal

Spread the love

Kutai Barat – Pelita Kota  – Polemik dualisme lembaga adat di Kutai Barat masih terus bergolak, melibatkan Lembaga Adat Kabupaten (LAK) pimpinan Manar Dirmansyah dan Presidium Dewan Adat (PDA). Konflik ini menimbulkan kebingungan di kalangan kepala adat kampung, termasuk Burhanudin, Kepala Adat Kecamatan Jempang yang membawahi 12 kampung.

Menurut Burhanudin, dualisme ini menyebabkan kesulitan dalam menjalankan tugas, terutama saat memberikan izin acara adat seperti kuangkei dan gugu tahun. “Saya menghormati kedua lembaga itu, tapi saya bingung, izin ini harusnya ke siapa? Ke PDA atau ke Kepala Adat Besar Kabupaten? Saya tetap berpegang pada SK, artinya kepada Pak Manar,” ujarnya. Burhanudin juga menyoroti adanya surat edaran dari DPMK yang diduga mendorong pemilihan ulang kepala adat di beberapa kampung, dan menolak keras kebijakan itu.

Sistem pemilihan kepala adat menjadi salah satu penyebab konflik. PDA dulunya menggunakan sistem keturunan bergelar, namun sekarang yang menjabat bukan keturunan. Sementara itu, LAK dipimpin oleh Manar Dirmansyah yang terpilih melalui Musyawarah Besar (Mubes) dan telah di-SK-kan oleh Bupati. “Masalah kepala adat itu bukan urusan pemerintah, tapi hak masyarakat. Ada kepala adat yang menjabat puluhan tahun, itu kehendak masyarakat. Jadi tolong jangan otak-atik adat, jangan dicampur dengan politik. Kutai Barat ini Kota Beradat, adat jangan dikaitkan dengan kepentingan politik,” tandas Burhanudin.

Konflik dualisme lembaga adat ini berdampak pada penyelesaian kasus-kasus besar, seperti kasus pembunuhan yang melibatkan warga Kecamatan Jempang di Pasar Nala, Bigung. Meskipun pelaku telah ditahan secara hukum formal, proses hukum adat belum selesai karena ketidakhadiran pihak Linggang Bigung. Burhanudin menekankan pentingnya menjalankan hukum adat Dayak, seperti adat Boliq dan adat Rakbar, sebagai kewajiban bukan sekadar pilihan. “Jangan sampai konflik meluas hanya karena hukum adat diabaikan,” tambahnya.

Burhanudin meminta DPRD Kutai Barat segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menyelesaikan konflik ini. Pemerintah daerah diharapkan bijak dan cepat menyelesaikan masalah ini karena menyangkut harga diri dan ketertiban masyarakat adat. “Jangan ditunda-tunda. Pemerintah harus bijak dan cepat menyelesaikan, karena ini menyangkut harga diri dan ketertiban masyarakat adat,” katanya. Ia berharap pemerintah daerah, khususnya DPRD Kutai Barat, segera mempertemukan seluruh kepala adat se-Kutai Barat untuk memperjelas kedudukan dan peran lembaga adat.

Dengan demikian, diharapkan dualisme lembaga adat di Kutai Barat dapat segera diselesaikan dan memperkuat kelembagaan adat di daerah tersebut. {MM}

error: Content is protected !!