Klikberita.net Hidup bukanlah sekadar garis lurus dari kelahiran hingga kematian, melainkan sebuah labirin tak berujung yang penuh dengan tikungan, persimpangan, dan lorong-lorong misterius. Di sanalah, di tengah labirin takdir ini, kita ditantang untuk menjelajah, meraba, dan menemukan makna sejati dari keberadaan kita. Seperti yang tertulis dalam Amsal 16:9, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.” “Adat kakurung ku iga”, begitulah kata orang Sunda, bahwa tabiat itu sukar diubah, namun bukan berarti kita tidak bisa berikhtiar untuk menjadi lebih baik.
Kita seringkali terjebak dalam ilusi kendali, merasa mampu menentukan arah dan tujuan hidup kita. Namun, layaknya wayang yang dimainkan oleh dalang, kita hanyalah bagian dari orkestrasi kosmik yang jauh lebih besar dari diri kita sendiri. Di sinilah kearifan lokal Nusantara hadir sebagai kompas penuntun, mengingatkan kita akan pentingnya harmoni dengan alam semesta.
Falsafah Jawa “Memayu Hayuning Bawana” mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Bahwa setiap tindakan kita, sekecil apapun, memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan sekitar. Dalam konteks kehidupan, ini berarti kita harus bertanggung jawab atas setiap pilihan yang kita buat, serta menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diraih dengan mengorbankan orang lain atau merusak alam. Sejalan dengan itu, Kejadian 2:15 mengingatkan, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” “Kudu bisa ngeureut neundeun”, kita harus pandai mengatur dan menempatkan sesuatu pada tempatnya agar tercipta keseimbangan.
Namun, menjaga keseimbangan bukanlah perkara mudah. Terkadang, kita harus menghadapi badai dan topan yang mengguncang fondasi hidup kita. Di saat-saat seperti inilah, ketajaman analisa diperlukan untuk memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang bijaksana.
Kisah “Malin Kundang” adalah cermin bagi kita semua. Ia adalah simbol dari kesombongan, ketidakberterimaan, dan pengkhianatan terhadap akar budaya. Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu ingat dari mana kita berasal, serta menghormati jasa-jasa orang tua dan leluhur kita. Seperti yang tertulis dalam Amsal 23:22, “Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu apabila ia sudah tua.” “Cai karacak ninggang batu, laun-laun jadi legok”, bahwa dengan kesabaran dan ketekunan, kita bisa mengatasi kesulitan sebesar apapun.
Namun, menjadi kritis tidak berarti harus selalu menyalahkan diri sendiri. Kita juga harus mampu melihat potensi dan kekuatan yang ada dalam diri kita. Setiap manusia dilahirkan dengan bakat dan kemampuan yang unik. Tugas kita adalah menggali potensi tersebut, mengasahnya, dan menggunakannya untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Semangat “Gotong Royong” adalah warisan luhur bangsa Indonesia yang mengajarkan kita tentang pentingnya kebersamaan dan saling membantu. Bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan jika kita bersatu dan saling bahu membahu. Hal ini selaras dengan Pengkhotbah 4:9-10, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi celakalah orang yang seorang diri! Jika ia jatuh, tidak ada seorangpun yang mengangkatnya.” “Sacangreud pageuh, sagolek pangkek”, bahwa janji harus ditepati dan komitmen harus dipegang teguh.
Dalam kehidupan modern yang serba individualistis, semangat gotong royong seringkali terlupakan. Padahal, di tengah persaingan yang semakin ketat, kebersamaan adalah kunci untuk bertahan dan berkembang. Dengan saling mendukung dan menginspirasi, kita bisa menciptakan lingkungan yang positif dan produktif.
Perjalanan hidup adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Tidak ada garis akhir, tidak ada tujuan yang pasti. Yang terpenting adalah bagaimana kita menikmati setiap langkah, belajar dari setiap pengalaman, dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti yang diajarkan dalam Filipi 3:14, “melainkan aku mengejar ke depan kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” “Hirup mah ulah তালangke, tapi kudu daek tuturut munding”, bahwa hidup jangan hanya bermalas-malasan, tapi harus mau bekerja keras.
Di tengah labirin takdir ini, kita mungkin akan tersesat, terjatuh, dan merasa putus asa. Namun, jangan pernah menyerah. Ingatlah bahwa setiap kesulitan adalah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Jadikan kearifan lokal Nusantara sebagai kompas penuntun, ketajaman analisa sebagai pisau bedah, dan semangat gotong royong sebagai kekuatan pendorong.
Dengan begitu, kita bisa menjelajahi labirin takdir dengan penuh keberanian, kebijaksanaan, dan cinta kasih. Dan pada akhirnya, kita akan menemukan makna sejati dari kehidupan ini: sebuah odisse Nusantara yang tak terlupakan.
Oleh Kefas Hervin Devananda

