Pemberantasan Mafia Tanah Diuji di Sukabumi: Pembangunan di Tanah Sengketa Berjalan Lancar, Meskipun BPN Diminta Blokir

Pemberantasan Mafia Tanah Diuji di Sukabumi: Pembangunan di Tanah Sengketa Berjalan Lancar, Meskipun BPN Diminta Blokir

Spread the love

Sukabumi — Praktik yang mengingatkan pada modus mafia tanah yang sering terungkap kembali muncul di Sukabumi, dengan kasus sengketa tanah yang mempertanyakan integritas proses penerbitan sertifikat. Ahli waris Tjio Soei Nio telah mengajukan permintaan resmi kepada BPN Kabupaten Sukabumi untuk memblokir Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Bogorindo Cemerlang di Blok Cikembang, Cikembar — namun pembangunan di lokasi tetap berjalan dengan lancar, seolah tidak ada keberatan apapun.

Kuasa hukum ahli waris menyampaikan informasi kunci: lahan tersebut memiliki alas hak Eigendom Verponding tahun 1930 yang tak pernah dilepaskan secara sah. Dari analisa hukum , UUPA Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut tetap berlaku kecuali dilepaskan melalui proses hukum yang sah. Ini berarti alas hak tersebut seharusnya menjadi penghalang utama dalam penerbitan SHGB baru — namun fakta menunjukkan sertifikat tetap terbit dan aktivitas fisik terus berlangsung meski keberatan telah diajukan.

Data di lapangan menunjukkan pekerjaan konstruksi berjalan tanpa hambatan, bahkan selama masa peninjauan keberatan oleh BPN. Situasi ini tidak hanya memunculkan pertanyaan soal ketatnya pengawasan aparat pertanahan dan kehati-hatian aparat perizinan, tetapi juga apakah ada elemen yang menyembunyikan praktik mafia tanah. Bagaimana mungkin proses verifikasi status tanah yang wajib dilakukan bisa terlewatkan secara total, kecuali ada kecurangan atau kolusi yang terlibat?

Permohonan blokir juga bertujuan mencegah terbitnya izin lanjutan seperti Pengesahan Bangunan Gedung (PBG). Dari sisi hukum administrasi, pemberian izin di atas tanah yang statusnya sedang dalam sengketa tidak hanya berpotensi maladministrasi tetapi juga menjadi “jalan pintas” bagi mafia tanah untuk memastikan proyek berjalan dan hak pemilik asli terlantar. Hal ini bisa memperparah konflik sosial dan merusak kepercayaan masyarakat pada lembaga negara.

Kasus ini adalah bukti bahwa pemberantasan mafia tanah masih jauh dari selesai. Penanganannya kini menjadi ujian nyata bagi pemerintah daerah dan BPN: apakah mereka akan berani menggali kebenaran, menegakkan hukum, dan melindungi hak ahli waris, atau hanya mengizinkan modus mafia tanah terus berlanjut di wilayah Sukabumi?

Sumber: Ahmad Matdoan, S.H
Editor: Romo Kefas

error: Content is protected !!