Jakarta – Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menggelar konferensi pers dan aksi damai di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rabu (10/12/2025), membawa dokumen bukti dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang berlangsung bertahun-tahun.
Perwakilan massa diterima oleh Bagus, staf Maklumat Kedubes RRT, yang menerima laporan resmi serta dokumen tuntutan. Dua tokoh KSBSI yang turut menyampaikan kondisi para pekerja adalah Muhammad Fathoni (Ketua Pengurus FSBSI PT WHW AR sekaligus korban PHK terkait aktivitas organisasi) dan Hendrik Hutagalung, SH (Sekretaris Jenderal KSBSI).
“Situasi hubungan industrial semakin memburuk dan mengarah pada union busting,” ujar Fathoni. Mogok kerja yang direncanakan 13–15 Juni 2025 dibatalkan demi kondusif, tetapi justru dibalas skorsing. “Kami tidak jadi mogok, tapi justru dihukum seperti pelaku kriminal.”
Setelah dua perundingan bipartit gagal, buruh sampaikan pemberitahuan mogok 10–12 November 2025 sesuai aturan hukum. Namun perusahaan sebut mogok tidak sah dan berikan ancaman PHK. Pada 10 November, perusahaan setuju empat tuntutan utama, tetapi membatalkannya sepihak keesokan harinya.
Fathoni juga menyoroti ketimpangan upah: pekerja dengan masa kerja 9–11 tahun menerima Rp3,8 juta–Rp4 juta, hampir setara dengan pekerja baru yang digaji Rp3.398.000. “Perusahaan tidak transparan terhadap Struktur dan Skala Upah yang wajib sejak 2021. Ini bukan hanya pelanggaran norma, ini melanggar HAM buruh,” tegasnya.
Selain itu, ratusan pekerja mendapat panggilan Hearing dengan tuduhan melanggar PKB yang belum disahkan instansi ketenagakerjaan. “Kami pejuang nafkah, bukan perusuh. Tapi kami diperlakukan seperti musuh perusahaan,” lanjut Fathoni.
Hendrik Hutagalung menilai pelanggaran sudah serius dan bukan persoalan internal. Ia menyebut dugaan penggunaan tenaga kerja asing tidak sesuai prosedur dan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan Proyek Strategis Nasional (PSN). “Ketika buruh disingkirkan, serikat dibungkam, dan aturan negara diabaikan, itu bukan lagi persoalan perusahaan. Itu persoalan negara,” tegasnya.
KSBSI mendesak Pemerintah melakukan investigasi komprehensif, mediasi, menindak union busting, dan memastikan transparansi upah. Mereka juga minta polisi usut dugaan pelanggaran HAM. Aksi ditutup dengan penyerahan dokumen dan komitmen memperjuangkan hak secara damai.
Jurnalis: Vicken Highlightlander | Editor: Romo Kefas

