Sleman, 25/11/2025 – Jauh sebelum nama Sriwijaya atau Majapahit dikenal luas, cikal bakal peradaban terorganisir di barat Pulau Jawa telah berdiri. Sejarawan meyakini, Kerajaan Salakanagara adalah entitas politik paling awal di Nusantara yang didirikan sekitar tahun 130 Masehi. Didirikan oleh Dewawarman I dengan ibukota bernama Rajatapura (Kota Perak), Salakanagara yang berarti “Negeri Perak” ini berlokasi di wilayah yang kini diperkirakan berada di sekitar Teluk Lada, Pandeglang, atau bahkan di sekitar Gunung Salak.
“Interaksi dengan dunia luar, terutama melalui jalur maritim yang menghubungkan Dinasti Han (Tiongkok) dan wilayah India, membawa dampak signifikan pada budaya Sunda. Beberapa alat musik yang kemudian berkembang di tanah sunda berakar dari pertukaran budaya ini. Misalnya, alat musik seperti suling, kecapi dan berbagai jenis instrumen pukul (perkusi) yang digunakan dalam perangkat gamelan purba, memiliki akulturasi dengan alat musik dari Tiongkok, india atau Asia Tenggara daratan. Keberadaan struktur keraton dan pemerintahan yang stabil mengindikasikan adanya tradisi tutur, pemeliharaan naskah (meskipun mungkin di atas daun lontar yang rentan), dan setidaknya seorang pujangga/sastrawan keraton yang bertugas mendokumentasikan peristiwa penting kerajaan”, tutur Abah ketika menggambarkan sejarah daerah asalnya dalam perbincangan santai dengan media MeWaJo disebuah warung soto, 24/11/2025.
Pdt. Daniel Pujarsono atau yang lebih dikenal dengan panggilan Abah memang “urang sunda” asli yang menggembalakan sebuah gereja, GBI Tirtakencana, di Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta. Sebagai Pendeta yang juga seniman dan dalang wayang golek sunda, abah sangat menyadari bahwa sekarang ini kiprahnya berada di pusat budaya jawa. Sehingga identitas budaya sundanya baru benar-benar di tampilkan secara utuh ketika penamaan jalan di DIY menggunakan nama-nama tokoh atau kerajaan Hindu kuno (Siliwangi, Pajajaran, Majapahit, Brawijaya dll) mulai terjadi pada era modern, sebagai bagian dari proyek rekonsiliasi sejarah antara kerajaan-kerajaan di Jawa dan Sunda.
Tujuannya adalah merajut kembali tali persaudaraan antar-etnis dan menghilangkan mitos perseteruan masa lampau, terutama setelah Perang Bubat yang melibatkan Majapahit dan Pajajaran. Perubahan ini mulai diresmikan sekitar tahun 2017 (meski wacana dan gagasan sudah muncul sejak sekitar tahun 2013).
Pemberian nama-nama ini tidak hanya mengubah identitas geografis, tetapi juga mengirim pesan kuat tentang persatuan dan pengakuan terhadap warisan sejarah bangsa secara menyeluruh, melampaui batas-batas suku dan agama. Sejak saat itu, abah semakin bergairah untuk memperkenalkan budaya sunda ditanah jawa sebagai bagian dari akulturasi budaya, pelayanannya sebagai pendeta dan sebagai salah satu tokoh moderasi beragama di DIY. Abah juga berani hadir di keraton kesultanan dengan memakai “udeng Sunda” bukan memakai blangkon jawa.
Menjawab pertanyaan media MeWajo mengapa memanfaatkan wayang golek, abah menjelaskan: “ pertama tentu karena saya orang sunda dan menguasai budaya sunda. Wayang itu tidak punya agama, yang punya agama itu dalangnya. Dengan wayang golek sunda, saya bisa menyampaikan misiNya Tuhan. Keliling kemana-mana dengan wayang golek dengan membawa misiNya Tuhan. Walaupun tidak disebutkan ayatnya apanya. Tapi dalam suluk itu mesti ada firman Tuhan, saya juga menyisipkan nilai nilai iman universal dalam ceritanya”. “Wayang itu gak punya agama, yang punya agama dalangnya”, tambah abah. Melalui wayang golek ditangan dalang abah, terjadi akulturasi budaya dengan agama.
Dengan wayang golek, abah sudah melakukan pentas di berbagai tempat maupun kota. Menjawab kritikan, mengapa dalam pentas wayang golek ada lagu-lagu dunia, abah menjelaskan bahwa Rahwana sebagai tokoh jahat tentu tidak cocok jika di iringi lagu rohani, lebih cocok lagu dunia. “Saya ini dalangnya, yang menggerakkan semua wayang” kata abah. “Sama dengan kehidupan kita ada dalangnya, yaitu Tuhan yang menggerakkan kehidupan kita, tinggal kita maunya jadi apa. Banyak orang salah paham dengan budaya. Menjadi keprihatinan abah, “Kalau dulu budaya mengajar kita untuk beragama, tetapi sekarang agama menggerogoti budaya, bahkan menghancurkannya”.
Perbincangan di warung soto tampaknya belum membuat abah merasa lelah, karena masih berlanjut ke sekretariat gereja, tidak jauh dari gereja GBi Tirtakencana yang lebih dikenal dengan sebutan basecamp atau lebih lengkapnya basecamp tanpa pintu. Karena memang gereja itu terbuka selama 24 jam, siapapun bisa memanfaatkan bangunan tersebut, bukan hanya untuk ibadah tetapi juga untuk kegiatan masyarakat. Bahkan pemilu juga diadakan di basecamp tersebut.
Sebagai tokoh moderasi beragama, abah mendidik jemaatnya untuk menjadi berkat bagi sesama tanpa memandang status, suku maupun agama. Berbagai kerjasama yang melibatkan jemaat basecamp dan masyarakat sekitarnya juga dilakukan, seperti pembuatan jalan, pembuatan lapangan olahraga, peresapan air dan pembangunan gazebo di depan sekretariat yang dimanfaatkan untuk pos ronda dan tempat santai warga masyarakat. Dalam pelaksanaannya masyarakat bukan di manfaatkan tetapi dihargai peran sertanya dengan diberikan penghargaan berupa upah kerja.
Saat ini abah sedang merencanakan pembangunan gedung pertemuan warga di lapangan olahraga yang tanahnya memang milik basecamp, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan secara maksimal, baik untuk olahraga maupun untuk kegiatan lainnya bagi masyarakat sekitarnya. Di sisi lain, jemaat basecamp juga di dorong untuk berperan aktif sebagai pengurus atau aktivis kampung.
Giat abah dan jemaatnya membuahkan apresiasi dari pemda kabupaten Sleman yang disampaikan oleh wakil Bupati Sleman Danang Maharsa, dalam acara ulang tahun GBI Tirtakencana ke 25 (6/8/2025), atas kepeloporan GBI Tirtakencana di bidang moderasi beragama sehingga terjalin sinergi cantik antara pemerintah, jemaat dan masyarakat yang membangun kerukunan di Sendangtirto, berbah, Sleman.
Jiwa misi abah juga selalu meronta- ronta, sehingga pendeta yang cara perpakaiannya dianggap unik, karena mengenakan atribut- atribut budaya sunda ditengah masyarakat berbudaya jawa ini, lebih suka pergi ke pelosok negeri, melayani KKR, bertemu jemaat dan masyarakat bawah, daripada ke daerah wisata mewah untuk kesenangan pribadi.
Perbicangan ditutup dengan pesan penting abah bahwa kekristenan tidak boleh terpisah dengan yang lain, karena kita adalah bagian dari kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Yesus, sebagai tokoh sentral kekristenan juga mengajarkan hidup bersama tanpa sekat, “kasihilah sesamamu manusia” bukan kasihilah sesamamu manusia yang sederajat, sesuku, sebangsa atau seagama saja.
Alkitab juga mengajarkan ;” segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka…”, jadi jika kita ingin orang bersikap baik terhadap kita maka kitalah yang harus memulai bersikap baik terhadap orang lain, bukan sebaliknya. Kita harus terus berbuat baik, sebagaimana pesan Paulus kepada jemaat Galatia :” janganlah kita jemu-jemu berbuat baik”, sampai kapan? Sampai orang melihat dan menerima bahwa kita orang baik.
Penulis : SHN
Foto : Abah Daniel

