"Try Sutrisno" Patron Moral bagi Generasi Militer Indonesia

“Try Sutrisno” Patron Moral bagi Generasi Militer Indonesia

Spread the love

Jakarta – KLik NEWS Ada momen yang tampak sederhana tapi menyimpan makna mendalam di elite politik belakangan ini. Presiden Prabowo Subianto membungkukkan badan seraya memberi hormat khidmat kepada Try Sutrisno dalam halal bihalal purnawirawan TNI-Polri di Balai Kartini, 6 Mei 2025.

Di antara gemuruh tepuk tangan dan jepretan kamera, gesture itu bukan sekadar basa-basi formalitas. Ada sejarah panjang yang membentuk relasi dua tokoh ini—dan lebih jauh lagi, membentuk relasi Prabowo dengan akar kekuatan politik-militer Indonesia.

Try Sutrisno, yang pernah dijuluki “ban serep tak terpakai” semasa menjabat wakil presiden atau wapres era Orde Baru, kini justru berdiri sebagai simbol moral dan patron tua di kalangan purnawirawan. Bagaimana kisahnya bergulir sampai titik ini? Dan seberapa penting posisi Try bagi Prabowo, presiden pertama berlatar belakang militer setelah reformasi?

Profil Try Sutrisno

Bagi Try Sutrisno, garis karier militer adalah medan juang yang tak pernah benar-benar ia kejar demi kekuasaan, tapi justru menghampiri lewat takdir yang pelik. Lahir dari keluarga sederhana di Surabaya pada 15 November 1935, Try muda dikenal tekun dan disiplin. Setelah lulus dari Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) pada 1959, karier militernya berjejalan dengan operasi militer besar, dari Trikora sampai Operasi Seroja di Timor Timur.

Poin balik hidupnya bermula dari pertemuan dengan Soeharto dalam Operasi Pembebasan Irian Barat (1962). Chemistry itu berlanjut ketika Try tampil memukau di sebuah seminar militer pada 1972, menarik perhatian sang presiden. Dua tahun berselang, Try ditarik ke Istana sebagai ajudan Soeharto. Di sinilah, ia ditempa langsung dalam dapur kekuasaan: menyerap pengalaman kenegaraan sembari membangun jejaring elite yang bakal menopangnya kelak.

Naik-turun kariernya nyaris klise di mata para perwira: Kasdam, Pangdam, hingga KSAD. Namun, lonjakannya menuju posisi Panglima ABRI dan akhirnya Wakil Presiden RI adalah cerita yang lebih kompleks. Pada 1993, Fraksi ABRI “mencuri start” dengan mencalonkan Try sebagai wapres tanpa konsultasi dengan Soeharto, sebuah manuver politik yang kala itu bikin rezim kaget. Soeharto, yang merasa kecolongan, tak bisa menolak—karena dalam politik Orba, stabilitas ABRI adalah harga mati.

Ironisnya, setelah resmi menjabat, Try malah seperti disingkirkan secara halus. Majalah Tempo menyebutnya “ban serep tak terpakai”. Ini karena ia tak diajak konsultasi soal kabinet dan bahkan ketika Soeharto keluar negeri, Try tidak diberi mandat menjalankan tugas kepresidenan. Meski begitu, Try memilih jalannya sendiri. Ia mengurus bidang pengawasan pembangunan dengan telaten, blusukan dari provinsi ke kementerian, menyusun laporan yang kadang justru lebih rinci ketimbang ekspektasi pusat.

Mundur dari Tampuk Kekuasaan

Mundur dari panggung kekuasaan tidak lantas membuat nama Try lenyap. Di usia senjanya, ia justru pelan-pelan mengambil posisi baru: menjadi Patron moral bagi generasi baru militer, termasuk Prabowo Subianto. Ini bukan sekadar warisan simbolik, tapi sebuah wibawa yang dibentuk oleh perjalanan panjang dan—yang tak kalah penting—oleh luka politik masa lalu.

Salah satu momentum yang jadi penanda penting adalah sikap Try terhadap politik keluarga dalam kekuasaan. Pada 1995, saat menjabat wapres, Try sempat melontarkan pernyataan yang mengguncang elite Orde Baru. Dalam kunjungannya ke Mesir, ia dengan tegas menyebut, “Anak pejabat jangan pakai nama bapaknya.”

Pernyataan itu tak main-main. Ia menyorot fenomena anak-anak Soeharto, seperti Tommy, Bambang, dan Tutut, yang kala itu mulai membangun kerajaan bisnis dengan mendompleng nama besar sang ayah. Ucapan itu membuat gerah lingkaran Cendana, bahkan Try disebut-sebut sempat ‘dibekukan’ dari pemberitaan arus utama sebagai bentuk pembalasan politik halus. [÷]

error: Content is protected !!