Jakarta, 12 November 2025 – Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan, saya membayangkan gemerlap Apresiasi Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (API) 2025 di Kalimantan Tengah. Sebuah perhelatan yang tak sempat saya saksikan langsung, namun kehadirannya begitu terasa, bagai oase di tengah gurun intoleransi yang kian menganga. Mampukah API 2025 menjadi lebih dari sekadar acara seremonial? Mampukah rindu toleransi ini menjadi kenyataan, bersemi dari akar budaya Nusantara?
Sebagai jurnalis Pewarna Indonesia, Kefas Hervin Devananda, saya meyakini bahwa API 2025 adalah cermin bagi kita semua. Sejauh mana kita telah menghidupi nilai-nilai luhur keberagaman dalam kehidupan sehari-hari? Sejauh mana kita berani melawan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi, belajar dari kearifan lokal yang diwariskan leluhur?
“Mungkin terdengar naif, tapi saya percaya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan. Toleransi bukan sekadar konsep abstrak, melainkan tindakan nyata yang bisa kita lakukan setiap hari, dengan meneladani semangat Huma Betang yang mengajarkan hidup berdampingan dalam harmoni,” tulis Romo Kefas dalam artikelnya.
Saya tak bisa menyaksikan langsung bagaimana Gubernur H. Agustiar Sabran S.I.Kom memberikan dukungan. Namun, saya percaya, kehadirannya adalah sinyal kuat bahwa pemerintah daerah serius dalam menjaga harmoni.
“Saya berharap, dukungan tersebut bukan hanya bersifat simbolis, melainkan diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak pada kelompok minoritas dan rentan, serta melestarikan nilai-nilai Manggatang Utus yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,” lanjut Romo Kefas.
Sebagai jurnalis Pewarna, ketidakhadiran fisik justru memacu saya untuk bekerja lebih keras. Era digital memungkinkan kita untuk menyebarkan narasi positif tentang toleransi, menjangkau audiens yang lebih luas, dan menginspirasi perubahan.
“Saya percaya, setiap tulisan, setiap unggahan, setiap siaran, adalah amunisi untuk melawan intoleransi. Mari kita gunakan media sebagai alat untuk membangun jembatan, bukan tembok pemisah, dengan mengedepankan dialog dan saling pengertian, sebagaimana diajarkan dalam filosofi Belom Bahadat,” tegas Romo Kefas.
API 2025 Kalteng mungkin telah usai, namun gaung toleransinya harus terus bergema. Mari kita jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk merajut persatuan, menebar kebaikan, dan menginspirasi perubahan. Karena toleransi bukan sekadar impian, melainkan kekuatan yang mampu mengubah dunia. Mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dengan menggali kearifan lokal budaya Nusantara!

