Klikberita.net Di tengah hiruk pikuk dunia yang serba materialistis, pernahkah kita merenungkan kembali makna sejati dari kemanusiaan? Sebuah kisah abadi tentang cinta kasih hadir sebagai potret yang mampu menembus batas ruang dan logika, mengajak kita untuk sejenak berhenti dan meresapi nilai-nilai luhur yang seringkali terlupakan.
Kisah tentang seorang ayah yang rela mengorbankan kesenangan pribadi demi membantu keluarga yang kesulitan membeli tiket sirkus adalah tamparan keras bagi egoisme kita. Ayahnya, dengan kecerdasan emosional yang luar biasa, memberikan uangnya tanpa pamrih, menciptakan momen kebahagiaan yang lebih berharga dari sekadar tontonan sirkus. Tindakan ini selaras dengan peribahasa Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe,” yang berarti melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan, tetapi fokus pada tindakan nyata. Bukankah ini juga yang diajarkan dalam Alkitab? “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” (Galatia 6:9). Ayat ini menegaskan bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan akan berbuah pada waktunya.
Artikel ini adalah ajakan untuk melakukan introspeksi diri. Seringkali, kita hanya pandai beretorika tentang cinta kasih, namun kurang berani mewujudkannya dalam tindakan nyata. Cinta kasih bukanlah sekadar kata-kata manis, melainkan bahasa universal yang mampu menyentuh hati mereka yang terpinggirkan, didengar oleh mereka yang terabaikan, dan menjadi kekuatan bagi mereka yang kehilangan harapan. Seperti “Hadé gogog hadé tagog,” (Baik perkataan, baik pula perbuatan), peribahasa Sunda mengingatkan kita bahwa perkataan harus selaras dengan tindakan. “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yakobus 2:17).
Filosofi hidup yang terkandung dalam kisah ini sangatlah relevan dengan realitas saat ini. Kita seringkali terjebak dalam rutinitas yang membosankan, melupakan esensi dari kemanusiaan. Padahal, kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan kita untuk berbagi, memberi, dan mencintai tanpa syarat. Inilah esensi dari “Memayu hayuning bawana,” (Memelihara keselamatan dunia), peribahasa Jawa yang mengajak kita untuk berkontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Lukas 6:36).
Oleh karena itu, mari belajar dari kebaikan untuk menjadi agen perubahan di lingkungan sekitar kita. Berikan senyuman tulus kepada orang asing, ulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, dan dengarkan dengan penuh perhatian keluh kesah teman. Setiap tindakan kecil yang dilandasi cinta kasih akan menciptakan efek domino yang positif, mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ingatlah “Sacangreud pageuh, sagolek pangkek,” (Sesuatu yang dipegang teguh akan memberikan hasil yang baik), peribahasa Sunda yang menekankan pentingnya konsistensi dalam berbuat kebaikan.
Selamat pagi! Mari kita mulai hari ini dengan membuka mata hati dan menebarkan cinta kasih di setiap langkah kita. Jadilah manusia yang seutuhnya, bukan sekadar makhluk konsumtif yang hanya memikirkan diri sendiri. Belajar dari kebaikan adalah pengingat bahwa cinta sejati bukan retorika, melainkan aksi yang mengubah segalanya.
Oleh Kefas Hervin Devananda

