Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Wasekjen Ormas Parkindo Periode 2021 – 2026
Bekasi – Di tengah lautan keberagaman suku, bahasa, agama, dan budaya yang membentang luas di Nusantara, ada sebuah kata yang telah melambangkan jiwa kita selama berabad-abad: Bhinneka Tunggal Ika. Bukan sekadar semboyan yang terukir di makam pahlawan atau tercetak di buku pelajaran – ini adalah kearifan lokal yang tumbuh dari akar-akar budaya kita, didasari filsafat Nusantara yang mendalam, kesetaraan yang menguatkan, dan aturan konstitusional yang tercatat jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah menjaga bangsa ini tetap utuh meskipun badai waktu dan tantangan terus datang.
Di balik kebersamaan kita tersembunyi filsafat kunci Nusantara: “Ratu Adil” – keyakinan bahwa di akhir zaman akan muncul seorang pemimpin yang adil, yang menyelamatkan semua rakyat dari penderitaan, tanpa memandang suku, agama, atau status sosial. Ini bukan hanya cerita dongeng, tapi ide yang hidup di suku Jawa (Prabu Jayabaya), Minangkabau (Datuk Katumangkuangan), dan Batak (Guru Patimpus). Kesetaraan adalah inti dari filsafat ini, dan amanatnya tercermin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menjamin bahwa tidak ada warga yang lebih tinggi atau lebih rendah di mata hukum – dasar bagi keadilan yang dijanjikan oleh Ratu Adil.
Ada juga “Semangat Lodaya” dari suku Sunda – filsafat yang mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta, dan kebahagiaan hanya bisa dicapai jika kita hidup seimbang dengan lingkungan dan sesama, dengan prinsip “satu orang sama pentingnya dengan orang lain”. Ini sejalan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas pengakuan, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum – sehingga setiap orang, tanpa memandang latar belakang, memiliki hak untuk hidup dengan martabat.
Kearifan gotong royong yang kita kenal tidak lepas dari filsafat Nusantara “Saling Bantu, Saling Menolong” dan prinsip kesetaraan: di Jawa (srimulat), Sulawesi Selatan (boboto), atau Maluku (sasi), tidak ada yang dianggap “lebih tinggi” atau “lebih rendah” saat bekerja bersama. Filsafat ini mengatakan bahwa “satu pohon tidak bisa membuat hutan, satu batang tidak bisa membuat rakit” – dan setiap batang, setiap pohon, memiliki peran yang sama pentingnya. Amanat konstitusional untuk hal ini terlihat dalam Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur kesejahteraan sosial, di mana negara bertanggung jawab memastikan kesejahteraan rakyat melalui kerja sama dan distribusi sumber daya yang merata.
Atau rukun tetangga (RT) yang berasal dari filsafat Jawa “Pasar Pagi” – tempat di mana orang berkumpul, berbagi informasi, dan menyelesaikan masalah bersama dengan prinsip “suara setiap orang harus didengar”. Di suku Minangkabau, ini mirip dengan “rumah gadang” yang selalu membuka pintu untuk tetangga, di mana peran wanita (yang menjadi pemimpin keluarga) sama pentingnya dengan pria. Hal ini sejalan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang melarang diskriminasi atas dasar apapun, termasuk jenis kelamin – menjamin kesetaraan dalam peran dan hak di masyarakat. Filsafat di baliknya adalah “Hormat yang Diberi Membawa Hormat yang Diterima” – kesetaraan dalam penghormatan yang membuat perbedaan suku dan agama hilang ketika ada acara syukuran atau kesulitan.
Di Pulau Bali, umat Hindu dan Muslim hidup berdampingan dengan harmoni yang luar biasa, didasari filsafat “Tat Twam Asi” (kamu adalah aku, dan aku adalah kamu) dan prinsip kesetaraan keyakinan. Amanat konstitusional untuk hal ini tercatat dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kesetaraan di sini bukan berarti sama rupa, tapi sama berharga – sehingga perbedaan keyakinan bukanlah dinding, melainkan jembatan.
Selain itu, Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Ini menjadi payung hukum bagi eksistensi masyarakat adat di seluruh Nusantara, termasuk suku Toraja dengan kebiasaan pemakaman “rambu solo” dan suku Bugis dengan budaya “siri’ pahala” – membuktikan bahwa keberagaman budaya adalah kekayaan yang dilindungi oleh konstitusi. Bahkan di suku Bugis, peran wanita sebagai “cara” (pemimpin dalam urusan keluarga dan masyarakat) sama pentingnya dengan pria sebagai “pangulu” – contoh kesetaraan gender yang telah ada sejak lama dan sesuai dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Sayangnya, di zaman sekarang, banyak orang mulai melupakan filsafat Nusantara, prinsip kesetaraan, dan amanat UUD 1945 ini. Ada yang melihat perbedaan sebagai ancaman, atau merasa diri lebih tinggi dari orang lain – yang membuat hubungan antar warga memburuk. Tapi kita harus ingat: bangsa Indonesia telah berdiri kokoh selama puluhan tahun karena kita tahu cara menjaga kebersamaan di tengah perbedaan, didasari filsafat yang telah teruji waktu, kesetaraan yang menguatkan, dan aturan konstitusional yang jelas.
Cara menjaganya sederhana: mulailah dari diri sendiri, dengan menerapkan filsafat “Di Mana Bumi Dipijak, Di Sana Langit Dijunjung” dan prinsip kesetaraan yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pelajari budaya tetangga, hormati keyakinan mereka, dan terlibat dalam gotong royong – semua itu adalah wujud dari kesetaraan yang kita miliki sebagai bangsa Nusantara.
Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar kata-kata indah. Ia adalah kearifan lokal yang didasari filsafat Nusantara yang abadi, kesetaraan yang menguatkan, dan aturan konstitusional yang tercatat jelas dalam UUD 1945 – dari Ratu Adil, Semangat Lodaya, sampai Saling Menghargai. Dari gotong royong, rukun tetangga, sampai harmoni antar agama dan gender – semua itu adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya, yang dilindungi dan diamanatkan oleh hukum dasar negara.
Mari kita jaga dan wariskan nilai-nilai ini kepada anak cucu, sehingga Indonesia tetap menjadi negara yang utuh, damai, dan makmur – sebuah bangsa yang bangga dengan perbedaan, karena perbedaan itu yang membuat kita kuat, sesuai dengan jiwa Nusantara dan amanat UUD 1945.
(*****)

