Bogor – Panggung politik Indonesia, dengan dinamika yang tak pernah surut, kerap kali diwarnai oleh retorika manis dan kampanye yang menggugah. Namun, di tengah hiruk pikuk tersebut, terhampar sebuah ruang kosong: representasi yang kokoh dan suara moral yang jernih, yang bersumber dari nilai-nilai luhur yang tersemat dalam Alkitab, serta selaras dengan jiwa Pancasila. Kekosongan inilah yang memantik pertanyaan krusial: Mungkinkah partai Kristen merebut kembali sinarnya dan menorehkan warna yang lebih bermakna di kancah politik nasional, dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kebangsaan yang sejalan dengan firman Tuhan dan ideologi negara kita?
Pertanyaan ini mengantarkan kita pada sebuah persimpangan dilematis: Jika partai Kristen berhasrat untuk kembali, model kepartaian manakah yang paling tepat untuk diusung? Apakah mereka sebaiknya mengadopsi model partai kader yang solid dan sarat ideologi, atau justru mempertahankan diri sebagai partai massa yang merangkul segenap lapisan masyarakat? Mungkinkah kedua pendekatan ini disinergikan, tanpa mengorbankan inklusivitas yang menjadi jantung ajaran Kristiani, sekaligus menjaga kesetiaan pada panggilan untuk menjadi garam dan terang dunia, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika?
Model partai kader memang menyimpan daya pikat tersendiri. Bayangkan sebuah partai yang setiap kadernya memiliki pemahaman mendalam tentang teologi, etika, dan visi partai. Mereka akan menjelma menjadi barisan yang efektif dalam menyebarluaskan nilai-nilai Kristiani dan membela kepentingan umat. Namun, di sinilah letak tantangannya:
Partai kader cenderung bersifat eksklusif. Kriteria yang ketat dan disiplin yang tinggi berpotensi menjadi tembok penghalang bagi mereka yang memiliki pandangan yang berbeda atau belum sepenuhnya menguasai ajaran agama. Apakah partai Kristen rela menutup pintu bagi sebagian kalangan? Apakah mereka siap kehilangan jalinan dengan jemaat-jemaat kecil di pelosok negeri, yang selama ini menjadi sumber kekuatan mereka? Sebagai ilustrasi, sebuah partai kader di Eropa mungkin menerapkan program pelatihan intensif selama berbulan-bulan bagi para calon anggotanya, yang mencakup kajian mendalam tentang ideologi partai dan sejarah pergerakan. Apakah model semacam ini relevan dengan konteks Indonesia yang jauh lebih heterogen, di mana musyawarah mufakat dan gotong royong menjadi nilai-nilai yang dijunjung tinggi? Ingatlah “Desa mawa cara, negara mawa tata”, yang mengingatkan kita bahwa setiap wilayah memiliki adat dan aturan yang khas.
Di satu sisi, partai kader Kristen dapat menjelma menjadi benteng yang tangguh dalam menjaga identitas dan nilai-nilai Kristiani di tengah gempuran arus globalisasi dan sekularisasi. Kader-kader yang militan akan berani melawan arus, memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan tanpa kompromi, seperti yang diserukan oleh para nabi dalam Alkitab, serta diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Inilah kekuatan yang tak dapat diremehkan. Sebagai contoh, dalam isu-isu krusial seperti kebebasan beragama atau perlindungan kaum minoritas, kader-kader yang terlatih dapat menyajikan argumentasi yang kuat dan berbasis nilai, serta merangkul dukungan dari berbagai elemen masyarakat, dengan senantiasa mengedepankan kasih dan kebenaran, serta semangat persatuan dalam keberagaman. Namun, perlu diingat “Alon-alon waton kelakon”, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan kesabaran untuk mencapai hasil yang optimal.
Namun, di sisi lain, partai kader Kristen berisiko menjadi elitis dan kaku. Keputusan-keputusan penting hanya diambil oleh segelintir elite, tanpa melibatkan partisipasi aktif dari anggota dan simpatisan. Suara-suara kritis dibungkam, inovasi terhambat. Apakah ini merupakan jalan yang bijak, jika kita meyakini bahwa setiap insan diciptakan menurut citra dan rupa Allah dan memiliki hak yang sama untuk didengarkan, serta menjunjung tinggi prinsip demokrasi Pancasila? Sebagai ilustrasi, jika partai hanya terfokus pada isu-isu yang dianggap esensial oleh elite partai, mereka berpotensi kehilangan relevansi dengan problematika sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat luas, seperti masalah ekonomi, pendidikan, atau kesehatan, yang juga menjadi perhatian Tuhan dan merupakan amanat pembangunan nasional. Jangan sampai “Mikul dhuwur mendhem jero”, yang mencerminkan sikap meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Lantas, bagaimanakah solusinya? Apakah partai Kristen harus memilih antara eksklusivitas partai kader atau kehilangan arah partai massa? Apakah hanya tersedia dua opsi?
Tentu saja tidak. Terdapat jalan ketiga, yaitu jalan tengah yang berkelanjutan. Partai Kristen dapat mengadopsi elemen-elemen terbaik dari model partai kader: pelatihan yang intensif, organisasi yang efisien, dan disiplin ideologis. Namun, mereka juga harus tetap membuka diri dan inklusif, menerima anggota dari berbagai latar belakang dan memberikan ruang partisipasi aktif dari akar rumput, seperti semangat gotong royong yang telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Ingatlah “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, yang menegaskan bahwa kekuatan terletak pada persatuan dan kebersamaan.
Kuncinya adalah mengusung nilai-nilai kebangsaan yang terinspirasi dari Alkitab sebagai manifestasi iman yang aktif dan kontributif bagi Indonesia. Nilai-nilai seperti persatuan, keadilan, dan gotong royong merupakan fondasi yang kokoh untuk membangun bangsa. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39) adalah landasan bagi persatuan dan solidaritas. “Berbuat adil dan benar” (Mikha 6:8) adalah panggilan untuk menegakkan keadilan bagi semua. “Saling menolong dan berbagi beban” (Galatia 6:2) adalah perwujudan gotong royong dan kepedulian sosial. Nilai-nilai ini bukanlah sekadar retorika, melainkan panggilan untuk bertindak nyata dalam mewujudkan kebaikan bersama, selaras dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. “Urip iku urup”, yang bermakna bahwa hidup hendaknya memberikan manfaat bagi sesama.
Partai Kristen harus menjadi rumah bagi segenap elemen yang meyakini nilai-nilai Kristiani dan kebangsaan ini, tanpa memandang suku, ras, agama, kelas sosial, maupun orientasi politik. Partai harus menjadi wahana dialog yang konstruktif, di mana setiap suara didengarkan dan dihargai. Sebagai contoh, partai dapat menyelenggarakan forum diskusi terbuka yang melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari berbagai latar belakang untuk membahas isu-isu krusial dan merumuskan solusi bersama, berlandaskan pada prinsip-prinsip Alkitabiah, semangat Pancasila, dan komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI. “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, yang mengingatkan bahwa persatuan akan melahirkan kekuatan, sementara perselisihan akan memicu kehancuran.
Dengan demikian, partai Kristen dapat menjelma menjadi kekuatan yang relevan dan berpengaruh dalam konstelasi politik Indonesia. Partai yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan umat Kristen, tetapi juga kepentingan seluruh bangsa. Partai yang tidak hanya mempertahankan identitasnya, tetapi juga membuka diri terhadap perubahan dan inovasi. Partai yang menjadi berkat bagi semua, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. “Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara”, yang berarti memperindah dunia dan memberantas segala bentuk angkara murka.
Partai Kristen yang inklusif, berkelanjutan, dan mengusung nilai kebangsaan dalam Alkitab sebagai manifestasi iman yang aktif dan kontributif adalah kunci untuk merebut kembali sinarnya dan mewujudkan visi Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera bagi semua, sebagai bagian dari panggilan kita untuk mewujudkan Kerajaan Allah di bumi Indonesia, yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “Sura dira jaya ningrat, lebur dening pangastuti”, yang mengajarkan bahwa segala kekuatan, keberanian, dan kekuasaan akan luluh oleh kelembutan dan kasih sayang. Inilah harapan yang harus terus diperjuangkan, dengan senantiasa mengandalkan kasih karunia dan hikmat dari Tuhan, serta semangat gotong royong dan persatuan dari seluruh elemen bangsa. “Sak madya ngendhani bebaya”, yang berarti berhati-hatilah dalam setiap tindakan.
Oleh : Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)
Penulis adalah seorang jurnalis dan aktivis yang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) Parkindo (Partisipasi Kristen Indonesia) serta seorang rohaniwan dari salah satu sinode Gereja yang ada di Indonesia, menekankan bahwa iman Kristen tidak boleh hanya berhenti di ruang-ruang ibadah, tetapi harus termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beliau juga menambahkan bahwa nilai-nilai Alkitabiah justru sangat relevan dan dapat menjadi fondasi kuat bagi kebangsaan Indonesia yang majemuk.