Dari Rahim Ibu Pertiwi: Mengukuhkan Peran Perempuan dalam Membangun Peradaban

Dari Rahim Ibu Pertiwi: Mengukuhkan Peran Perempuan dalam Membangun Peradaban

Spread the love

Bogor – Di jantung nusantara, di mana budaya dan sejarah berpadu, kata-kata menjelma bukan sekadar bunyi, melainkan cermin jiwa bangsa. Dalam setiap ungkapan, tersemat kekuatan dahsyat: membangun atau menghancurkan, menyatukan atau memecah belah. Mari merenung, bagaimana lisan yang santun dan penuh hikmah mampu menjadi fondasi kokoh, menjaga harmoni dalam keberagaman yang kita junjung tinggi.

Di tengah pusaran politik yang kerap kali bergejolak, riak kata menghantam, terkadang menjelma badai yang mengusik nurani. Pernyataan Ketua Harian PSI, Ahmad Ali, menjadi sorotan tajam. Dengan menyebut Megawati sebagai “nenek-nenek”, Ahmad Ali bukan hanya mengkritik lama jabatan, melainkan menyerang ranah personal yang tak bisa diubah: gender. Ironisnya, gender yang melekat pada Megawati adalah warisan dari rahim Fatmawati, seorang tokoh pejuang nasional yang gagah berani. Pernyataan ini memicu perdebatan tentang etika berpolitik dan penghormatan terhadap perempuan.

Ibu Pertiwi telah melahirkan sederet perempuan tangguh, yang dengan segenap daya dan upaya, turut serta membangun peradaban. Rahim seorang ibu adalah sumber kehidupan, tempat bermulanya perjuangan. Merendahkan perempuan, sama halnya merendahkan kemanusiaan itu sendiri. Ingatlah RA Kartini, yang dengan gagasan emansipasinya membuka cakrawala baru bagi perempuan Indonesia. Kenanglah Cut Nyak Dien, yang dengan keberaniannya memimpin perlawanan di medan perang. Jangan lupakan Laksamana Malahayati, laksamana perempuan pertama di dunia yang memimpin armada laut Aceh melawan penjajah. Mereka adalah bukti tak terbantahkan: perempuan adalah pilar penting dalam sejarah bangsa. “Gemi nastiti ngati-ati” (hemat, cermat, dan hati-hati) adalah prinsip yang membimbing langkah perjuangan mereka.

Pernyataan Ahmad Ali seolah menggarisbawahi jurang pemisah antara retorika dan realita, terutama di tubuh PSI. Pada Kopdarnas November 2015, Grace Natalie, Ketua Umum PSI kala itu, dengan tegas menyatakan bahwa PSI adalah partai yang ramah perempuan, menolak segala bentuk diskriminasi gender. Namun, ucapan Ahmad Ali justru mengkhianati semangat tersebut. Pertanyaan menggantung: apakah prinsip partai dapat dikorbankan demi ambisi kekuasaan? Mengapa kader-kader PSI yang telah lama berjuang tak bersuara atas ucapan Ahmad Ali?

Meski diserang secara personal, Megawati tetap tegar. Di masa lalu, ia berhadapan dengan lawan-lawan politik sekelas Soerjadi, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, ia selalu berkonfrontasi dalam kapasitas mereka sebagai pemimpin, bukan menyerang ranah pribadi. Bahkan, kepada Soeharto, lawan politik terbesarnya, Megawati pernah menyerukan untuk menghentikan hujatan dan cemoohan pribadi.

Dalam filosofi Jawa, “eling lan waspodo” menjadi kompas moral. “Eling” berarti ingat jati diri, “waspodo” berarti waspada terhadap segala sesuatu. Ucapan adalah cerminan diri. Sebelum berucap, renungkanlah: apakah kata-kata yang terlontar akan membawa kebaikan atau justru sebaliknya? Ingatlah “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana” (harga diri seseorang dari lidahnya, harga diri badan dari pakaiannya).

Kita juga menjunjung tinggi “guyub rukun”, semangat persatuan dan kesatuan. Perbedaan pendapat adalah bumbu demokrasi, namun jangan sampai memecah belah bangsa. Jadikan perbedaan sebagai kekayaan yang memperkaya khazanah pemikiran. Dalam musyawarah desa, setiap suara didengar, namun keputusan diambil secara mufakat demi kepentingan bersama. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” adalah mantra yang harus terus kita kobarkan.

Seperti halnya Megawati, yang dengan kesabaran dan keteguhannya melewati badai politik, kita harus belajar untuk memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Kesabaran revolusioner adalah senjata ampuh menghadapi tantangan. Ingatlah bagaimana Megawati tetap tenang dan bijaksana di tengah tekanan politik. “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake” (menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan) adalah prinsip yang harus kita pegang teguh.

Semoga kita semua dapat memetik hikmah dari peristiwa ini, menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Nusantara. Mari jaga lisan, hormati perbedaan, kedepankan kesantunan, demi Indonesia yang lebih baik. “Tata tentrem karta raharja” (tata tertib, tenteram, makmur, dan sejahtera) adalah cita-cita luhur yang ingin kita wujudkan bersama.

Megawati adalah teladan: ikhlas walau dihina, tegar walau direndahkan. Ia memiliki kesabaran yang revolusioner, kekuatan yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, kita harus berdiri tegak melawan segala bentuk perendahan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kita tidak akan pernah membiarkan suara-suara yang merendahkan martabat perempuan merajalela di negeri ini. Kita akan terus berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera bagi semua.

Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

error: Content is protected !!