Di Balik Setiap Headline, Ada Luka: Kisah Para Penjaga Kebenaran yang Terlupakan

Di Balik Setiap Headline, Ada Luka: Kisah Para Penjaga Kebenaran yang Terlupakan

Spread the love

Bogor – Bayangkan sebuah obor, menyala terang di tengah kegelapan. Itulah jurnalis, pembawa cahaya kebenaran di tengah badai informasi. Namun, pernahkah kita bertanya, siapa yang menjaga obor itu tetap menyala? Siapa yang rela tangannya terbakar demi menerangi jalan kita?

Mereka adalah para jurnalis media online, para pejuang informasi di era digital. Setiap hari, mereka bergelut dengan tenggat waktu yang mencekik, tekanan dari pemilik modal yang membungkam idealisme, dan tuntutan views yang mengorbankan kualitas. Di balik semua itu, tersembunyi luka yang menganga: kehidupan ekonomi yang jauh dari kata sejahtera, perlakuan tidak adil yang merendahkan martabat, harapan akan peran Dewan Pers yang tak kunjung tiba, dan ancaman nyata yang selalu mengintai. Mereka adalah para penjaga kebenaran yang seringkali dilupakan, “kawas lauk asup kana bubu” (seperti ikan masuk ke dalam perangkap), terperangkap dalam sistem yang tidak adil.

Dewan Pers seharusnya menjadi benteng terakhir bagi kebebasan pers dan pelindung bagi para jurnalis. Namun, kenyataannya, Dewan Pers seringkali hanya menjadi macan kertas, tumpul dalam membela, dan lambat dalam bertindak. Kita ingat kasus Anwar, seorang jurnalis di daerah terpencil yang diintimidasi dan diancam oleh oknum aparat karena mengungkap kasus korupsi. Ketika ia mengadu ke Dewan Pers, respons yang ia terima hanyalah janji-janji kosong dan perlindungan yang tak pernah datang. Anwar akhirnya terpaksa hidup dalam pelarian, meninggalkan keluarganya, dan mengubur impiannya. “Jauh ka disuhun, anggang ka diteang” (jauh untuk dijunjung, enggan untuk dicari), begitulah gambaran peran Dewan Pers yang seharusnya dekat, namun terasa jauh dari jangkauan para jurnalis yang membutuhkan.

Ironisnya, banyak jurnalis yang justru hidup di bawah sejahtera, berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Mereka adalah para pahlawan tanpa tanda jasa yang rela menggadaikan idealisme demi sesuap nasi. Ambil contoh Sari, seorang jurnalis lepas yang meliput isu-isu lingkungan. Ia harus menjadi pengemudi ojek online di sela-sela waktu meliput, mengorbankan waktu istirahatnya, dan mempertaruhkan keselamatannya di jalanan demi mendapatkan penghasilan tambahan. Upah yang ia terima dari media online tempat ia bekerja seringkali hanya cukup untuk membayar kontrakan yang reyot dan membeli makanan yang nyaris basi. Ia bahkan tidak mampu membeli obat ketika sakit. “Mikul dhuwur mendhem jero” (menjunjung tinggi dan mengubur dalam), mereka menjunjung tinggi idealisme jurnalistik, namun harus mengubur dalam-dalam impian untuk hidup sejahtera.

Mereka bekerja dengan gaji yang tak sepadan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan yang memadai. Mereka dieksploitasi sebagai mesin produksi berita, dipaksa untuk menulis clickbait dan sensasionalisme yang menyesatkan demi mengejar views yang menghancurkan kualitas. Mereka diancam, diintimidasi, bahkan diserang secara fisik hanya karena mengungkap kebenaran yang pahit dan tidak ingin didengar oleh para penguasa.

Setiap berita yang mereka tulis adalah tetesan darah dan air mata, perjuangan melawan ketidakadilan dan kebohongan, serta pengorbanan yang tak terhingga. Namun, seringkali, kita hanya melihat hasilnya, tanpa peduli pada nasib para penulisnya. Kita hanya membaca beritanya, tanpa peduli pada perut mereka yang seringkali keroncongan, harapan mereka pada Dewan Pers yang tak kunjung tiba, dan ancaman yang setiap saat bisa merenggut nyawa mereka. “Gajah alit, semut ট্রাঙা” (gajah kalah oleh semut), meskipun kecil dan seringkali diremehkan, namun perjuangan mereka untuk mengungkap kebenaran memiliki kekuatan yang besar.

Kita lupa bahwa mereka bukan robot. Mereka adalah manusia dengan mimpi yang terkubur, harapan yang pupus, dan keluarga yang harus mereka nafkahi. Mereka adalah anak-anak yang ingin membanggakan orang tuanya, pasangan yang ingin membahagiakan kekasihnya, orang tua yang ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya.

Namun, bagaimana mereka bisa mewujudkan mimpi-mimpi itu jika mereka terus-menerus dieksploitasi dan diabaikan? Bagaimana mereka bisa bekerja dengan tenang jika mereka selalu dihantui oleh masalah ekonomi yang mencekik, kekecewaan pada Dewan Pers yang melumpuhkan, dan ancaman yang nyata yang membuat mereka hidup dalam ketakutan? “Sepi ing pamrih rame ing gawe” (bekerja tanpa mengharapkan imbalan), mereka bekerja dengan tulus demi kepentingan masyarakat, namun seringkali tidak mendapatkan penghargaan yang layak.

Sudah saatnya kita membuka mata dan hati kita. Sudah saatnya kita berhenti menganggap jurnalis sebagai mesin produksi berita dan mulai menghargai mereka sebagai manusia, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebagai penjaga nurani bangsa. Mereka adalah pilar demokrasi yang berjuang di garis depan, namun seringkali hidup dalam kemiskinan yang memilukan, ketidakpastian yang menakutkan, kekecewaan yang mendalam, dan ketakutan yang mencekam.

Kita harus menuntut peran Dewan Pers yang lebih aktif, responsif, dan efektif dalam melindungi kebebasan pers dan membela kepentingan jurnalis. Kita juga harus menuntut upah yang layak, jaminan sosial, dan perlindungan ekonomi yang memadai bagi mereka. Kita harus menghentikan segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, serta memberikan dukungan moral dan material kepada mereka. “Lamun keyeng tangtu pareng” (jika bersungguh-sungguh pasti berhasil), mari kita bersama-sama berjuang untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi para jurnalis.

Ingatlah, jurnalisme yang sehat adalah pilar demokrasi, dan jurnalis yang sejahtera adalah kunci untuk menjaga obor kebenaran tetap menyala. Tanpa jurnalis yang bebas, sejahtera, dan dilindungi, kita akan hidup dalam kegelapan informasi dan kebohongan, menjadi budak bagi para penguasa yang korup dan tiran. Mari kita jaga obor kebenaran tetap menyala dengan mendukung para jurnalis, para penjaga nurani bangsa. “Silih asah, silih asih, silih asuh” (saling mengasah, saling menyayangi, saling menjaga), mari kita saling mendukung, saling menyayangi, dan saling menjaga agar para jurnalis dapat terus menjalankan tugas mulia mereka.

Karena, di balik setiap headline, ada luka yang tersembunyi, ada perjuangan yang tak terucapkan, dan ada pengorbanan yang tak terhingga. Mari kita obati luka itu dengan cinta, dukungan, dan tindakan nyata. Bersama, kita bisa mengubah dunia, menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh), mari kita bersatu untuk membela kebenaran dan keadilan bagi para jurnalis.

Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas), Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan tercatat sebagai Rohaniawan di Sinode GPIAI 

error: Content is protected !!