Jakarta – klikberita.net
Peneliti PolMark Research Centre, Eep Saefulloh Fatah menilai bahwa Presiden Joko Widodo sedang berkubang dalam krisis yang tengah berlangsung saat ini. Menurutnya, ada 4 krisis yang sedang melanda pemerintahan Jokowi yaitu krisis moral, krisis politik, krisis kebijakan dan krisis elektoral.
“Sebagai warga negara saya sedang menyaksikan bahwa Jokowi sedang berkubang dalam krisis saat ini,” ujar Eep kepada awak media, Selasa (12/12/2023) di Jakarta.
Dijelaskan Eep, krisis moral mulai terjadi ketika Jokowi melanggar TAP MPR No. 11 tahun 1998 dan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Ia melihat dengan terang benderang telah mempertontonkan nepotisme sehingga pada saat itulah krisis moral sudah terjadi.
“Pada saat itu kita menyaksikan krisis moral yang dihadapi oleh Jokowi, yang dipertegas dengan persoalan yang dihadapi oleh MK,” ungkapnya.
Krisis kedua, lanjut Eep, adalah krisis politik. Sebelum ada penetapan capres-cawapres dan koalisi dalam Pilpres 2024, dukungan politik terhadap Jokowi datang dari 81 % kursi di DPR RI. Menurutnya, ini adalah dukungan terbesar sepanjang sejarah presiden hasil pemilihan langsung.
“Sejak ada penetapan capres-cawapres, yang terjadi adalah krisis dukungan politik dikarenakan 54,6% sudah diluar presiden Jokowi. 3 partai sudah bersama AMIN dan 2 partai bersama Ganjar-Mahfud. Sehingga sisa dukungan hanya 45,4% saja.
Dari 81% menjadi 45% itu krisis namanya. Krisis kedua ini sudah terjadi karena Jokowi sedang mengalami krisis dukungan politik,” imbuhnya.
Krisis ketiga, kata Eep, adalah krisis kebijakan. Selama ini kita dicekoki oleh data survei yang tidak tuntas berupa tingkat kepuasan pemilih terhadap presiden Jokowi. Eep mengaku tidak tahu apakah lembaga-lembaga survey itu menanyakan pertanyaan lain selain kepuasan. Survey yang ia lakukan di 32 provinsi dengan masing-masing provinsi sebanyak 1200 responden dengan mengajukan 5 pertanyaan menyangkut penilaian pemilih terhadap keadaan mereka.
Kelima pertanyaan tersebut, jelas Eep, apakah mereka menghadapi harga kebutuhan pokok yang terlampau tinggi sehingga tidak bisa menjangkaunya? Apakah korupsi merajalela sehingga mereka merasa dipersulit hidupnya? Apakah pembangunan infrastruktur sudah membuat kehidupan mereka lebih baik? Apakah pekerjaan mudah untuk dicari?
“Dari kelima pertanyaan tersebut jawabannya buruk, artinya publik dan pemilih menilai memang keadaan sedang tidak baik-baik saja. Kami pun menyelenggarakan survey ulang di 32 provinsi, dengan tujuan untuk mengecek ulang diantaranya soal keputusan MK dan nepotisme, IKN hingga 8 isu lainnya ditambah 13 pertanyaan soal krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Dari hasi tersebut ternyata tidak ada perubahan yang menganggap keadaan sedang tidak baik-baik saja. Maka saya bisa simpulkan bahwa krisis kebijakan sudah terjadi,” tuturnya.
Krisis keempat, tambah Eep, adalah krisis elektoral. Sebagai warga negara Indonesia, ia menargetkan Jokowi harus kalah di 2024. Pasalnya, jika tidak maka pemimpin berikutnya akan menjadikan ini sebagai contoh.
“Yang ingin saya katakan adalah krisis elektoral harus terjadi bukan untuk mengalahkan Jokowi dan tidak ada sesuatu urusan pribadi dalam hal ini, tetapi urusannya bagaimana demokrasi dan masa depannya tidak boleh ada dalam titik balik, ini urusan dimana Indonesia harus menyelamatkan sesuatu yang sangat besar,” pungkasnya. (***)