Gereja: Jantung Ekologis Komunitas, Membangun Harmoni Manusia dan Alam Berlandaskan Hukum, Firman Tuhan, dan Kearifan Lokal

Gereja: Jantung Ekologis Komunitas, Membangun Harmoni Manusia dan Alam Berlandaskan Hukum, Firman Tuhan, dan Kearifan Lokal

Spread the love

Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Di era krisis lingkungan, gereja memiliki panggilan unik untuk menjadi jantung ekologis komunitas, beroperasi dalam kerangka hukum yang jelas, berlandaskan pada Firman Tuhan, dan menghargai kearifan lokal. Lebih dari sekadar tempat ibadah, gereja harus menjadi pusat kesadaran dan aksi lingkungan, menginspirasi jemaat dan masyarakat luas untuk hidup selaras dengan alam, selaras dengan regulasi yang ada, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta, dan menghormati warisan budaya leluhur.

Peran ekologis gereja dimulai dari dalam. Gereja dapat menjadi contoh pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan sampah yang efektif, dan konservasi air. Tindakan ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menekankan tanggung jawab setiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan, termasuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan. Hal ini juga sejalan dengan Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Dalam konteks kearifan lokal, kita bisa merujuk pada peribahasa Jawa, “Alam iki titipane anak putu,” yang berarti “Alam ini adalah titipan dari anak cucu,” menekankan tanggung jawab kita untuk menjaga lingkungan demi generasi mendatang.

Namun, peran ekologis gereja tidak berhenti di situ. Gereja dapat menjadi pusat pendidikan lingkungan, menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan kegiatan komunitas yang meningkatkan kesadaran tentang isu-isu lingkungan dan mempromosikan gaya hidup berkelanjutan. Kegiatan ini mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang mengatur pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenisnya, mendorong pengurangan sampah hingga 30-70% pada tahun 2025. Ini juga mencerminkan Amsal 12:10, “Orang benar memperhatikan hidup hewan peliharaannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam.” Dalam konteks Sunda, kita bisa mengingat peribahasa, “Kudu bisa ngariksa, miara, jeung ngamumule,” yang berarti “Harus bisa menjaga, memelihara, dan melestarikan,” menekankan pentingnya tindakan nyata dalam menjaga lingkungan.

Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Lebih dari itu, gereja dapat menjadi agen perubahan di masyarakat. Dengan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain, gereja dapat mengadvokasi kebijakan publik yang melindungi lingkungan dan mendukung komunitas yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Advokasi ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengatur pengelolaan ruang wilayah negara untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ini juga selaras dengan Yesaya 1:17, “belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan; kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!”

Gereja juga dapat berperan dalam pelestarian hutan, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mengatur pengelolaan hutan untuk konservasi, perlindungan, dan produksi. Gereja dapat mendukung program penanaman pohon, rehabilitasi hutan, dan edukasi tentang pentingnya menjaga hutan sebagai paru-paru dunia. Hal ini sesuai dengan Mazmur 96:12, “Biarlah ladang bersorak-sorai dan segala yang ada di dalamnya! Maka segala pohon di hutan bersorak-sorai.”

Momentum penting dalam upaya ini adalah Konsultasi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim (MAPI) yang digelar oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada tanggal 15-17 Oktober 2025 di Yogyakarta. Acara ini melibatkan berbagai lembaga, termasuk:

– Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
– Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW)
– JAKOMKRIS
– Cahaya Bagi Negeri-Obor Berkat Indonesia (CBN-OBI)
– Serta mitra strategis lainnya

Keterlibatan berbagai lembaga ini menunjukkan komitmen bersama untuk mengatasi krisis lingkungan.

Namun, peran ekologis gereja yang paling penting adalah menumbuhkan spiritualitas ekologis. Gereja dapat membantu jemaat memahami bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dilestarikan. Dengan memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa atas alam, jemaat akan terinspirasi untuk hidup lebih sederhana, lebih bijaksana, dan lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Ini adalah implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima, yang menekankan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini juga didukung oleh Roma 1:20, “Sebab sejak dunia diciptakan, sifat-sifat Allah yang tidak kelihatan, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat dilihat dengan jelas dari segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya, sehingga manusia tidak dapat mengelak.”

Dalam Konsultasi Nasional PRB dan MAPI, kita melihat komitmen gereja untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan. Ini adalah langkah yang menggembirakan, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan. Gereja harus terus berinovasi, berkolaborasi dengan lembaga-lembaga seperti UKDW, JAKOMKRIS, CBN-OBI, dan mitra strategis lainnya, serta menginspirasi untuk menciptakan komunitas yang lebih hijau, lebih adil, dan lebih berkelanjutan, semua dalam koridor hukum yang berlaku, sesuai dengan Firman Tuhan, dan selaras dengan kearifan lokal.

Penulis  bukan hanya sekadar rohaniwan—beliau adalah catalyst perubahan. Sebagai aktivis dan penggiat sosial, serta jurnalis senior yang piawai merangkai kata, Romo Kefas menggunakan setiap platform yang dimilikinya untuk menyuarakan pentingnya harmoni antara manusia dan alam. Dengan menggabungkan spiritualitas, aksi nyata, dan kekuatan jurnalisme, ia menginspirasi kita semua untuk menjadi agen perubahan positif bagi bumi tercinta.

error: Content is protected !!