IMAN YANG MENDIDIK: PENDIDIKAN KRISTIANI DAN JALAN INDONESIA MENUJU KEADILAN SOSIAL

IMAN YANG MENDIDIK: PENDIDIKAN KRISTIANI DAN JALAN INDONESIA MENUJU KEADILAN SOSIAL

Spread the love

Pelitakota.id – Merespons kondisi bangsa Indonesia dalam beberapa hari terakhir yang diwarnai konflik horizontal dan dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat, pendidikan Kristiani perlu menegaskan sekaligus mengafirmasi keberadaannya. Terlebih, semangat mewujudkan cita-cita luhur yang termaktub dalam Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi terpinggirkan. Demo-demo yang terjadi di Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia merupakan kemarahan publik terhadap masalah bangsa yang belum juga menemukan jalannya. Kesenjangan ekonomi, ketidaksetaraan akses pendidikan, praktik korupsi, hingga maraknya intoleransi menjadi gambaran nyata bahwa bangsa ini masih berjuang panjang menuju masyarakat yang benar-benar adil. Dalam konteks inilah, pendidikan Kristiani hadir bukan hanya sebagai proses transfer pengetahuan iman, melainkan sebagai kekuatan moral dan spiritual yang mampu memberi kontribusi nyata bagi pembentukan masyarakat yang lebih berkeadilan.
Pendidikan Kristiani Sebagai Fondasi Moral Bangsa
Pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pendidikan Kristiani memiliki peran serupa, dengan dasar iman yang mengajarkan kasih, pengampunan, dan keadilan. Di tengah bangsa Indonesia yang majemuk, pendidikan Kristiani dipanggil untuk menanamkan nilai moral universal yang bersumber dari ajaran Yesus Kristus: mengasihi sesama, memperjuangkan kebenaran, serta merawat perdamaian.
Nilai-nilai ini menjadi bekal penting bagi generasi muda Indonesia untuk tidak terjebak pada praktik diskriminasi, intoleransi, maupun egoisme sosial. Pendidikan Kristiani dapat membentuk pribadi yang memiliki integritas, berani melawan ketidakadilan, serta peduli terhadap mereka yang tertindas.
Fakta menunjukkan, kesenjangan sosial di Indonesia masih sangat nyata. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, tingkat ketimpangan pendapatan atau gini ratio masih berkisar pada angka yang memprihatinkan, yaitu di angka 0,375. Akses kesehatan dan pendidikan pun belum merata, terutama di wilayah-wilayah terpencil seperti Papua, Nusa Tenggara, dan sebagian Kalimantan. Selain itu, praktik korupsi masih menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi kehidupan bangsa. KPK masih mencatat puluhan kasus besar setiap tahunnya yang melibatkan pejabat publik. OTT pun terjadi kepada pejabat publik. Di sisi lain, isu intoleransi dan radikalisme masih sesekali muncul, menodai wajah Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Dalam situasi seperti ini, pendidikan Kristiani tidak boleh diam dan harus menjadi motor perubahan. Dengan pendekatan iman yang mendidik, nilai-nilai keadilan sosial dapat ditanamkan tidak hanya kepada jemaat gereja, tetapi juga kepada masyarakat luas melalui sikap hidup yang nyata.
Gereja Sebagai Pusat Pendidikan Kristiani
Peran gereja dalam konteks Indonesia tidak hanya terbatas pada liturgi ibadah. Gereja juga adalah pusat pendidikan Kristiani yang mampu membentuk pola dan/atau corak pikir umatnya. Melalui pengajaran Alkitab, khotbah, kelompok sel, hingga kegiatan sosial, gereja dapat menanamkan nilai solidaritas, kejujuran, dan kepedulian sosial. Namun faktanya, gereja masih berfokus pada urusan “spiritual” dan enggan menyentuh aspek sosial. Hal ini terlihat dari pertobatan yang digaungkan. Jarang, bahkan hampir tidak pernah, gereja menggaungkan pertobatan sosial atas masalah bangsa. Tangisan umat melulu soal dosa pribadi. Kasih Allah pun terdegradasi hanya kepada manusia (antroposentris), padahal Allah merengkuh seluruh ciptaan sebagai keindahan dan kebaikan yang patut dirawat dan dijaga.
Apakah gereja berani masuk ke ranah sosial? Apakah gereja bersedia menyentuh program sosual. Program-program pelayanan gereja yang menyentuh aspek sosial, beasiswa bagi anak kurang mampu, rumah singgah untuk kaum marjinal, atau klinik kesehatan murah, adalah wujud nyata iman yang mendidik. Gereja tidak hanya berbicara tentang surga, tetapi juga tentang keadilan di bumi, sebagaimana doa Yesus: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.”
Pendidikan Kristiani di Sekolah dan Perguruan Tinggi
Sekolah-sekolah Kristen dan perguruan tinggi teologi di Indonesia juga memiliki peran vital. Sekolah Kristen bukan hanya mencetak siswa dan mahasiswa berprestasi, tetapi juga membentuk manusia Indonesia yang beriman, cerdas, dan berkarakter. Kurikulum pendidikan Kristiani di sekolah Kristen dapat diarahkan untuk memperkuat nilai Pancasila, membangun nasionalisme, serta menanamkan kepedulian sosial yang mengakar pada realitas keindonesiaan. Di perguruan tinggi teologi, calon pendeta dan guru agama dipersiapkan untuk menjadi pemimpin rohani sekaligus agen perubahan sosial. Mereka tidak hanya dituntut mahir dalam doktrin, tetapi juga peka terhadap isu-isu kemasyarakatan. Para siswa dan mahasiswa dapat mengarahkan jemaat untuk berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial di lingkungannya masing-masing. Model seperti ini menjadi ruang agar iman dapat membebaskan.
Teolog Amerika Latin, Gustavo Gutiérrez, pernah menegaskan bahwa iman yang sejati adalah iman yang membebaskan, terutama mereka yang miskin dan tertindas. Hal ini sejalan dengan misi Kristus sendiri, yang datang “untuk memberitakan kabar baik kepada orang miskin, pembebasan kepada orang tawanan, dan penglihatan bagi orang buta” (Luk. 4:18). Dalam konteks Indonesia, pendidikan Kristiani harus menghidupi semangat pembebasan ini. Bukan sekadar pendidikan yang berorientasi pada dogma, melainkan pendidikan yang menggerakkan umat untuk terlibat aktif dalam mengatasi masalah sosial: memberantas kemiskinan, melawan korupsi, merawat lingkungan, dan memperjuangkan hak-hak minoritas.
Jalan Panjang Menuju Indonesia yang Berkeadilan
Salah satu tantangan besar bangsa Indonesia adalah bagaimana menjaga relevansi Pancasila dalam kehidupan nyata. Banyak pihak menilai bahwa Pancasila hanya dijadikan slogan politik, sementara praktik sehari-hari jauh dari nilai-nilainya.
Pendidikan Kristiani dapat menjadi mitra penting dalam menghidupkan kembali Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima: “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Nilai kasih Kristiani selaras dengan semangat kemanusiaan yang beradab, sementara ajaran tentang kebenaran dan keadilan dapat memperkuat perjuangan bangsa menuju masyarakat yang lebih sejahtera dan setara.
Mewujudkan Indonesia yang adil memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, lembaga pendidikan, dan institusi keagamaan. Dalam hal ini, pendidikan Kristiani bisa mengambil peran sebagai katalisator moral, yang terus-menerus mengingatkan bangsa bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga tentang karakter, integritas, dan keadilan.
Generasi muda Kristen Indonesia perlu disiapkan menjadi pemimpin yang berwawasan kebangsaan, berintegritas, dan memiliki kepedulian sosial. Mereka harus mampu berdialog lintas iman, menghargai perbedaan, sekaligus menjadi teladan dalam melawan praktik ketidakadilan.
Penutup
Di tengah tantangan bangsa Indonesia hari ini, pendidikan Kristiani adalah cahaya yang dapat menuntun pada jalan keadilan sosial. Iman yang mendidik bukan hanya tentang pemahaman teologi, tetapi tentang tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Melalui gereja, sekolah, dan keluarga, nilai kasih, kebenaran, dan keadilan perlu ditanamkan dengan konsisten.
Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga berkarakter dan beriman. Di sinilah pendidikan Kristiani berperan penting, sebagai jalan iman yang mendidik, yang mengarahkan bangsa ini menuju cita-cita luhur: Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Dr. Frans Pantan Ketua STT Bethel Indonesia Jakarta

Editor Romo Kefas

error: Content is protected !!