Klikberita.net Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Seorang penyair dalam puisinya menceritakan tentang seseorang yang tersesat di tengah padang pasir yang sangat luas, yang sepertinya tidak bertepi. Ia sedang dalam perjalanan menuju Tanah Airnya. Dalam kebingungan dan keputusasaan, ia bertemu dengan seseorang yang datang menyongsongnya, dan rupanya orang itu buta.
Orang buta itu berkata bahwa ia bisa mengantar dengan selamat sampai ke tanah airnya. Orang tersesat itu bertanya kepada si buta: “Siapa namamu?” Si buta itu menjawab: “Iman!”. Lalu orang tersesat itu mengulurkan tangannya kepada si buta untuk dibimbing menuju Tanah Airnya. Imanmu telah menyembuhkan engkau! (Josep Lalu, Pr. Makna Beriman, Percikan Kisah-kisah Anak Manusia, Komkat KWI).
Dalam kehidupan umat beriman, kepercayaan sangat memegang kunci penting. Kepercayaan kita kepada Tuhan menjadi landasan untuk segala pikiran dan tindakan kita. Kepercayaan kita kepada Tuhan yang selalu menuntun hidup kita dan mencintai kita akan memperkuat hidup dan juga hubungan kita dengan Tuhan dan sesama kita.
Dalam Injil Markus 1:40–45 digambarkan bagaimana kepercayaan seorang penderita sakit kusta kepada Yesus. Ia datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku”. Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang kusta itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir”. Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir (Markus 1: 41–42).
Orang kusta dianggap orang yang berdosa; manusia yang najis. Maka orang-orang kusta harus dijauhkan dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang tak punya harapan dan nilai, dan merasa diri sudah mati karena dibuang dari masyarakat. Orang kusta selain mederita penyakit fisik yang pada zaman itu belum ditemukan obat yang bisa menyembuhkan, juga menderita penyakit mental karena disingkirkan oleh masyarakat.
Hal yang menarik dari kisah ini adalah orang kusta itu berani datang kepada Yesus dengan penuh iman dan berkata: “Kalau Tuhan mau, Tuhan dapat menyembuhkan aku.” Iman yang besar ternyata mengalahkan aturan hukum Musa dan mendorong dia bertemu Yesus untuk minta disembuhkan. Sebab menurut aturan hukum Musa, Yesus berhak dan dapat mengusir orang kusta tersebut. Tetapi melihat imannya akan Yesus yang berbelas kasihan, dan di hadapannya bahwa ada seorang manusia membutuhkan pertolongan Yesus, maka Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang kusta itu sehingga ia sembuh. Bagi Yesus tidak ada manusia sekalipun berdosa yang harus ditolak.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Menarik untuk kita renungkan bahwa iman yang begitu besar memberikan kesembuhan kepada orang kusta itu. Iman yang penuh penyerahan diri kepada Tuhan; iman yang memiliki nilai tertinggi bahwa hanya pada Tuhanlah ada harapan dan kehidupan.
Mengalami penyembuhan oleh Yesus, orang kusta itu begitu bergembira sampai-sampai ia tidak mampu menahan kegembiraannya, ia tidak dapat diam, walaupun dilarang oleh Yesus untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun peristiwa penyembuhan itu, tetapi ia membagi kegembiraan itu pada orang lain.
Dalam peristiwa kesembuhan yang dialami oleh orang kusta ini Tuhan mau mengatakan kepada kita bahwa manusia pun sering memperlakukan sesamanya seperti orang kusta. Banyak orang sakit, tersingkir, dan tidak mendapat perhatian dari sesamanya. Dan terkadang orang lain kita singkirkan karena berbeda pendapat dengan kita, atau berbeda pilihan politik dengan kita. Orang-orang itu kita singkirkan agar tidak mengganggu kenyamanan kita sehingga mereka merasa seperti orang yang berpenyakit kusta, seakan tidak punya harapan lagi.
Apa yang mendorong si penderita kusta itu berani datang dan berlutut di hadapan Yesus? Penderita kusta memperlihatkan iman, bukan kesombongan, ketika dia berlutut di hadapan Yesus. Ia percaya akan kuasa Yesus Juru Selamat, dan orang kusta tersebut mengetahui bahwa Yesus dapat menyucikannya jika Tuhan bersedia menggunakan jamahan penyembuhan-Nya (Matius 8:1–2). Sungguh, kesadaran dan keyakinan si penderita kusta bahwa cinta dan kehendak Yesus bersifat menentukan merupakan contoh bagaimana semua orang harus datang ke hadapan-Nya.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Pesan penginjil Markus dalam Minggu Pekan Biasa ke VI ini bukan hendak menceritakan atau membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias yang dapat melakukan apa saja. Markus mau menegaskan bahwa belas kasihan Yesus terutama ditujukan terhadap orang yang menderita, kaum tersingkir di tengah-tengah masyarakat. Tujuan Yesus datang ke dunia ini bukan untuk membuat banyak mukjizat, melainkan Yesus hendak mewartakan kabar baik, kabar sukacita tentang Allah yang ingin menjadikan manusia sepenuhnya berharga dan bahagia. Allah mengenal kesusahan manusia, dan Ia menawarkan diri sebagai pemberi hidup yang berbelas kasih. Yesus mau agar setiap orang yang datang kepada-Nya menemukan kembali arti dan makna hidupnya.
Dan sebagai murid Yesus kita dapat belajar dari Yesus yang penuh belas kasih mampu mengembalikan hidup kepada orang lain. Kita dipanggil untuk berbelas kasih, bersedia membuka hati, mau berbagi kasih bagi orang yang tersingkir, memberikan harapan, dan hidup baru dalam Kristus Yesus.
Salman Habeahan (Direktur Pendidikan Katolik Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI)