YOGYAKARTA, 13/12/2025 — Kemacetan di Kota Yogyakarta dan sekitarnya bukan lagi cuma masalah lalu lintas—ini sudah jadi “warna baru” kota pelajar dan pariwisata yang kini terjebak dalam aliran kendaraan yang tak berkesudahan. Ruas utama seperti Jalan Laksda Adisucipto, Gejayan, Kaliurang, Ring Road Utara, dan simpang UPN selalu dipadati kendaraan pada jam sibuk, menandai tekanan mobilitas yang makin membanjiri kota.
Pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan kapasitas jalan menjadi akar masalah. Urbanisasi, ribuan mahasiswa pendatang, dan ekspansi perumahan di Sleman serta Bantul membuat arus kendaraan menuju pusat kota semakin padat. Akibatnya, waktu tempuh memanjang dan produktivitas harian terganggu—yang dulu butuh 30 menit, kini bisa sampai 2 jam!
“Dari sisi perencanaan, kita ketinggalan langkah. Jogja tumbuh terlalu cepat, tapi infrastruktur jalan dan transportasi tidak bisa menyusul. Bukan cuma masalah lebar jalan, tapi bagaimana mengarahkan arus mobilitas agar tidak semuanya menuju satu titik pusat.”
Pemerintah Daerah DIY sudah melakukan upaya seperti optimalisasi Trans Jogja, pengaturan lalu lintas, dan jalur sepeda. Namun, langkah ini dinilai belum cukup untuk kebutuhan jangka panjang.
“Trans Jogja bagus, tapi jaringannya masih tidak merata dan frekuensinya kurang di jam sibuk. Kalau jalur sepeda cuma ada di beberapa tempat, bagaimana mau bikin warga beralih dari mobil? Harus ada dukungan infrastruktur yang lengkap—bukan cuma jalur, tapi juga tempat parkir sepeda dan penutup jalan agar aman.”
Pengamat transportasi sepakat: Jogja sudah butuh sistem transportasi massal yang lebih terintegrasi dan berkapasitas besar. Dampaknya tidak cuma pada kenyamanan, tapi juga kualitas hidup—stres berkendara, pemborosan waktu, dan polusi udara menjadi kenyataan sehari-hari. Pekerja dan orang tua siswa harus berangkat lebih awal untuk tidak terlambat, bahkan banyak yang tertinggal sholat maghrib karena terjebak macet.
“Saya lihat mahasiswa sering ngonten di mobilnya saat macet—itu lucu, tapi juga sedih. Mereka datang ke Jogja untuk belajar, tapi banyak waktu terbuang di jalan. Bahkan pelanggan saya sering telat datang karena macet, jadi penjualan saya juga turun.”
Komunitas warga mendorong solusi alternatif: perluasan jalur sepeda, penerapan park and ride, dan pembatasan pembangunan tanpa kajian dampak lalu lintas. Gereja dan komunitas Kristen di Jogja memandang ini sebagai isu kemanusiaan yang menyentuh kesejahteraan keluarga dan masyarakat kecil.
“Kemacetan bukan cuma soal jalan—ini soal bagaimana keluarga bisa bertemu, anak bisa pulang sekolah dengan aman, dan orang bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan damai. Ini adalah tanggung jawab semua pihak, tidak cuma pemerintah.”
Mari bersama-sama mendorong kolaborasi untuk menghadirkan sistem transportasi yang tertib, ramah, dan berkeadilan. Tanpa langkah strategis dan berani, kemacetan akan terus menjadi beban serius bagi wajah Jogja ke depan.
Penulis: L. Dwi Darwito
Foto: istimewa
Editor: SHN

