Jokowi dan Prespektif Hukum – Langkah Berani Hadapi Kasus Ijazah Sebagai Contoh Integritas Proses Hukum

Jokowi dan Prespektif Hukum – Langkah Berani Hadapi Kasus Ijazah Sebagai Contoh Integritas Proses Hukum

Spread the love

Bogor,11 Desember 2025 Bayangkan: Presiden yang sedang menghadapi tuduhan yang cukup sensitif – ijazah palsu – tidak memilih untuk menghindar atau membela diri dengan kata-kata semata. Sebaliknya, ia berdiri tegak di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, pada hari Selasa (9/12/2025), dalam wawancara eksklusif Kompas TV, dan mengatakan dengan tegas: “Saya akan lanjutkan proses hukum dan bawa semua ijazah – dari SD sampai S1 – ke pengadilan.” Ini bukan sekadar respons pribadi, tapi langkah yang kuat, jelas, dan bermakna yang menampilkan prespektif hukum sebagai landasan utama dalam menyelesaikan masalah yang penuh emosi dan politik.

Di tengah suasana kediamannya yang akrab – tempat yang dekat dengan akar-akarnya – Jokowi menunjukkan bahwa ia tidak takut menghadapi kebenaran melalui jalur hukum. Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Ojo didhelikake, luwih elek ketemu” (jangan disembunyikan, nanti akan semakin parah jika ketemu). Ia memahami: menyembunyikan diri dari tuduhan hanya akan menimbulkan lebih banyak spekulasi. Sebaliknya, menyerahkan kebenaran kepada pengadilan adalah jalan yang paling sesuai dengan prinsip hukum – dan itu yang ia pilih.

Dari sisi hukum, kasus ijazah palsu bukanlah main-main. Ada aturan yang tegas yang mengatur ini. Pertama, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 69 ayat (1) menetapkan: siapa pun yang menggunakan ijazah palsu bisa dihukum penjara hingga 5 tahun dan/atau denda Rp500 juta. Aturan ini lebih spesifik daripada aturan umum pemalsuan surat di KUHP Pasal 263, jadi ini yang akan menjadi dasar penuntutan.

Selain itu, UU No. 1 Tahun 2022 tentang KUHP Baru – yang akan berlaku mulai Januari 2026 – semakin memperkuat sanksi: penjara hingga 6 tahun untuk pengguna ijazah palsu, dan hingga 10 tahun untuk yang memproduksinya. Meskipun KUHP Baru belum berlaku ketika wawancara itu berlangsung di Solo pada 9 Desember 2025, ia menunjukkan bahwa negara serius menindak kejahatan ini dan memperkuat prespektif hukum dalam urusan dokumen akademik.

Ketika kasus mencapai pengadilan, prinsip presumsi tak bersalah akan berlaku: Jokowi dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya dengan bukti yang sah. Pengadilan juga akan memverifikasi dokumennya dengan lembaga pendidikan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tentang validitas dokumen sebagai syarat pencalonan. Di sinilah makna pribahasa Jawa “Bisa ngomong, kudu bisa mbuktekke” (bisa berbicara, harus bisa membuktikan) terwujud dalam kerangka hukum: tuduhan harus ada buktinya, dan kebenaran harus dibuktikan di tempat yang tepat – pengadilan.

Di masa di mana tuduhan semata bisa merusak reputasi dalam sekejap (terutama melalui media sosial), Jokowi memilih jalan yang berlawanan. Di wawancara Selasa itu, ia tidak hanya membela diri, tapi juga menegakkan nilai hukum: “Jangan sampai gampang menuduh, fitnah, mencemarkan nama baik seseorang.” Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk berbicara dengan berdasar – sesuai dengan prinsip bahwa setiap orang berhak atas keadilan dan tidak boleh dikenai tuduhan tanpa bukti.

Lebih dari itu, ia mengajak kita untuk fokus pada “masalah besar negara”: menghadapi perubahan ekstrem dan revolusi AI. Padahal kasus ijazah menjadi sorotan, ia melihat lebih jauh: energi bangsa tidak boleh terbuang di perdebatan yang tidak mendasar, tapi harus difokuskan untuk memperkuat sistem hukum dan kepentingan negara. Ini adalah bukti visi pemimpin yang tidak terjebak dalam urusan pribadi – mencerminkan pribahasa Jawa “Kulit dodo, isi wong” (luar tampak kecil, tapi isi banyak) – bahwa seseorang bisa menghadapi masalah pribadi tapi masih memikirkan integritas sistem hukum secara luas.

Langkah yang diumumkan dalam wawancara di Solo pada 9 Desember 2025 bisa menjadi tonggak dalam membangun budaya hukum di politik Indonesia. Terlalu lama kita melihat para tokoh publik menghindari proses hukum atau menyelesaikan masalah “di balik layar”. Jokowi dengan tegas mengatakan: “Pengadilan adalah tempat paling baik.” Ini adalah langkah kecil yang bisa memiliki dampak besar – membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan menciptakan budaya di mana kebenaran dan proses hukum lebih penting daripada politik semata.

Dan inilah yang paling penting: proses hukum terhadap kasus ini tidak boleh dilewati, tidak boleh disesuaikan, dan tidak boleh dihentikan semata-mata karena siapa yang terlibat. Baik Jokowi maupun siapa pun yang menuduh, harus tunduk pada proses hukum yang sama – adil, objektif, dan tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara ini, sistem hukum kita akan benar-benar dipercaya, dan kebenaran akan benar-benar terungkap. Tidak ada pengecualian. Tidak ada jalan pintas. Hanya hukum yang berbicara.

Oleh Kefas Hervin Devananda

error: Content is protected !!