Tangerang Selatan, 13 November 2025 – Jalanan Serpong mendadak menjadi arena intimidasi! Seorang wartawan yang tengah menjalankan tugasnya, justru menjadi korban ancaman sekelompok debt collector (matel). Diduga, dendam atas kasus yang telah diselesaikan secara damai di Polsek Cengkareng menjadi pemicunya. Insiden ini bukan hanya mengancam keselamatan jurnalis, tetapi juga menjadi tamparan keras bagi kebebasan pers di negeri ini.
Kronologi Kejadian
Peristiwa mencekam ini terjadi sekitar pukul 10.40 WIB di Jl. Raya Serpong. Saat itu, korban, yang juga berprofesi sebagai pengemudi ojek online, secara spontan merekam aktivitas mencurigakan sekelompok matel yang tengah mengintai pengendara. Tak terima aksinya direkam, salah seorang pelaku langsung menghampiri korban dan memaksa menghapus video sambil melontarkan ancaman bernada premanisme.
“Saya sudah cirikan motor kamu! Ini helm yang kamu jadikan laporan di Cengkareng!” bentak pelaku dengan nada tinggi. Tak berhenti di situ, pelaku juga menambahkan, “Kalau lu bukan saudara Incess, saya injak mati lu di sini! Masuk penjara nggak apa-apa!”
Aksi intimidasi ini disaksikan sejumlah warga yang merasa ngeri. Korban mencoba meredakan situasi, namun pelaku terus melontarkan ancaman yang membuat suasana semakin tegang.
Dendam Membara dari Kasus Lama?
Menurut pengakuan korban, insiden ini bukanlah yang pertama kali. Bulan lalu, ia melaporkan tindakan serupa ke Polsek Cengkareng. Meskipun kasus tersebut telah diselesaikan secara damai, pelaku diduga masih menyimpan dendam karena merasa laporan tersebut mengganggu “ladang pencaharian” mereka. Ironisnya, mediasi resmi yang telah dijadwalkan pada Oktober lalu justru diabaikan oleh pihak debt collector.
PKWI Geram: “Ini Tindak Pidana dan Ancaman!”
Ketua Umum Perkumpulan Kewartawanan Indonesia (PKWI), Budi Santoso, dengan tegas mengecam tindakan intimidasi tersebut. “Tidak ada seorang pun yang berhak melakukan kekerasan, intimidasi, apalagi mengancam nyawa seseorang, terlebih lagi seorang wartawan! Ini jelas merupakan tindak pidana kekerasan dan ancaman yang tidak bisa ditolerir,” tegas Budi dengan nada geram.
Budi juga menolak alasan “cari makan” sebagai pembenaran atas tindakan kekerasan. “Wartawan juga mencari nafkah melalui profesi yang sah dan bermoral. Jika alasan ekonomi dijadikan tameng untuk melanggar hukum, maka negara ini akan kehilangan wibawanya!” serunya.
Warga Gading Serpong Resah: “Negara Jangan Kalah dengan Preman!”
Keberadaan debt collector liar yang beroperasi bak intel jalanan tanpa otoritas resmi semakin meresahkan warga Gading Serpong. Mereka menilai, aktivitas tersebut telah mengganggu keamanan dan ketertiban umum. “Negara tidak boleh kalah dengan preman yang merasa jagoan. Jika korbannya adalah wartawan, maka kebebasan publik pun ikut dilanggar!” ujar seorang warga yang menyaksikan langsung kejadian tersebut.
Desakan Tindakan Tegas
Masyarakat kini menuntut tindakan tegas dari Polres Tangerang Selatan dan Polda Banten, meliputi:
– Penangkapan segera terhadap pelaku intimidasi.
– Penertiban secara menyeluruh terhadap aktivitas debt collector liar.
– Jaminan keamanan dan kebebasan bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Kebebasan Pers Harga Mati!
Perlu ditegaskan kembali, wartawan memiliki hak untuk merekam aktivitas di ruang publik tanpa harus diintimidasi. Setiap tindakan kekerasan dan pengancaman terhadap jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 335 KUHP (ancaman dan intimidasi), serta Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang secara jelas menyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”
Tidak ada seorang pun yang boleh merasa kebal hukum dan bertindak layaknya preman di negara ini. Wartawan adalah mitra dalam menjaga nurani publik, dan menghalangi kerja pers sama saja dengan membungkam kemerdekaan rakyat. Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa kebebasan pers dan keamanan jurnalis adalah prioritas utama. Jangan biarkan premanisme merajalela dan mengancam demokrasi kita! (Red)

