JURNALIS INDONESIA: AMANAT HUKUM SEBAGAI PENJAGA DEMOKRASI – MELAWAN KEKERASAN DAN KEKURANGAN KESEJAHTERAAN, DENGAN JURNALIS INDEPENDEN SEBAGAI JAGADARINGAT PERUBAHAN

JURNALIS INDONESIA: AMANAT HUKUM SEBAGAI PENJAGA DEMOKRASI – MELAWAN KEKERASAN DAN KEKURANGAN KESEJAHTERAAN, DENGAN JURNALIS INDEPENDEN SEBAGAI JAGADARINGAT PERUBAHAN

Spread the love

Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia

Bogor – Di tengah ledakan informasi digital yang penuh hoaks dan manipulasi, jurnalis Indonesia berdiri sebagai tiang penyangga kebenaran – tetapi perjuangan mereka tidak hanya melawan tantangan sosial, melainkan juga untuk memastikan bahwa amanat hukum yang jelas terlaksana dengan tegas. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers bukan hanya dokumen tulis – mereka adalah pemberian kekuasaan untuk melindungi masyarakat. Namun, kritik terbesar adalah: mengapa hukum yang kokoh ini tetap tidak mampu melindungi jurnalis dari kekerasan dan kekurangan kesejahteraan? Di tengah semuanya itu, jurnalis independen di media online mandiri muncul sebagai sosok yang berani menguji batasan hukum dan membuktikan bahwa kemerdekaan pers adalah hak yang tak bisa dinegosiasikan. Seperti yang terkandung dalam pribahasa Jawa: “Ojo kedhotong, ojo kedholong” – jangan tertekan, jangan tergoda – kalimat ini menjadi jembatan antara nilai budaya dan kewajiban hukum yang harus dipegang teguh.

Etos kerja jurnalis Indonesia memiliki dasar hukum yang tidak terbantahkan, yang secara tegas menjadikan mereka penjaga demokrasi.

– UU Pers 1999 Pasal 4: Menjamin kemerdekaan pers yang mutlak tanpa campur tangan dari pemerintah, lembaga negara, atau pihak manapun. Pasal 8 juga menjamin hak jurnalis untuk memperoleh dan menyebarkan informasi tanpa sensor, kecuali yang melanggar ketertiban umum, keamanan negara, atau hak privasi. Pasal 11 bahkan memberikan perlindungan hukum absolut bagi jurnalis yang melaporkan dengan itikad baik, sehingga tidak dapat dituntut pidana atau sipil hanya karena berita tersebut menyinggung pihak tertentu.
– UU Keterbukaan Informasi Publik 2008 Pasal 1: Menegaskan bahwa setiap warga negara – termasuk jurnalis – memiliki hak untuk memperoleh informasi publik dari lembaga pemerintah dan swasta yang melakukan urusan publik. Pasal 5 menyatakan bahwa informasi publik harus diberikan dalam waktu paling lambat 14 hari kerja, dan pihak yang menolak harus memberikan alasan hukum yang jelas.
– Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers: Menjadi pedoman moral yang terikat hukum (berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers No. 01/KEP/DPRS-X/2019), yang mencakup prinsip keakuratan, keberimbangan, kejujuran, keberanian, dan penghormatan. Pelanggaran kode etik dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan hingga pencabutan izin pers.

Semua aturan ini mengingatkan kita pada pribahasa Jawa: “Basa wicara, basa kalbu” – kata-kata harus berasal dari hati yang tulus – yang selaras dengan Pasal 7 UU Pers yang menuntut jurnalis untuk menyebarkan informasi yang benar dan bertanggung jawab. Namun, kelemahan penegakan hukum menjadi batu sandungan terbesar yang membuat amanat ini hanyut di kenyataan.

Meskipun ada landasan hukum yang kuat, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak jurnalis masih terjadi secara meluas, yang merupakan pelanggaran langsung terhadap hukum Indonesia – dan ini adalah tanda bahwa sistem tidak bekerja seperti seharusnya.

Berdasarkan laporan PJI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2024, 67 kasus kekerasan terhadap jurnalis tercatat – 80% di antaranya merupakan pelanggaran Pasal 11 UU Pers dan Pasal 28H UUD 1945 tentang hak atas kebebasan berbicara dan menyebarkan informasi.

Contoh konkrit yang melanggar hukum dan penuh kritisisme:

– Jakarta, 2024: Empat jurnalis yang melaporkan demo BBM ditertawari oleh kelompok anarkis. Ini adalah pelanggaran Pasal 351 KUHP tentang serangan dan Pasal 11 UU Pers tentang perlindungan jurnalis. Hanya setelah PJI mengajukan laporan dan memberikan bukti video yang tak terbantahkan, polisi baru menahan 3 pelaku – menunjukkan kenaikan tekanan yang dibutuhkan agar hukum berjalan.
– Surabaya, 2023: Seorang jurnalis yang melaporkan korupsi desa menerima ancaman mati via WhatsApp. Ini adalah pelanggaran Pasal 333 KUHP tentang pemerasan dan Pasal 28H UUD 1945. Hingga hari ini, tidak ada pelaku yang ditahan – bukti nyata kelemahan penegakan hukum dan kesombongan pihak berwenang.
– Papua, 2023: Seorang jurnalis online ditahan 48 jam tanpa surat perintah. Ini adalah pelanggaran Pasal 28D UUD 1945 tentang hak atas kebebasan pribadi dan Pasal 18 UU Pers tentang larangan penahanan tanpa alasan. Jurnalis tersebut kemudian mengajukan gugatan dan memenangkan kasusnya – kemenangan pribadi yang menunjukkan bahwa hukum bekerja, tapi hanya bagi mereka yang berani berjuang.

Jurnalis juga menghadapi masalah kesejahteraan yang melanggar Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan – dan ini adalah eksploitasi terhadap idealisme mereka yang tinggi:

– Gaji di Bawah Upah Minimum: Di banyak media lokal, gaji jurnalis baru hanya Rp 1,5 juta–Rp 2 juta per bulan – di bawah upah minimum regional di Jawa Timur (Rp 2,5 juta) dan Jakarta (Rp 4,2 juta). Ini melanggar Pasal 88 UU Ketenagakerjaan yang menuntut upah minimum yang layak – tetapi banyak jurnalis tetap bertahan karena cinta pada pekerjaannya.
– Kurangnya Asuransi dan Perlengkapan: Sebagian besar media tidak memberikan asuransi kesehatan (Pasal 106 UU Ketenagakerjaan) dan perlengkapan keamanan untuk jurnalis di lapangan berisiko. Jurnalis independen bahkan lebih rentan, karena tidak memiliki perjanjian kerja yang resmi – seolah-olah risiko mereka tidak bernilai.
– Waktu Kerja Tanpa Cuti Ganti: Jurnalis sering bekerja malam dan hari libur tanpa tambahan gaji (Pasal 77 UU Ketenagakerjaan), menyebabkan kelelahan dan masalah kesehatan mental – biaya yang harus dibayar untuk menjaga kebenaran

Di tengah kelemahan penegakan hukum dan eksploitasi, kehadiran jurnalis independen di media online mandiri menjadi bukti bahwa hukum Indonesia dapat dijalankan oleh mereka yang berani – dan mereka menjadi jagadaringat yang menerangi jalan menuju perubahan. Mereka memanfaatkan keleluasaan digital untuk melaporkan kasus yang diabaikan media konvensional, sambil tetap mematuhi aturan hukum dan kode etik.

Contoh konkrit yang berbasis hukum dan progresif:

– Seorang jurnalis independen di Yogyakarta membangun portal online mandiri yang melaporkan korupsi di dinas pendidikan. Ia menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik untuk meminta data anggaran, dan setelah ditolak, ia mengajukan gugatan ke pengadilan. Pengadilan memutuskan bahwa dinas harus memberikan data – sebuah kemenangan bagi hak akses informasi yang membuktikan bahwa jurnalis independen dapat mengubah sistem dari luar.
– Sebuah kelompok jurnalis independen di Jakarta meluncurkan platform video yang menayangkan wawancara dengan aktivis HAM. Mereka mematuhi Pasal 7 UU Pers dengan memverifikasi setiap informasi, dan ketika dikenai tuduhan fitnah, mereka menggunakan Pasal 11 UU Pers untuk membela diri – bukti bahwa perlindungan hukum juga berlaku untuk mereka yang tidak memiliki dukungan institusi.

Meskipun mereka menghadapi tantangan dana dan akses, jurnalis independen membuktikan bahwa kemerdekaan pers tidak tergantung pada institusi, tetapi pada kesediaan untuk mengikuti hukum dan mempertahankan kebenaran – mereka adalah agen perubahan yang sebenarnya.

Untuk membangun etos kerja yang kuat berdasarkan hukum, hak-hak jurnalis ini harus dipastikan tanpa pengecualian – baik konvensional maupun independen, dan ini adalah tuntutan kepada pemerintah dan pemilik media:

1. Kemerdekaan Pers Menurut Pasal 4 UU Pers: Tanpa campur tangan apapun – jangan biarkan pemilik media atau pemerintah mengontrol berita.
2. Hak Akses Informasi Menurut UU KIM 2008: Mendapatkan data publik tanpa hambatan – pemerintah harus bertransparan, bukan menyembunyikan informasi.
3. Perlindungan Hukum Menurut Pasal 11 UU Pers: Tidak dituntut karena berita itikad baik – hentikan penggunaan hukum sebagai alat penindasan.
4. Hak Kesejahteraan Menurut UU Ketenagakerjaan: Gaji layak, asuransi, dan waktu kerja yang wajar – pemilik media jangan eksploitasi idealisme jurnalis.
5. Hak Kebebasan dari Kekerasan Menurut UUD 1945 dan KUHP: Dilindungi dari serangan dan ancaman – polisi harus bertindak cepat, bukan diam.

Etos kerja tidak hanya tentang hak hukum, tetapi juga tentang kewajiban hukum:

– Keakuratan dan Keberimbangan Menurut Kode Etik dan Pasal 7 UU Pers: Memverifikasi setiap informasi dari sumber terpercaya, memberikan kesempatan kepada semua pihak. Seperti “Ojo ngomong sombong, ojo ngomong sembrono” – jangan bicara sembarangan – yang selaras dengan kewajiban untuk menyebarkan informasi yang benar.
– Penghormatan Privasi Menurut Pasal 10 UU Pers: Tidak menyebarkan identitas korban kejahatan susila atau anak pelaku kejahatan.
– Penolakan Korupsi Menurut Pasal 5 Kode Etik dan UU Anti Korupsi 2001: Tidak menerima suap atau imbalan yang merusak objektivitas.
– Tanggung Jawab atas Kesalahan Menurut Pasal 9 UU Pers: Segera meralat berita yang salah dan meminta maaf.

Untuk memastikan bahwa amanat hukum terlaksana, perlu upaya kolaboratif yang tegas – dan ini adalah panggilan kepada semua pihak:

– Pemerintah dan Penegak Hukum: Menindak tegas pelaku kekerasan terhadap jurnalis sesuai KUHP, memastikan pelanggaran UU Pers dan UU KIM dihukum tegas, serta menegakkan UU Ketenagakerjaan. Buatlah satuan khusus untuk menangani kasus jurnalis – jangan biarkan kasus-kasus ini terlewatkan.
– Organisasi Profesi (PJI & Dewan Pers): Memberikan bantuan hukum gratis kepada jurnalis yang terkena pelanggaran hak, menyelenggarakan pelatihan hukum pers secara teratur, dan menindaklanjuti pelanggaran kode etik dengan sanksi yang tegas – jadilah benteng perlindungan bagi jurnalis.
– Pemilik Media: Mematuhi UU Ketenagakerjaan dengan memberikan gaji layak, asuransi, dan perlengkapan keamanan. Jangan mengganggu kemerdekaan redaksi – jangan gunakan jurnalis sebagai alat kepentingan pribadi.
– Masyarakat: Mendorong penegakan hukum dengan melaporkan kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan mendukung media yang mematuhi hukum dan kode etik – termasuk media online mandiri – karena kebebasan pers adalah hak semua masyarakat.

Jurnalis Indonesia adalah “mata dan telinga masyarakat” yang memiliki amanat hukum untuk melindungi kepentingan publik. Meskipun mereka menghadapi kekerasan, kekurangan kesejahteraan, dan kelemahan penegakan hukum – termasuk jurnalis independen yang berjuang sendirian – mereka tetap bertahan karena keyakinan bahwa hukum Indonesia berada di pihak mereka. Perubahan harus terjadi sekarang – jangan biarkan amanat hukum hanya menjadi kata-kata yang kosong, dan jangan biarkan jurnalis berjuang sendirian dalam melindungi demokrasi kita.

+++++++

error: Content is protected !!