Bogor – Lebih dari sekadar profesi, jurnalisme Kristen di Nusantara adalah sebuah “laku” – sebuah perjalanan batin yang mendalam untuk menggali kebenaran. Ia adalah upaya merajut makna di antara fakta yang terpisah-pisah dan realitas yang kompleks, berlandaskan nilai-nilai Kristiani dan kearifan leluhur yang telah lama menjadi denyut nadi kehidupan di kepulauan ini. Dalam menjalankan “laku” ini, jurnalis Kristen terpanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, sebagaimana firman Tuhan dalam Matius 5:13-16, serta menjadi bagian tak terpisahkan dari pilar demokrasi yang menjaga kebebasan dan keadilan. Lebih dari itu, jurnalisme memiliki peran sentral dalam menyediakan informasi, mengawasi kekuasaan, membentuk opini publik, menyampaikan aspirasi, memberikan pendidikan, menjaga nilai demokrasi, dan menjadi perekat sosial.
Seorang jurnalis Kristen sejati menyadari bahwa kebenaran tidaklah tunggal dan kaku, melainkan kaya akan dimensi dan terus berkembang. Ia tidak hanya terpaku pada pencarian fakta semata, tetapi juga menggali konteks yang melingkupinya, beragam perspektif yang ada, serta implikasi yang lebih luas bagi masyarakat. Ia menyelami akar permasalahan, menganalisis dampaknya bagi kehidupan sosial, dan berupaya menawarkan solusi yang konstruktif dan berkelanjutan. Hal ini selaras dengan fungsi pers sebagai kontrol sosial yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengakui pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan kepentingan rakyat. Sebagai pengawas kekuasaan (watchdog), jurnalisme Kristen memiliki tanggung jawab untuk mengungkap penyalahgunaan wewenang dan memastikan akuntabilitas publik. Dalam proses ini, ia senantiasa mengingat pesan Amsal 12:17: “Siapa mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil, tetapi saksi dusta menyatakan tipu daya.”
Dalam setiap langkahnya, filosofi “Catur Murti” – empat pilar kehidupan yang meliputi dharma (spiritualitas), artha (ekonomi), kama (sosial), dan moksa (eksistensi) – menjadi kompas yang menuntun arah. Ia menyadari bahwa setiap berita memiliki dimensi-dimensi tersebut, dan berupaya menyeimbangkannya dalam setiap laporan yang dihasilkan. Tujuannya adalah menciptakan karya jurnalistik yang tidak hanya informatif, tetapi juga holistik dan bermakna bagi pembaca. Sebagai penyedia informasi, jurnalisme Kristen berperan dalam mencerdaskan masyarakat dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai isu. Dalam menyajikan informasi, jurnalis Kristen juga wajib memperhatikan Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pedoman dalam menjalankan profesi, serta meneladani Kristus yang selalu berkata benar dan bertindak adil. Sebagaimana tertulis dalam Efesus 4:25: “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah anggota tubuh yang seorang terhadap yang lain.”
Semangat “Gotong Royong” menjadi landasan dalam setiap proses kerja. Jurnalis Kristen tidak bekerja dalam ruang hampa, melainkan menjalin kolaborasi erat dengan berbagai pihak: narasumber yang beragam, kolega yang suportif, komunitas yang dinamis, serta pemangku kepentingan lainnya yang relevan. Ia menghargai setiap perbedaan pendapat, mendengarkan berbagai sudut pandang, dan senantiasa mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Proses ini juga harus memperhatikan prinsip keberimbangan dan tidak diskriminatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers, yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Sebagai penyampai aspirasi, jurnalisme Kristen memberikan ruang bagi berbagai kelompok masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan pengalaman mereka. Dalam membangun relasi dengan sesama, jurnalis Kristen juga berpegang pada ajaran kasih yang terdapat dalam 1 Korintus 13:4-7.
Visi yang ingin diwujudkan adalah “Tata Titi Tentrem Kertaraharja” – sebuah kondisi ideal yang ditandai oleh keharmonisan, ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Jurnalis Kristen berupaya menghasilkan karya jurnalistik yang membawa dampak positif, mendorong terciptanya harmoni sosial, meningkatkan kualitas hidup setiap individu, dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Melalui karya-karyanya, jurnalisme Kristen berperan sebagai perekat sosial, membangun jembatan komunikasi antar kelompok masyarakat dan mempromosikan nilai-nilai inklusif. Namun, dalam menyampaikan informasi, jurnalis juga harus bertanggung jawab dan tidak menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong (hoax) yang dapat memecah belah persatuan bangsa, sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta menghormati hak-hak orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945. Ia juga harus senantiasa mengedepankan perdamaian dan persatuan, sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 5:9: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
Namun, “Laku” jurnalisme Kristen bukanlah tanpa tantangan. Berbagai rintangan menghadang di depan mata: bias media yang seringkali tidak disadari, kepentingan politik yang saling berbenturan, tekanan ekonomi yang membelit, hingga ancaman keamanan yang nyata. Oleh karena itu, seorang jurnalis Kristen sejati harus memiliki “Kuat Ing Pangiket” – keyakinan yang teguh pada nilai-nilai yang dianut – serta “Luhur Ing Budi” – kemuliaan dalam setiap perilaku. Ia harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kasih, serta menjunjung tinggi etika jurnalistik yang menjadi pedoman dalam setiap tindakan. Ia juga harus senantiasa mengandalkan Tuhan dalam setiap langkahnya, sebagaimana yang dijanjikan dalam Yesaya 41:10: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”
Oleh karena itu, wahai para jurnalis Kristen di seluruh Nusantara, teguhkanlah “laku”mu! Jadilah “Dalang” yang piawai memainkan peranmu dalam panggung kehidupan ini. Ukirlah sejarah dengan tinta kebenaran, suluhkanlah obor keadilan, dan taburkanlah benih kasih di bumi pertiwi. Ingatlah, bahwa “karya”mu bukan hanya sekadar berita, melainkan juga “prasasti” bagi peradaban yang adil, makmur, dan berkeadaban. Dengan berpegang pada “Pancasila” sebagai dasar negara, “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan pemersatu, serta “Kasih Kristus” sebagai landasan moral, mari kita wujudkan Indonesia yang “gemah ripah loh jinawi”, “tata tentrem kerta raharja”.
Oleh Kefas Hervin Devananda