Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia
Kota Bogor – Pendahuluan: Di era digital yang serba cepat, jurnalis media online memegang peran vital sebagai jembatan informasi bagi masyarakat (Sukma, 2025). Namun, di balik kemudahan akses berita yang mereka berikan, tersembunyi kehidupan yang penuh tuntutan, tantangan, dan bahkan perjuangan untuk kesejahteraan — termasuk berbagai perlakuan negatif dari oknum pejabat dan pengorbanan yang harus mereka lakukan dalam menjalankan tugas (Aliansi Jurnalis Independen [AJI], 2024). Jurnalis adalah jalan ninja bagi para pejuang dalam menegakan keadilan dan kebenaran dalam memberikan informasi kepada masyarakat — senantiasa waspada, cermat, dan tegas dalam menghadapi rintangan. Ada pribahasa Jawa yang sangat tepat menggambarkan semangat ini: “Jer basuki mawa beya” — artinya, setiap keinginan atau tujuan yang diinginkan pasti membutuhkan biaya atau pengorbanan, baik secara materiil maupun spiritual (Soemardjo, 2023).
Kehidupan jurnalis media online jauh dari jam kerja tetap seperti profesi lain. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), 87% jurnalis media online bekerja lebih dari 10 jam sehari dan tidak memiliki hari libur tetap. Mereka tidak harus selalu berada di kantor — bisa bekerja dari mana saja, asalkan tetap bertanggung jawab terhadap konten yang dihasilkan (Santoso, 2024). “Tidak ada jam kerja, hanya berangkat jam berapa pulangnya tidak jelas” — ini adalah gambaran kenyataan yang sering dilihat dan didengar dari komunitas jurnalis di seluruh Indonesia.
Tuntutan kecepatan menjadi hal yang paling mendesak. Di era konvergensi, informasi harus disebarkan dalam waktu kurang dari 30 menit setelah peristiwa terjadi untuk bersaing dengan media sosial, yang seringkali menjadi sumber pertama masyarakat mendapatkan berita (Hariyanto, 2025). Hal ini membuat mereka harus selalu waspada, siap meliput kapan saja, bahkan di luar jam kerja normal — seperti ninja yang selalu siap bertindak.
Dalam hal ini, kita juga harus ingat pribahasa “Kakehan gludug kurang udan” — artinya, jangan terlalu banyak bicara tanpa aksi atau bukti. Jurnalis harus memberikan konten yang berkwalitas dan terverifikasi meskipun dalam waktu singkat, sesuai standar profesionalisme jurnalisme yang ditetapkan oleh Dewan Pers Indonesia (2023).
Selain tuntutan jam kerja, jurnalis media online juga kerap menerima perlakuan yang tidak menyenangkan bahkan berbahaya. Berdasarkan laporan tahunan AJI (2024), terdapat 78 kasus pelanggaran hak dan keamanan jurnalis di Indonesia — 60% di antaranya berasal dari jurnalis media online, dan 35% di antaranya dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah atau lembaga negara. Angka ini meningkat 12% dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa ancaman terhadap jurnalis media online semakin meningkat (Komnas HAM, 2024).
Jenis perlakuan negatif dari oknum pejabat yang sering terjadi antara lain: tekanan untuk menarik berita (32%), ancaman hukum (28%), penolakan akses informasi (21%), hingga serangan fisik (19%) (AJI, 2024). Berikut adalah contoh nyata yang tercatat dalam laporan resmi:
– Kasus jurnalis portal berita Kabar Satu di Sumatera Utara (Januari 2024): Jurnalis Muhammad Ridho meliput kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Langkat. Setelah berita diterbitkan, dia menerima telepon ancaman dari seorang pejabat tinggi di dinas tersebut, yang menyatakan “akan membuatmu susah hidup” jika tidak menarik berita. Ridho juga menerima somasi hukum dengan tuntutan ganti rugi Rp500 juta (laporan AJI Medan, 2024).
– Kasus jurnalis media online Rakyat Merdeka Online di Jawa Tengah (Mei 2024): Jurnalis Siti Nurhaliza mencoba meliput rapat pleno DPRD Kabupaten Semarang yang membahas anggaran tahun 2025. Dia dihalangi oleh petugas keamanan yang diarahkan oleh seorang anggota DPRD, dengan alasan “tidak ada izin tertulis”. Saat berusaha meminta penjelasan, dia ditolak kasar dan bahkan dipukul di pundak. Kasus ini viral di media sosial dan menimbulkan protes dari komunitas jurnalis (laporan Komnas HAM, 2024).
– Kasus jurnalis portal berita lokal Berita Banjar di Kalimantan Selatan (November 2024): Jurnalis Andi Prasetyo meliput keluhan warga tentang pembangunan saluran irigasi yang tidak selesai di Kecamatan Martapura. Dia mencoba menghubungi Kepala Dinas Pertanian untuk komentar, namun malah dihina melalui pesan WhatsApp dan diminta “jangan banyak campur urusan pemerintah”. Berita yang dia tulis juga kemudian ditekan oleh atasan karena tekanan dari oknum pejabat (laporan Persatuan Wartawan Indonesia [PWI] Kalimantan Selatan, 2024).
Dalam situasi seperti ini, jurnalis harus seperti ninja yang tidak mudah tergoyahkan — tetap berpegang pada kebenaran. Pribahasa “Ing donya iki ana rong warna sing diarani bener, yakuwi bener mungguhing pangeran lan bener saka kang lagi kuwasa” menjadi pengingat bahwa ada dua jenis kebenaran: kebenaran di hadapan Tuhan dan kebenaran di hadapan yang berkuasa — dan yang harus dipegang adalah yang pertama (Soemardjo, 2023).
Di balik setiap berita yang terbit, seringkali tersembunyi pengorbanan yang tidak terlihat dari para jurnalis media online. Pengorbanan ini mencakup aspek fisik, mental, dan sosial, yang terkadang berdampak jangka panjang.
– Pengorbanan kesehatan fisik: Akibat jam kerja yang tidak tetap dan tekanan kecepatan, banyak jurnalis mengalami masalah kesehatan. Laporan dari Persatuan Dokter Indonesia (IDI, 2025) mencatat bahwa 65% jurnalis media online mengalami masalah kesehatan akut, seperti maag (38%), tekanan darah tinggi (22%), dan kelelahan akut (20%). Misalnya, jurnalis Tempo.co yang meliput kasus kebakaran hutan di Kalimantan Barat pada Juli 2024 — dia tinggal di lapangan selama 15 hari, terpapar asap tebal, dan akhirnya didiagnosis menderita gangguan pernapasan akut (laporan Tempo.co, 2024).
– Pengorbanan kesehatan mental: Tantangan dan perlakuan negatif seringkali menyebabkan stres, kecemasan, bahkan depresi. Survei dari Asosiasi Psikolog Indonesia (Himpsi, 2025) menunjukkan bahwa 57% jurnalis media online mengalami gejala stres ringan hingga parah. Jurnalis media online CNN Indonesia yang meliput kasus bencana alam dan kekerasan sosial pada September 2024 mengaku mengalami gangguan tidur dan kecemasan parah setelah melihat adegan menyakitkan di lapangan — dia harus menjalani terapi selama 3 bulan untuk pulih (laporan CNN Indonesia, 2024).
– Pengorbanan waktu bersama keluarga: Jam kerja yang tidak terbatas membuat mereka sulit membagi waktu dengan keluarga. Survei BPS (2025) menemukan bahwa 79% jurnalis media online menghabiskan waktu kurang dari 2 jam sehari dengan keluarga. Seorang jurnalis portal berita lokal di Bali yang diwawancarai oleh Bali Post pada Agustus 2025 mengaku “jarang ada di rumah saat anak tidur atau bangun tidur” dan pernah melewatkan ulang tahun anaknya karena harus meliput acara mendesak (laporan Bali Post, 2025).
– Pengorbanan nyawa (kasus ekstrem): Meskipun jarang, ada kasus jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugas. Contohnya, jurnalis media online Berita Timur yang meliput konflik antar kelompok di Sulawesi Tenggara pada Maret 2024 — dia tertembak secara tidak sengaja saat berada di lokasi peristiwa dan meninggal dunia beberapa jam kemudian di rumah sakit. Kasus ini dicatat dalam laporan AJI Indonesia (2024) sebagai satu-satunya kasus kematian jurnalis media online pada tahun tersebut.
Semua pengorbanan ini sejalan dengan filosofi “Jer basuki mawa beya” — mereka siap membayar harga untuk menjalankan tugas sebagai jurnalis yang bertanggung jawab, sebagai pejuang yang mengambil jalan ninja untuk keadilan.
Untuk melindungi hak dan kepentingan jurnalis, terdapat banyak asosiasi wartawan di Indonesia — baik yang bergerak di tingkat nasional maupun lokal, dan berfokus pada kelompok tertentu. Menurut laporan Dewan Pers Indonesia (2025), meskipun tidak ada data resmi jumlah total, diperkirakan ada lebih dari 150 organisasi wartawan di seluruh Indonesia, termasuk 23 organisasi nasional.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat 1, baik perusahaan media (perusahaan pers) maupun organisasi wartawan tidak wajib terdaftar di Dewan Pers. Tidak ada ayat atau pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan keduanya untuk mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk Dewan Pers. Bahkan, mantan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, pernah menegaskan bahwa “setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun” (wawancara Kompas, 2023).
Dalam kerja sama antar jurnalis dan asosiasi, kita juga harus ingat pribahasa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani” — artinya, di depan menjadi contoh, di tengah membimbing, dan di belakang mendukung (Soemardjo, 2023). Ini adalah prinsip yang harus diterapkan agar setiap jurnalis bisa menjadi pejuang yang kuat di jalan ninja mereka.
Dewan Pers memiliki tugas untuk mendata perusahaan pers sesuai dengan Pasal 15 Ayat 2 Huruf G UU Pers No. 40 Tahun 1999, bukan untuk mendaftarkan. Kedua hal ini sangat berbeda:
– Pendaftaran: Proses di mana pihak yang didaftarkan harus mengajukan diri secara wajib dan memenuhi syarat tertentu.
– Pendataan: Proses pencatatan yang bersifat pasif dan mandiri, artinya perusahaan pers yang berinisiatif untuk diverifikasi dan dicatat oleh Dewan Pers sesuai aturan yang ada.
Ketentuan tentang pendataan perusahaan pers tertuang dalam Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Meskipun demikian, Dewan Pers tidak memiliki kewenangan untuk memaksa perusahaan pers agar mengikuti pendataan atau verifikasi (Dewan Pers Indonesia, 2023).
Meskipun tidak wajib terdaftar, organisasi wartawan dapat memilih untuk menjadi konstituen Dewan Pers untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan lebih lanjut. Syarat dan ketentuan menjadi konstituen diatur dalam Peraturan Dewan Pers No. 07/Peraturan-DP/V/2008 tentang Standar Organisasi Wartawan sebagai Dasar Pendaftaran. Beberapa persyaratan utamanya antara lain:
– Memiliki Akta Notaris pendirian dan Surat Keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM.
– Memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang jelas.
– Memiliki struktur organisasi yang lengkap, termasuk cabang di berbagai daerah.
Saat ini, Dewan Pers mencatat ada 11 organisasi yang terverifikasi sebagai konstituen resmi, antara lain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Sedangkan Pewarna Indonesia termasuk organisasi yang belum menjadi konstituen Dewan Pers.
Saat tuntutan kecepatan meningkat, tantangan untuk menjaga akurasi dan kualitas konten juga semakin besar. Jurnalis media online seringkali tertekan untuk menyajikan berita secara instan, sehingga tahap verifikasi data terkadang dikesampingkan. Hal ini berpotensi menimbulkan berita salah atau hoaks, yang merusak kepercayaan publik terhadap media — dan pada gilirannya membuat mereka lebih rentan terhadap perlakuan negatif dari oknum pejabat (Hariyanto, 2025).
Selain itu, kehadiran jurnalisme warga juga menjadi tantangan. Masyarakat kini bisa dengan mudah membuat dan membagikan informasi layaknya jurnalis, sehingga para profesional harus bisa membedakan diri dengan menyajikan berita yang terkonfirmasi, objektif, dan berimbang (Sukma, 2025). Media sosial adalah tantangan terbesar saat ini, bukan hanya persaingan antar media mainstream — namun sebagai pejuang di jalan ninja, mereka harus mampu mengatasi tantangan ini dengan cermat dan cerdas.
Dalam hal ini, pribahasa “Becik ketitik, ala ketara” menjadi pengingat bahwa perbuatan baik (seperti memberikan berita akurat) akan selalu dikenali, sedangkan perbuatan buruk (seperti menyebarkan hoaks) nantinya akan terbongkar (Soemardjo, 2023).
Meskipun berperan penting, kesejahteraan jurnalis media online di Indonesia masih jauh dari ideal. Laporan Suara.com (2025) mengutip pengakuan seorang jurnalis media online di Jakarta yang menerima upah kurang dari Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta — hanya sekitar Rp4,5 juta per bulan setelah dipotong berbagai potongan. “Untuk menabung saja gak bisa,” ujarnya, yang juga harus membagi pendapatan dengan keluarga dan membayar kebutuhan rumah.
Kondisi kesejahteraan yang lemah semakin memperparah tantangan yang mereka hadapi, karena sulit untuk fokus pada tugas tanpa khawatir tentang kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, ada upaya positif dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Pada Mei 2025, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) bersama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) meluncurkan program “Rumah untuk Karyawan Industri Media” yang memberikan 3.000 unit rumah subsidi dengan skema pembiayaan terjangkau — termasuk kredit dengan bunga 5% dan uang muka minimal 1% (informasi resmi Kominfo, 2025).
Kehidupan jurnalis media online adalah perpaduan antara kecepatan, kreativitas, dan tanggung jawab yang besar. Mereka adalah para pejuang yang mengambil jalan ninja dalam menegakan keadilan dan kebenaran dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Di tengah tuntutan jam kerja yang tidak terbatas, perlakuan negatif dari oknum pejabat, dan pengorbanan yang meliputi aspek fisik, mental, serta sosial, mereka tetap bertahan dengan semangat yang kuat.
Tantangan dalam menjaga akurasi konten dan kesejahteraan yang masih lemah juga tidak mudah diatasi, namun dengan dukungan dari asosiasi wartawan, upaya positif dari pemerintah, dan contoh inspirasi dari rekan jurnalis yang sukses, harapan untuk masa depan jurnalisme digital semakin terasa. Dengan memegang teguh nilai-nilai filosofis dari pribahasa Jawa dan standar profesionalisme jurnalisme, jurnalis media online dapat terus berkembang dan mempertahankan peran mereka sebagai pilar demokrasi di Indonesia — senantiasa waspada, cermat,

