“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Matius 18:6
Jakarta,06 Agustus 2025- Tuhan Yesus Kristus sangat peduli kepada anak-anak, dan memberikan peringatan keras bagi siapa saja yang menyesatkan mereka. Anak-anak memerlukan perlindungan dari orang dewasa, dan orang tua memiliki tanggung jawab untuk membimbing mereka ke jalan yang benar, agar mereka dapat mengalami perjumpaan dengan Allah dan menjadi anak yang takut akan Tuhan. Namun, perlindungan terhadap anak-anak di Indonesia saat ini belum sepenuhnya terjamin oleh hukum, aparat penegak hukum, maupun konstitusi yang berlaku.
Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak belum banyak bertindak, dan Komnas HAM sempat membuat kesalahan dengan pernyataan yang tidak tepat dari Thomas Harming Suwarta. Hingga kini, tindakan nyata belum terlihat.
Pada Jumat, 27 Juni 2025, terjadi peristiwa yang bertentangan dengan semboyan negara ini, yaitu perusakan vila dan pembubaran acara retret remaja dan anak-anak di Cidahu, Sukabumi. Suasana retret yang seharusnya penuh ketenangan dan keceriaan berubah menjadi kekacauan akibat serangan mendadak dari orang asing, menciptakan ketakutan mendalam bagi anak-anak dan guru. Keceriaan berubah menjadi gemetar, dan tawa menjadi isak tangis. Ketakutan akan kekerasan, bahkan kematian, menyelinap dalam pikiran polos mereka.
Pada Minggu, 27 Juli 2025, terjadi penyerangan terhadap rumah doa GKSI Anugerah di Padang Sarai, Kota Padang, saat puluhan anak mengikuti ibadah dan pendidikan agama Kristen. Massa menyerbu dengan membawa kayu dan batu, merusak fasilitas, serta melakukan kekerasan fisik terhadap jemaat, termasuk anak-anak. Dua anak mengalami luka serius: Nuslim, siswa SMP, dipukul di kepala hingga muntah dan trauma; Olivia, siswi SD, ditendang keras hingga tak bisa berjalan. Puluhan anak lainnya mengalami ketakutan dan trauma psikologis mendalam.
Pelaku dapat dikenakan sanksi hukum berdasarkan UU Perlindungan Anak (No. 35/2014) dan KUHP. Hukuman maksimal untuk kekerasan ringan adalah 3,5 tahun penjara dan denda Rp72 juta, sedangkan untuk luka berat hingga 5 tahun dan Rp100 juta, dan untuk kematian hingga 15 tahun dan Rp3 miliar. Selain itu, perusakan barang milik orang lain dapat dikenakan hukuman maksimal 2 tahun 8 bulan, dan pengancaman dengan kekerasan hingga 5 tahun.
Indonesia, sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat sesuai kepercayaan masing-masing. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan hak ini sering kali terganggu oleh tindakan perusak kerukunan beragama.
Peristiwa penghentian paksa ibadah yang disertai kekerasan terhadap ibu dan anak serta perusakan properti tergolong tindak pidana berdasarkan Pasal 175 KUHP (gangguan ibadah, maks. 1 thn 4 bln), Pasal 335 KUHP (intimidasi, maks. 9 bln atau denda), Pasal 351 KUHP (penganiayaan, hingga 7 thn), Pasal 170 KUHP (kekerasan bersama, maks. 7 thn), dan Pasal 406 KUHP (perusakan, maks. 5 thn). Jika tindakan ini terbukti sistematis menarget kelompok sipil, maka juga memenuhi kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Pasal 9 UU No. 26/2000 dengan ancaman 10–25 thn atau seumur hidup.
Insiden traumatis seperti penyerangan mendadak, seperti yang terjadi di rumah doa GKSI Anugerah di Padang Sarai, dan Rumah Retret Cidahu Sukabumi, meninggalkan dampak psikologis mendalam pada anak-anak, guru, dan orang tua. Jika tidak ditangani, trauma ini dapat berlanjut hingga dewasa, menyebabkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), mimpi buruk, dan kecemasan berlebih. Anak-anak mungkin mengalami rasa takut yang sulit dijelaskan dan kehilangan rasa aman, yang dapat mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap lingkungan dan otoritas. Mereka juga bisa mengembangkan pola pikir negatif, memandang kekerasan sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan.
Trauma dan luka batin masa kecil dapat menghambat kemampuan anak dalam membentuk relasi sehat di masa dewasa. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dan saling percaya. Selain itu, ketakutan yang tersimpan dapat memengaruhi konsentrasi, motivasi, dan kepercayaan diri, yang pada akhirnya berdampak pada prestasi akademik dan profesional mereka.
Pdt. Tommy Lengkong, M.Th., Ketua Umum PGLII (Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia), sangat menyayangkan peristiwa ini dan sangat prihatin atas kekerasan yang merusak kerukunan antar umat beragama di berbagai tempat di Indonesia. Negara seharusnya hadir mencegah promosi dan provokasi kebencian agama. Adalah tanggung jawab negara untuk mengkondisikan kerukunan antar umat beragama. Negara harus melindungi kebebasan tiap warga negara untuk menjalankan ibadahnya. Negara harus menjamin kebebasan aktifitas beragama berdasarkan prinsip Non-Diskriminasi negara.
Salah satu efek yang besar dan yang dapat berkepanjangan adalah kekerasan-kekerasan yang berlatarbelakang kebencian agama tersebut mengakibatkan trauma bagi anak-anak dan generasi muda. Ia menilai kejadian ini menjadi suatu catatan negatif yang mencerminkan ketidak hadiran negara untuk melindungi kebebasan beragama dan penerapan terhadap Pasal 29 UUD 1945.
Menurutnya, kekerasan semacam ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga merusak rasa aman generasi muda. Ia mendesak pemerintah dan aparat untuk bertindak tegas, hukum harus ditegakkan bukan sekadar mendamaikan, agar kejadian serupa tidak terulang dan anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang damai dan inklusif. Kepada gereja ia menegaskan, “Kita harus terus mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kasih, keadilan, kesetaraan, menerima perbedaan, cinta damai, anti kekerasan dan kejujuran sebagai standar-standar kualitas moral dan peri kemanusiaan bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pro Ecclesia Et Patria
Antonius Natan
Dosen | Ketua PEWARNA Indonesia | Ketua Komisi Infokom PGLII