Klikberira.net Di balik berita yang kita baca setiap hari, ada bayang-bayang ketakutan yang menghantui para jurnalis. Kekerasan terhadap wartawan bukan lagi menjadi hal yang asing di Indonesia. Dari pemukulan hingga ancaman, para jurnalis terus berhadapan dengan risiko yang mengancam kebebasan pers dan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan independen.
Sebagai pilar keempat demokrasi, wartawan memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan bahwa masyarakat mendapatkan informasi yang akurat dan transparan. Namun, ironisnya, wartawan seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya, bahkan kekerasan dan ancaman, dalam menjalankan tugasnya.
Kerja wartawan bukanlah pekerjaan yang mudah. Mereka harus bekerja di lapangan, menghadapi situasi yang tidak terduga, dan berhadapan dengan berbagai macam orang. Dari pejabat pemerintah hingga masyarakat biasa, wartawan harus dapat membangun hubungan yang baik dan mendapatkan informasi yang akurat. Namun, dalam menjalankan tugasnya, wartawan sering kali menghadapi risiko dan tantangan yang besar.
Sayangnya, beberapa pejabat tampaknya alergi dengan kehadiran wartawan dan melecehkan tugas mereka. Mereka sering kali menganggap wartawan sebagai pengganggu dan tidak mau diwawancarai atau memberikan informasi. Bahkan, beberapa pejabat ada yang mengancam dan melakukan kekerasan terhadap wartawan yang berusaha menjalankan tugasnya.
Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan kasus kekerasan terhadap wartawan saat meliput kunjungan Kementerian Lingkungan Hidup di PT Genesis Regeneration Smelting (GRS), Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang. Dua anggota Brimob diamankan terkait insiden tersebut. Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Banyak wartawan yang telah mengalami kekerasan dan ancaman dalam menjalankan tugasnya, seperti kasus pembunuhan wartawan Udin pada tahun 1996 di Yogyakarta, kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo pada tahun 2003 oleh oknum aparat, dan kasus pemukulan terhadap wartawan RCTI pada tahun 2011 oleh oknum polisi.
Selain itu, terdapat juga kasus kekerasan terhadap wartawan lainnya, seperti pengeroyokan wartawan, teror bom di kantor redaksi, pengrusakan mobil jurnalis, pelarangan liputan, dan kekerasan berbasis gender terhadap wartawan. Semua kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap wartawan bukanlah sekadar insiden, tetapi merupakan gejala dari penyakit yang lebih serius, yaitu tidak adanya kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan independen.

Kekerasan terhadap wartawan juga dapat dipicu oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak ingin kebenaran terungkap. Seperti yang dikatakan dalam peribahasa Jawa, “Ajining dhiri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”, yang berarti bahwa harga diri seseorang terletak pada kata-katanya, dan harga diri seseorang juga dapat dilihat dari perilakunya.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi sangat relevan. Pasal 4 Undang-Undang Pers menjamin kebebasan pers dan melarang adanya sensor terhadap karya jurnalistik. Sementara itu, Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menjunjung tinggi kebebasan pers dan berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik yang independen dan profesional.
Dalam kasus kekerasan terhadap wartawan di Serang, Polda Banten telah mengamankan dua anggota Brimob yang diduga terlibat. Namun, tindakan tegas dan transparan perlu dilakukan untuk memastikan bahwa kasus ini tidak berhenti hanya sebagai insiden biasa. Pelaku kekerasan harus diadili dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak menyadari peran penting wartawan dalam pembangunan nasional. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa wartawan mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan amanat konstitusi dalam negara kita. Kita tidak bisa membiarkan kekerasan terhadap wartawan terus berlanjut dan mengancam kebebasan pers. Saatnya kita bertindak tegas untuk melindungi wartawan dan memastikan bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan bebas. Dengan demikian, kita dapat membangun Indonesia yang lebih demokratis, transparan, dan berkeadilan.
Oleh Kefas Hervin Devananda [Romo Kefas] Jurnalis Pewarna Indonesia [Ketua Presidium FORMAKSI]