Bogor, 12 Juli 2025 – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali dihadapkan pada kontroversi terkait rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Praktik ini dinilai tidak hanya melanggar undang-undang tetapi juga mengancam integritas kelembagaan dan efisiensi pelayanan publik.
Kefas Hervin Devananda, seorang aktivis dan jurnalis senior yang juga Ketua Departemen OKK Setya Kita Pancasila, menilai bahwa kebijakan ini adalah contoh nyata dari ketidakkonsistenan pemerintahan dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance. “Rangkap jabatan ini bukan semata soal gaji tambahan atau prestise simbolik. Ini adalah persoalan mendasar tata kelola negara dan pemerintahan,” kata Kefas.
Menurut Pria yang Aktivis 98 ini mengatakan, rangkap jabatan ini berpotensi melemahkan pengawasan terhadap BUMN. “Praktik semacam itu bukan hanya melemahkan pengawasan terhadap BUMN, tetapi juga merusak integritas kelembagaan di tingkat kementerian dan internal perusahaan negara,” ujarnya.
Kebijakan ini juga diduga melanggar beberapa undang-undang, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, Pasal 23 UU Kementerian Negara, dan Undang-Undang BUMN Nomor 19/2003. “Tampaknya kekosongan norma hukum ini justru dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menempatkan wakil menteri sebagai komisaris BUMN dengan dalih aturan tidak secara eksplisit melarang,” kata Kefas tegas
Dampak dari rangkap jabatan ini sangat signifikan, termasuk merusak integritas kelembagaan dan membuat BUMN berisiko menjauh dari jatidiri sebagai entitas profesional yang mengutamakan efisiensi dan pelayanan publik. “Logika meritokrasi terancam digantikan oleh logika patronase atau hubungan saling menguntungkan antara penguasa dan klien,” tambahnya lagi[÷]