Bogor – Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan kabar mundurnya Rahayu Saraswati dari jabatannya sebagai anggota DPR RI. Berdasarkan berita dari CNN Indonesia, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Presiden Prabowo Subianto, telah resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029. Pengunduran dirinya terkait dengan pernyataan kontroversial yang dibuatnya dalam sebuah podcast pada Februari 2025, yang kemudian viral di media sosial pada Agustus 2025. Pernyataan tersebut memicu sorotan publik tajam dan akhirnya Rahayu memutuskan untuk mundur dari jabatannya.
DPR RI seperti rumah yang berpondasi pasir. Jika satu batu saja diambil, maka seluruh rumah akan runtuh. Begitu juga dengan DPR RI, jika satu anggota saja melakukan kesalahan, maka reputasi seluruh lembaga akan terkena dampaknya.
Rahayu Saraswati menunjukkan keberanian untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta mundur dari jabatannya. Ini seperti pepatah Jawa “Ngluruk Tanpa Bala, Nglungkeri Tanpa Upaya” yang artinya “Menyerang tanpa pasukan, mundur tanpa usaha”.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dapat menjadi acuan untuk memahami hak dan kewajiban anggota DPR. Pasal 73 ayat (1) menyebutkan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya jika melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik.
Tapi, mari kita lihat lebih dekat pada anggota DPR lainnya. Apakah mereka semua memiliki integritas yang sama dengan Rahayu? Ataukah mereka lebih sibuk dengan proyek-proyek yang tidak jelas dan anggaran yang tidak transparan? Kita semua tahu bahwa DPR RI memiliki reputasi yang tidak terlalu bagus dalam hal integritas dan transparansi.
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat menjadi acuan untuk memahami hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan DPR. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.
Kita semua berharap bahwa DPR RI akan menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih transparan. Seperti pepatah Tiongkok “” (Bǎi wén bù rú yī jiàn) yang artinya “Mendengar seratus kali tidak sebaik melihat sekali”, tindakan yang tepat dari anggota DPR lebih berbicara daripada seratus kata-kata.
DPR RI perlu terus belajar dan meningkatkan diri untuk menjadi lembaga yang lebih baik. Seperti pepatah Tiongkok lainnya “” (Shàn yú wèn, bù chǐ xià wèn) yang artinya “Baik bertanya, tidak malu bertanya”, DPR RI perlu terus belajar dari kesalahan dan meningkatkan diri.
Tindakan Rahayu Saraswati yang dengan tegas mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta mundur dari jabatannya, patut menjadi contoh bagi pejabat publik lainnya. Ini menunjukkan bahwa pejabat publik harus memiliki integritas dan keberanian untuk mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Namun, kita juga melihat contoh yang sebaliknya dari beberapa pejabat publik yang tidak menunjukkan integritas dan keberanian yang sama. Seorang pejabat yang kedapatan bermain kartu dengan mantan tersangka, dan cenderung cuek serta membela diri saja, menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi DPR RI untuk meningkatkan integritas dan transparansi.
Partai Gerindra, sebagai partai yang membesarkan Rahayu Saraswati, patut berbangga dengan kaderisasi yang mereka lakukan. Rahayu Saraswati telah menunjukkan bahwa kaderisasi yang dilakukan oleh partainya berhasil dalam mendidik kader-kader potensial untuk berkarya dan berjuang untuk rakyat. Dengan demikian, Rahayu Saraswati telah menunjukkan keteladanan yang sangat baik sebagai pejabat publik, dan semoga ini dapat menjadi inspirasi bagi yang lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) Jurnalis dan Koordinator Nasional LSM Pucuk Daun