Loyalitas Sebagai Pondasi, Pengetahuan Sebagai Sayap: Menggali Kearifan Jawa untuk Kader Perempuan di Politik Indonesia

Loyalitas Sebagai Pondasi, Pengetahuan Sebagai Sayap: Menggali Kearifan Jawa untuk Kader Perempuan di Politik Indonesia

Spread the love

Bogor – Bila kita mengingat filosofi Jawa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani” (di depan jadi contoh, di tengah membimbing, di belakang mendukung), maka kita akan melihat betapa posisi kader perempuan di politik Indonesia tidak hanya tentang “ikut serta”, tetapi tentang “memimpin dengan martabat”. Loyalitas yang tidak diragukan mereka miliki adalah inti dari “tut wuri andayani” — mendukung dari belakang dengan tulus dan tidak pernah berbelok. Namun, tanpa pengetahuan politik yang mumpuni dan kemampuan komunikasi yang kuat, mereka hanya akan tetap di belakang, bukan menjadi tuladha atau pembangkit semangat yang dibutuhkan di tengah ranah kekuasaan.

Di ranah politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila, kader perempuan tidak boleh hanya menjadi “bayangan” yang setia, melainkan harus menjadi sumber “wedha” (ilmu) yang memberikan makna pada setiap keputusan. Hal ini bahkan telah diatur dalam peraturan negara, seperti UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengwajibkan partai politik dan daftar calon pemilu menyertakan minimal 30 persen keterwakilan perempuan, serta menerapkan sistem zipper (setiap tiga calon harus ada satu perempuan). Peraturan ini bukan hanya formalitas, melainkan pijakan agar kader perempuan tidak hanya setia, tetapi juga memiliki akses untuk mengembangkan pengetahuan dan berperan dalam pengambilan keputusan.

Seperti pribahasa Jawa yang berkata “Becik ketitik, ala ketara” (kebaikan yang kecil akan dikenali, tapi kekurangan akan lebih terlihat), banyak kader perempuan memiliki loyalitas sekuat “bambu yang tidak patah meskipun dipetik berkali-kali”, tapi karena kurangnya wawasan tentang tata cara politik, peraturan, dan kepentingan rakyat, mereka sulit menegaskan aspirasi kelompok yang masih terpinggirkan — terutama perempuan dan anak. Padahal, dengan pengetahuan tentang peraturan seperti UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Nomor 4 Tahun 2024 yang melindungi hak maternitas dan kesejahteraan perempuan pekerja, kader perempuan bisa lebih efektif dalam mengadvokasi kepentingan masyarakat.

Kemampuan negosiasi dan kerjasama yang terasah lewat pengalaman adalah bagian dari “kawruh” (kebijaksanaan) yang tidak bisa dilewatkan. Ini sejalan dengan jiwa “gotong royong” yang menjadi jiwa masyarakat Jawa — tidak cukup hanya mau membantu, tapi harus tahu cara berkoordinasi, berbicara dengan bijak, dan menemukan titik temu antara berbagai pihak. Di politik, ini berarti mampu bernegosiasi tanpa mengorbankan prinsip, serta bekerja sama meskipun berbeda pandangan — seperti ajaran “seketika rasa, seketika rasa” yang mengajarkan kita memahami perasaan dan kebutuhan orang lain. Semua kemampuan ini juga didukung oleh upaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang mengadvokasi kebijakan responsif gender dan pengarusutamaan gender dalam semua bidang pembangunan, sesuai dengan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang diratifikasi Indonesia sejak 1984.

Pancasila sebagai dasar negara juga menuntut kader perempuan untuk menjadi “manusia yang seutuhnya” — beriman, beradab, cerdas, dan berbakti. Kita perlu mengingat: loyalitas tanpa pengetahuan adalah seperti “perahu tanpa dayung” — tidak akan bisa mencapai tujuan, bahkan bisa tersesat di tengah lautan. Sebaliknya, pengetahuan tanpa loyalitas adalah seperti “pedang yang jatuh ke tangan yang salah” — berpotensi merusak bukan hanya diri sendiri, tapi juga masyarakat.

Jadi, mari kita ucapkan tegas: kader perempuan tidak lagi hanya “penyokong setia” — mereka adalah “pejuang berilmu” yang harus berdiri tegak di ranah politik. Mereka harus menggabungkan loyalitas yang tulus dengan pengetahuan yang luas, serta kemampuan negosiasi yang dibumbui kebijaksanaan kearifan Nusantara.

Seperti “sapu jagad” yang menjadi simbol keadilan di Bali — mereka harus mampu menyapu keadilan untuk semua. Seperti “ronggeng” di Minangkabau yang menari dengan keanggunan dan kekuatan — mereka harus mampu bergerak fleksibel namun tegas. Dan seperti “bambu runcing” yang menjadi simbol perjuangan di Jawa — mereka harus kuat, lentur, dan tidak mudah patah.

Hanya dengan begitu, kader perempuan akan benar-benar memenuhi filosofi “ing ngarsa, ing madya, tut wuri” dan menjadi “pintu gerbang” ke masa depan politik Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan penuh martabat — sesuai dengan jiwa bangsa Nusantara yang kaya akan kearifan dan semangat Pancasila. Ini bukan harapan semata — ini kewajiban kita semua.

Ditulis oleh: Tri Satini, Mantan Caleg DPRD Kota Bogor Dapil I dari PSI

error: Content is protected !!