Jakarta – Dalam beberapa waktu terakhir, durasi masa jabatan Kapolri menjadi topik yang menarik perhatian publik, terutama ketika seorang Kapolri menduduki jabatannya dalam waktu yang relatif panjang. Sebagian pihak menilai bahwa masa jabatan yang terlalu lama berisiko menimbulkan berbagai konsekuensi, seperti menghambat proses regenerasi kepemimpinan di tubuh Polri, menurunkan semangat inovasi institusional, hingga menciptakan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu figur.
Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya keliru, terutama jika institusi tersebut tidak memiliki sistem pengawasan dan mekanisme akuntabilitas yang kuat. Namun, penting untuk menempatkan diskursus ini secara objektif dalam kerangka konstitusi dan tata kelola pemerintahan.
Hal yang perlu dicermati bahwa wacana pembatasan masa jabatan Kapolri secara normatif dapat membawa implikasi yang tidak sederhana. Jika argumen ini didorong terlalu jauh tanpa analisis konstitusional yang matang, maka dapat membuka ruang bagi pembatasan jabatan profesional lainnya secara serampangan, tanpa memperhatikan dinamika kelembagaan dan karakteristik tugas yang diemban. Dalam sistem demokrasi modern, ukuran keberhasilan kepemimpinan bukan ditentukan oleh durasi masa jabatan, melainkan oleh kualitas kinerja, integritas, dan dampaknya terhadap reformasi institusi dan pelayanan publik.
Oleh karena itu, alih-alih memperdebatkan panjang pendeknya masa jabatan, fokus diskusi publik sebaiknya diarahkan pada bagaimana memastikan akuntabilitas, transparansi, dan evaluasi kinerja Kapolri secara berkala dalam kerangka check and balances yang sehat. Sejauh Kapolri menunjukkan kepemimpinan yang progresif dan mampu membawa Polri semakin profesional dan modern, maka masa jabatan yang panjang justru bisa menjadi aset berharga bagi kesinambungan reformasi institusional.
Perspektif Konstitusi dalam Penunjukan Kapolri
Dalam sistem ketatangeraan Indonesia yang menganut prinsip presidensialisme, Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Salah satu implikasi dari kedudukan ini adalah bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menunjuk pejabat tinggi negara yang berada di bawah kewenangan eksekutif, termasuk Kapolri.
Meskipun secara administratif jabatan Kapolri berada dalam struktur kepolisian yang profesional dan mandiri, pada hakikatnya tetap merupakan pembantu Presiden dengan tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban nasional.
Oleh karena itu, penunjukan maupun pemberhentian Kapolri bukan semata-mata soal teknis kelembagaan, melainkan juga menyangkut strategi politik negara dalam memastikan stabilitas nasional. Hak prerogatif ini merupakan hak istimewa yang melekat pada jabatan Presiden untuk memilih figur yang diyakini memiliki kapasitas dan loyalitas dalam mendukung agenda pemerintahan.
Meskipun mekanisme pengangkatan Kapolri diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mensyaratkan adanya persetujuan DPR terhadap calon Kapolri yang diusulkan Presiden, substansi kekuasaan tetap berada pada inisiatif Presiden. Artinya, selama proses tersebut sesuai dengan prosedur formal yang ditentukan, Presiden memiliki keleluasaan untuk mempertahankan seorang Kapolri selama figur tersebut dipandang mampu memenuhi harapan pemerintah dan publik.
Tidak adanya batas masa jabatan Kapolri secara eksplisit dalam regulasi menjadi bentuk pengakuan terhadap fleksibilitas ini. Selama yang bersangkutan belum mencapai usia pensiun dan tidak terdapat alasan mendesak untuk diganti, maka tidak ada dasar konstitusional yang dapat membatasi masa jabatan Kapolri. Dengan kata lain, lamanya masa jabatan Kapolri merupakan konsekuensi dari pilihan strategis Presiden, bukan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi konstitusional atau tata kelola pemerintahan.
Prinsip ini sejalan dengan kebutuhan akan stabilitas kelembagaan di tubuh Polri. Dalam situasi politik yang dinamis dan kompleks terkadang kesinambungan kepemimpinan justru dibutuhkan agar program-program reformasi di kepolisian dapat berjalan optimal dan tidak terputus di tengah jalan. Oleh sebab itu, durasi masa jabatan Kapolri seharusnya tidak dijadikan polemik apabila Presiden telah mempertimbangkannya secara matang dalam bingkai kepentingan negara secara keseluruhan.
Dengan demikian, menyoal masa jabatan Kapolri sejatinya harus ditempatkan dalam perspektif kelembagaan yang lebih besar. Presiden bukan hanya memilih figur karena pertimbangan politik semata, melainkan karena kebutuhan akan efektivitas kepemimpinan strategis dalam menjaga keamanan dan ketertiban nasional. Oleh karenanya, selama tidak bertentangan dengan hukum positif, maka hak prerogatif Presiden dalam menunjuk dan mempertahankan Kapolri merupakan ekspresi konstitusional dari kewenangan eksekutif dalam sistem presidensial Indonesia.
Tidak Ada Norma Hukum yang Dilanggar.
Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, tidak terdapat satu pun norma eksplisit yang membatasi masa jabatan Kapolri secara spesifik, baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur institusi Polri. Rujukan utama yang mengatur kedudukan dan masa dinas anggota Polri adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di dalam Pasal 30 ayat (2) secara tegas disebutkan bahwa usia pensiun anggota Polri adalah 58 tahun, dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun untuk jabatan tertentu yang dianggap strategis oleh kepentingan negara, termasuk jabatan Kapolri.
Ketentuan ini memberikan ruang flesibilitas yang cukup bagi Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif untuk menilai secara subjektif-objektif apakah seorang Kapolri layak dipertahankan hingga batas usia maksimal. Dengan kata lain, masa jabatan Kapolri tidak dibatasi dalam bentuk durasi tertentu – misalnya 3 atau 5 tahun – tetapi hanya dibatasi oleh usia pensiun dan kebutuhan strategis negara. Maka apabila Presiden mempertahankan seorang Kapolri dalam jabatannya selama yang bersangkutan belum mencapai batas usia pensiun dan masih memiliki kinerja yang dinilai positif, keputusan tersebut sah dan tidak melanggar norma hukum apa pun.
Selain itu, peraturan turunan seperti Peraturan Presiden maupun Peraturan Kapolri juga tidak mengatur tentang durasi jabatan Kapolri secara rigid. Bahkan dalam praktik ketatanegaraan, terdapat preseden yang menunjukkan variasi masa jabatan Kapolri, tergantung pada dinamika politik dan kebutuhan strategis saat itu. Hal ini semakin menegaskan bahwa durasi jabatan Kapolri bukan merupakan kategori hukum yang rigid, melainkan bersifat fleksibel dan kontekstual, sepanjang berada dalam kerangka norma yang diatur undang-undang.
Argumentasi yang menyatakan bahwa masa jabatan Kapolri yang terlalu panjang akan mengganggu regenerasi atau menciptakan konsentrasi kekuasaan, sejatinya lebih bersifat etis dan manajerial ketimbang legalistik. Dalam negara hukum, klaim adanya pelanggaran atau keharusan perubahan harus selalu berpijak pada dasar hukum yang jelas. Maka selama tidak ada norma yang menetapkan batas waktu jabatan Kapolri dan keputusan perpanjangan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak dapat dikatakan terjadi penyimpangan secara yuridis.
Dengan demikian, memperpanjang atau mempertahankan masa jabatan Kapolri bukanlah bentuk pelanggaran hukum atau konstitusi. Justru sebaliknya, hal tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan konstitusional Presiden dalam memilih dan mempertahankan pejabat negara berdasarkan evaluasi terhadap kebutuhan nasional dan stabilitas keamanan dan ketertiban. Setiap usulan untuk membatasi masa jabatan Kapolri secara normatif mestilah diajukan melalui mekanisme perubahan undang-undang, bukan melalui tekanan opini publik semata.
Regenerasi Tidak Bergantung pada Jabatan Kapolri Anggapan bahwa lamanya masa jabatan Kapolri akan menghambat proses regenerasi di tubuh Polri perlu dilihat secara lebih proporsional. Dalam sistem keorganisasian Polri, mekanisme pembinaan karier dan rotasi jabatan telah dirancang sedemikian rupa agar tetap berjalan secara sistematis, terlepas dari siapa yang menjabat sebagai Kapolri. Artinya, regenerasi kepemimpinan di tingkat bawah hingga menengah tetap berlangsung melalui penilaian berbasis kinerja, kompetensi, dan integritas, bukan semata-mata bergantung pada pergantian pucuk pimpinan.
Selain itu, Kapolri bukan satu-satunya penentu dalam proses promosi dan rotasi jabatan. Ada sistem yang dibangun melalui Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi serta pengawasan dari lembaga eksternal seperti Kompolnas yang berfungsi memberikan masukan kepada Presiden. Dengan demikian, selama prinsip meritokrasi dan akuntabilitas diterapkan secara konsisten, kekhawatiran bahwa kepemimpinan yang terlalu lama akan menyumbat jalur karier perwira tinggi lainnya adalah asumsi yang lemah.
Justru dalam situasi kepemimpinan yang stabil dan visioner, proses kaderisasi dapat dirancang lebih matang. Pemimpin yang memiliki waktu cukup akan mampu merancang sistem pembinaan SDM jangka menengah hingga panjang, termasuk menyiapkan calon-calon pemimpin masa depan dengan pelatihan, penugasan strategis, dan mentoring yang berkelanjutan.
Stabilitas di tingkat puncak menjadi modal penting untuk menumbuhkan budaya institusional yang mendukung regenerasi sehat dan berbasis kompetensi.
Perlu juga dipahami bahwa regenerasi yang terlalu dipaksakan melalui pergantian pucuk pimpinan justru berpotensi membawa ketidakpastian dalam arah kebijakan, terutama jika penggantian dilakukan tanpa memperhatikan kesinambungan agenda reformasi yang tengah berjalan. Dalam konteks ini, mempercepat regenerasi bukan berarti harus mengganti pimpinan utama secara tergesa-gesa, melainkan memastikan bahwa proses kaderisasi berlangsung di seluruh lapisan organisasi dengan sistem yang adil, terbuka, dan terukur.
Dengan demikian, masa jabatan Kapolri yang berlangsung lebih lama bukanlah penghambat regenerasi, melainkan dapat menjadi fondasi kuat bagi lahirnya pemimpin-pemimpin Polri masa depan yang lebih siap, matang, dan profesional. Hal yang terpenting bukan seberapa sering Kapolri berganti, melainkan seberapa efektif sistem pembinaan dan kaderisasi yang dijalankan di bawah kepemimpinannya.
Bahaya Membatasi Hak Prerogatif secara Normatif Wacana untuk membatasi masa jabatan Kapolri secara normatif perlu dihadapi dengan kehati-hatian, sebab menyentuh aspek fundamental dalam desain ketatanegaraan Indonesia. Dalam sistem presidensial yang dianut oleh UUD NRI Tahun 1945, Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat tinggi negara, termasuk Kapolri, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945. Membatasi masa jabatan Kapolri secara legalistik justru dapat berimplikasi pada penyempitan ruang kebijakan yang seharusnya dimiliki Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Hak prerogatif bukan sekadar hak formal, tetapi merupakan instrumen penting yang memungkinkan Presiden menjalankan pemerintahan secara efektif dan responsif terhadap kebutuhan strategis negara.
Dalam situasi tertentu, Presiden mungkin membutuhkan kepemimpinan yang berkelanjutan dan stabil di institusi seperti Polri untuk menjaga agenda reformasi, merespons dinamika ancaman keamanan, dan menjamin sinergi lintas sektor, terutama dalam mendukung suksesnya program Asta Cita pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dengan membatasi masa jabatan secara normatif, fleksibilitas tersebut akan hilang dan justru bisa menghambat efektivitas tata kelola pemerintahan.
Lebih jauh lagi, pembatasan masa jabatan pejabat profesional seperti Kapolri berpotensi menimbulkan efek domino terhadap jabatan-jabatan strategis lainnya. Jika Kapolri harus dibatasi, maka apakah Jaksa Agung, Panglima TNI, atau bahkan pejabat non-politik lain di kementerian teknis juga harus dibatasi secara serupa? Padahal setiap jabatan memiliki karakteristik, fungsi, dan tantangan yang berbeda. Menyeragamkan masa jabatan seluruh pejabat tinggi negara secara normatif tanpa mempertimbangkan kompleksitas masing-masing fungsi justru dapat mereduksi efisiensi birokrasi dan melemahkan struktur kelembagaan.
Pembatasan normatif juga berisiko menjadikan proses pergantian pejabat tinggi negara lebih birokrasi dan politis, alih-alih berbasis kebutuhan objektif dan profesional. Alih-alih memperkuat akuntabilitas, pembatasan yang dipaksakan justru dapat menimbulkan instabilitas kepemimpinan, memperpendek visi strategis, serta menjadikan pejabat terjebak dalam logika “jangka pendek” dalam setiap kebijakan. Padahal, agenda-agenda besar setiap reformasi kepolisian, pembangunan sistem keamanan modern, dan penguatan kapasitas SDM Polri membutuhkan kesinambungan dan kepemimpinan yang berjangka menengah-panjang.
Dengan demikian, mempersempit hak prerogatif Presiden melalui pembatasan masa jabatan Kapolri secara normatif bukan hanya tidak diperlukan, melainkan juga dapat menjadi preseden yang bertentangan dengan prinsip-prinsip presidensialisme dan efektivitas pemerintahan negara.
Selama pengangkatan dan pemberhentian tetap berada dalam kerangka akuntabilitas politik dan konstitusional, tidak ada urgensi untuk mengekang hak prerogatif tersebut.
Fokus pada Kinerja, Bukan Lama Jabatan
Dalam iklim demokrasi konstitusional yang sehat, diskursus publik mengenai pejabat tinggi negara seperti Kapolri tentu merupakan bagian dari kontrol dan partisipasi masyarakat. Namun, penting untuk menempatkan isu tersebut pada konteks yang tepat. Masalah utama seharusnya bukan terletak pada durasi masa jabatan seorang Kapolri, melainkan pada efektivitas, integritas, dan profesionalisme yang ditunjukkan selama menjabat. Selama seorang Kapolri mampu menjawab tantangan institusional dan nasional secara optimal, memperpanjang masa jabatan bukanlah suatu pelanggaran terhadap nilai demokrasi atau meritokrasi.
Kepemimpinan dalam institusi Polri tidak dapat semata-mata diukur berdasarkan lamanya waktu menjabat, melainkan harus dilihat dari dampak kebijakan dan program kerja yang dijalankannya. Apakah reformasi internal berjalan? Apakah kepercayaan publik terhadap Polri meningkat? Apakah stabilitas keamanan nasional tetap terjaga dengan kondusif? Apakah penegakan hukum dilakukan sesuai prinsip due process of law? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jauh lebih relevan dibandingkan memperdebatkan angka tahun masa jabatan.
Di sisi lain, publik juga menuntut kepastian dan konsistensi dalam penegakan hukum, perlindungan masyarakat, serta reformasi kultural di tubuh Polri. Semua itu tidak mungkin dilakukan secara instan. Butuh waktu, konsistensi kebijakan, dan keberanian mengambil keputusan yang tidak popular. Jika setiap Kapolri menjabat dalam rentang waktu singkat, maka kebijakan akan cenderung bersifat simbolik dan tidak menyentuh akar masalah. Karena itu, stabilitas jabatan Kapolri harus dilihat sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun kepolisian modern yang responsif, adaptif, dan profesional.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas tantangan yang dihadapi serta pentingnya kesinambungan arah kebijakan, maka mempertahankan Kapolri yang terbukti efektif bukan sekadar pilihan politis, tetapi keputusan strategis untuk memperkuat sistem keamanan nasional dan mempercepat transformasi institusi Polri ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, penilaian terhadap Kapolri seyogianya dilakukan secara berkala melalui evaluasi berbasis indikator kinerja yang terukur dan objektif.
Presiden sebagai pemangku hak prerogatif dan penanggung jawab tertinggi terhadap jalannya pemerintahan negara, berhak dan berkewajiban untuk menilai apakah seorang Kapolri masih layak melanjutkan jabatannya. Ketika keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan strategis dan kebutuhan negara, maka keputusan itu perlu dihormati sebagai bagian dari dinamika pemerintahan presidensial.
Menjadikan “lama menjabat” sebagai satu-satunya variabel kritik berisiko menempatkan perdebatan publik pada posisi yang sempit dan emosional. Hal ini dapat mengaburkan fokus terhadap persoalan yang lebih substantial seperti agenda reformasi kelembagaan, penguatan penegakan hukum, menjaga kondusifitas keamanan, dan peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Polri. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk kembali memfokuskan perhatian pada esensi jabatan kapolri sebagai amanah yang berbasis kinerja dan kepercayaan, bukan sekadar hitungan kelender.
Dengan demikian, alih-alih mendorong pembatasan masa jabatan secara normatif yang berpotensi melemahkan fleksibilitas Presiden dan kontinuitas kebijakan, bangsa ini lebih membutuhkan sistem evaluasi yang transparan, meritokrasi, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Penguatan institusi Polri tidak akan lahir dari seringnya pergantian pucuk pimpinan, melainkan dari keberlanjutan visi, keteladanan dalam memimpin, serta keberanian untuk mentransformasikan institusi demi menjawab harapan rakyat.[÷]
Oleh: Dr. Bachtiar Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM