Jakarta – Wacana pembubaran Bawaslu daerah yang mengemuka pasca Pemilu 2024 mengundang keprihatinan mendalam. Dalam narasi efisiensi dan penyederhanaan kelembagaan, muncul usulan agar fungsi pengawasan pemilu dikonsentrasikan di tingkat pusat.
Jika ini benar-benar dijalankan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya efektivitas pengawasan, tetapi juga masa depan demokrasi elektoral di Indonesia. Sebab pengawasan yang hanya terpusat di nasional akan menjauh dari realitas sosial, mengabaikan keragaman geografis dan sosial-politik daerah, serta melemahkan mekanisme partisipasi publik dalam menjaga integritas pemilu.
Padahal, demokrasi yang sehat bertumpu pada pengawasan yang dekat dengan rakyat, responsif terhadap pelanggaran di lapangan, dan berbasis pada nilai-nilai keadilan elektoral yang merata di seluruh wilayah.
Diperlukan kehati-hatian bagi setiap pihak dalam menanggapi dan merspon wacana pembubaran Bawaslu daerah. Setidaknya wacana pembubaran Bawaslu daerah ini harus dilihat secara kritis dari tiga perspektif utama: pertama, dari sisi konstitusionalitas, di mana keberadaan Bawaslu daerah merupakan amanat hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja; kedua, dari sudut asas desentralisasi demokrasi dan keadilan elektoral, karena pengawasan pemilu yang efektif menuntut kedekatan dengan konteks lokal; dan ketiga, dari sisi tata kelola demokrasi partisipatif, di mana kehadiran Bawaslu daerah menjadi sarana untuk melibatkan masyarakat secara aktif dan menjaga akuntabilitas pemilu di akar rumput.
Menakar Alasan Pembubaran
Dari sudut pandang konstitusional, Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sementara ayat (5) menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Guna menjamin prinsip kejujuran dan keadilan inilah hadir lembaga pengawas pemilu yang bersifat independen, yakni Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Secara sistemik, pemilu tidak hanya diselenggarakan oleh KPU, pengawasannya juga menjadi bagian integral dari penyelenggaraan. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang menyatakan bahwa keberadaan Bawaslu adalah bagian dari sistem penyelenggaraan pemilu yang konstitusional. Dalam konteks ini, pengawasan bukan sekadar fungsi “tambahan”, tetapi fungsi yang inheren dari sistem pemilu yang demokratis. Demikian juga dalam sistem kelembagaan yang ada saat ini, kehadiran Bawaslu di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bukanlah aksesoris birokrasi, tetapi bagian integral dari pelaksanaan mandat konstitusi.
Dengan demikian, pembubaran Bawaslu daerah justru berpotensi melemahkan struktur konstitusional pengawasan pemilu, dan tentu bertentangan dengan semangat check and balances yang dijamin dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia.Tanpa keberadaan Bawaslu di daerah, fungsi kontrol terhadap potensi pelanggaran pemilu di level lokal akan timpang, mengurangi efektivitas pencegahan dan penindakan dini. Hal ini bukan hanya mengancam prinsip keadilan pemilu, tetapi juga mencederai amanat UUD NRI Tahun 1945 yang menempatkan integritas pemilu sebagai pilar utama demokrasi.
Selanjutnya dari sudut pandang desentralisasi demokrasi dan kebutuhan keadilan elektoral, pembubaran Bawaslu daerah berisiko melemahkan semangat desentralisasi dan kearifan lokal dalam pengawasan. Kita perlu ingat, demokrasi kita bukan hanya di bangun di Jakarta, tetapi dari desa-desa, kabupaten, dan provinsi yang sesungguhnya menjadi arena nyata kontestasi politik.
Pertanyaannya, bagaimana pengawasan bisa dilaksanakan dengan maksimal jika lembaga pengawas pemilu justru dihapus dari tempat-tempat terjadinya pelanggaran pemilu? Pemilu dan Pilkada berlangsung di desa, kelurahan, hinga TPS-TPS pelosok. Dinamika kontestasi politik lokal sangat kontekstual, spesifik, dan sering kali tak kasatmata dari pusat. Tanpa Bawaslu daerah, fungsi pengawasan berisiko menjadi simbolik belaka – kehilangan daya jangkau, kecepatan respons, dan kekuatan korektif.
Dalam demokrasi modern, prinsip subsidiaritas adalah kunci efektivitas kelembagaan. Artinya, fungsi-fungsi yang dapat dijalankan lebih efektif di level lokal, tidak boleh dipusatkan secara berlebihan di tingkat nasional. Bawaslu daerah menjamin pengawasan yang responsif, kontekstual, dan berbasis kearifan lokal terhadap potensi penyimpangan dan pelanggaran pemilu. Membubarkan Bawaslu daerah justru akan menciptakan kesenjangan pengawasan, memperlambat respon terhadap pelanggaran, dan membuka ruang bagi impunitas politik di daerah.
Bawaslu daerah selama ini memainkan peran penting, bukan hanya sebagai penegak pelanggaran, tetapi sebagai pencegah konflik elektoral. Dalam banyak kasus, kehadiran pengawas pemilu di daerah berhasil meredam potensi kekacauan melalui mediasi, penindakan dini, dan pengawasan ketat terhadap berbagai pelanggaran administratif pemilu pada semua tahapan, pelanggaran etik penyelenggara, pelanggaran pidana pemilu, hingga pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, seperti pelanggaran netralitas ASN dan TNI/Polri.
Membubarkan Bawaslu daerah sama saja dengan membiarkan kontestasi politik berjalan tanpa rem pengawasan di level yang paling rawan.
Lebih dari itu, dari sisi tata kelola demokrasi partisipatif, kehadiran Bawaslu daerah secara faktual telah ikut mendorong partisipasi publik dalam pengawasan, membangun kesadaran politik warga, dan menciptakan ruang dialog antara rakyat dan pengawas pemilu. Bila Bawaslu daerah dibubarkan, maka dikuatirkan demokrasi menjadi semakin elitis dan berjarak dari konstituen dan ini justru melanggar semangat demokrasi partisipatoris yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam teorinya tentang deliberative democracy, James S. Fishkin (1991) menyatakan bahwa “Democratic legitimacy arises from participation of ordinary citizens in informed, deliberative dicision-making”. Dalam konteks ini, pengawasan pemilu yang melibatkan aktor lokal seperti Bawaslu daerah bisa dilihat sebagai mekanisme partisipatif dan deliberatif yang memperkuat legitimasi demokrasi.
Larry Diamond (1999) juga menekankan local accountability dan grassroots democracy sebagai fondasi dari demokrasi yang sehat. Menurutnya, “Without effective accountability at the local level democracy becomes an empty ritual”. Pernyataan ini mendukung bahwa keberadaan lembaga seperti Bawaslu daerah diperlukan untuk memastikan akuntabilitas pemilu tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah.
Lebih dari itu, Arend Lijphart (1999) mendorong model demokrasi yang inklusif. Desentralistik, dan berorientasi pada consensus, seperti yang dikatakannya “Decentralization in essential ini plural societies to ensure participation and legitimacy”. Pernyataan ini sangat relevan dalam konteks Indonesia yang plural dan tersebar geografis, sehingga pengawasan pemilu tidak bisa bersifat tersentralisasi tanpa mengorbankan legitimasi dan efisiensi pengawasan.
Pemikiran Fiskhin, Diamond, dan Lijphart menunjukkan bahwa legitimasi demokrasi menuntut partisipasi warga, akuntabilitas lokal, dan desentralisasi kelembagaan. Oleh karena itu, wacana pembubaran Bawaslu daerah semestinya tidak disikapi secara pragmatis, tetapi ditakar dan ditimbang dengan cermat berdasarkan prinsip konstitusi dan demokrasi. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, Bawaslu daerah bukan beban demokrasi, melainkan fondasinya. Alih-alih dibubarkan, Bawaslu daerah perlu diperkuat sebagai penjaga kedaulatan rakyat di akar rumput.
Solusinya Penguatan, Bukan Pembubaran
Memperhatikan basis argumentasi hukum dan politik di atas, setidaknya terdapat lima implikasi hukum dan politik manakala Bawaslu daerah dibubarkan. Pertama, melemahkan struktur konstitusional pengawasan pemilu, dan bertentangan dengan semangat check and balances yang dijamin dalam sistem demokrasi konstitusional. Kedua, menghilangkan akses keadilan pemilu (electoral justice) di daerah, khususnya bagi peserta dan pemilih yang merasa dirugikan dalam proses pemilu. Ketiga, membuka peluang dominasi kekuasaan lokal tanpa kontrol, karena tidak ada institusi netral yang mengawasi. Keempat, mematikan fungsi early warning system pemilu, karena pengawasan yang baik membutuhkan kehadiran fisik, jaringan dan pemetaan kerawanan lokal. Kelima, bertentangan dengan prinsip dan semangat desentralisasi demokrasi dalam bingkai otonomi daerah, di mana daerah semestinya menjadi tempat bertumbuhnya demokrasi akar rumput.
Terlepas dari berbagai implikasi tersebut, tentu kita tidak boleh menutup mata atas berbagai evaluasi terhadap Bawaslu daerah. Harus diakui masih terdapat kekurangan dalam kuantitas dan kualitas aparatur pengawas, tata kelola kelembagaan, dan kadang koordinasi dengan pusat yang belum optimal. Namun, solusi atas kelemahan bukanlah pembubaran, melainkan perbaikan. Negara semestinya memperkuat fungsi kelembagaan pengawasan pemilu, bukan menciutkannya.
Jika alasan di balik wacana pembubaran ini adalah efisiensi anggaran atau penyederhanaan struktur, maka langkah yang lebih bijak adalah melakukan reformasi kelembagaan, termasuk perbaikan sistem rekruitmen, peningkatan kapasitas SDM, dan digitalisasi pengawasan pemilu. Pengawasan pemilu adalah fungsi krusial dalam negara demokrasi. Tidak ada demokrasi yang sehat tanpa pengawasan yang efektif, dan tidak ada pengawasan yang efektif tanpa kehadiran pengawas di tingkat daerah.
Demokrasi Perlu Akar, Bukan Sekedar Mahkota Kita perlu berpikir ulang untuk meneriakkan wacana pembubaran Bawaslu daerah. Kita jangan terjebak pada solusi instan yang berisiko meruntuhkan bangunan demokrasi elektoral yang telah kita rawat dengan susah payah sejak era reformasi. Yang dibutuhkan saat ini bukan pembubaran, melainkan penguatan dan perbaikan, seiring dengan kebutuhan dan tuntutan demokratisasi. Karena dalam demokrasi, pengawasan bukan beban, tetapi jaminan keadilan.
Jika demokrasi kita ingin sehat, maka pengawasan pemilu tidak boleh hanya di Jakarta. Ia harus hadir di desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota dan provinsi.
Karena pelanggaran pemilu bukan hanya terjadi di level nasional, tetapi justru paling marak di tingkat lokal.
Membubarkan Bawaslu daerah berarti memotong akar demokrasi dan hanya menyisakan mahkotanya saja. Oleh sebab itu, langkah ke depan bukanlah membubarkan, tetapu memperkuat, mereformasi, dan memodernisasi Bawaslu daerah agar tetap menjadi pilar keadilan pemilu (The Pillar of Electoral Justice) dan penjaga kedaulatan rakyat (The Guardian of People’s Sovereignty).
Oleh: Dr. Bachtiar Pengajar HTN-HAN FH UNPAM dan Pemerhati Kepemiluan