MENATA ULANG NEGARA HUKUM, MEWUJUDKAN UU CONTEMPT OF COURT

MENATA ULANG NEGARA HUKUM, MEWUJUDKAN UU CONTEMPT OF COURT

Spread the love

KLik NET Dunia peradilan tercoreng! Belum lama ini ada tiga peristiwa yang dianggap mencoreng marwah lembaga peradilan dan ramai disorot di berbagai media. Pertama, tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, seorang advokat/pengacara dan mantan pejabat Mahkamah Agung RI ditangkap jaksa karena diduga menerima suap (dan kini kasusnya sedang disidangkan). Mereka adalah Erintuah Damanik (Ketua Pengadilan Negeri Surabaya), Mangapul (Hakim Anggota), dan Heru Hanindyo (Hakim Anggota). Tiga hakim ini yang menjatuhkan vonis bebas untuk pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim tersebut oleh jaksa dianggap melanggar Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18, dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Peristiwa pidana tersebut juga menyeret mantan pejabat MA Zarof Ricar dan advokat Lisa Rachmat yang didakwa melakukan penyuapan.

Kedua, ada juga dua advokat yang dianggap melakukan penistaan/penghinaan kepada pengadilan serta dibekukan Berita Acara Sumpahnya sehingga tidak dapat berpraktek lagi di pengadilan. Dua orang advokat itu adalah Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo. Saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Razman dianggap mengeluarkan kata-kata kotor dan intimidatif kepada hakim, sementara M Firdaus Oiwobo dengan tetap memakai toga menaiki meja di dalam ruangan persidangan.

Nara Sumber : TM Luthfi Yazid, Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), Penasehat Hukum Calon Presiden RI dalam sengketa Pilpres tahun 2019 dan 2024 dan alumni University of Warwick, Inggris.

Ketiga, kemudian menjelang akhir bulan April 2025, empat orang hakim, panitera, dua advokat beserta kliennya ditangkap jaksa penuntut umum karena kasus penyuapan. Meraka adalah Muhammad Arif Nuryanta (Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), Djuyamto (Ketua Majelis), Agam Syarief Baharuddhin (Hakim Anggota), Ali Muhtarom (Hakim Anggota), Wahyu Gunawan (Panitera Muda Perdata Jakarta Utara), Ariyanto Bakri (Advokat), Marcella Santoso (Advokat) dan Muhammad Syafei (Head of License PT Wilmar Group).

Bahkan mengacu kepada data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 15 tahun terakhir ini ada 31 hakim terjerat kasus korupsi, seperti hakim PN Surabaya Itong Isnaini Hidayat yang divonis 5 tahun penjara atau hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Dede Suryawan yang diberhentikan secara tidak hormat yang menerima suap terkait kasus Wali Kota Kediri, Jawa Timur sehingga secara jumlah menjadi yang terbanyak dibandingkan polisi, jaksa dan advokat (Kompas, 5/5/2025).

Pertanyaannya, apakah yang mereka lakukan adalah sebuah Contempt of Court (COC), ataukah Contempt of Court hanya ditujukan kepada advokat saja? Menurut saya, siapapun yang mencederai proses pencarian keadilan terhadap institusi yang bernama peradilan maka itu adalah COC. Tidak peduli apakah ia seorang advokat, jaksa penuntut umum, pengunjung sidang atau hakimnya sendiri. Karena sebenarnya yang ingin dijaga adalah marwah lembaga peradilan sebagai sebuah institusi.

Memang di Indonesia definisi tentang COC yang fix dan pasti belum ada (untuk memberikan kepastian hukum yang adil harus dihindari definisi COC yang multi-tafsir). Begitu pula regulasinya masih ada di beberapa peraturan terutama dalam KUHP, misalnya dalam Pasal 207 (penghinaan terhadap pengadilan), Pasal 209 (suap terhadap pejabat pengadilan), dan Pasal 211 (memaksa pejabat pengadilan dengan kekerasan). Artinya, belum ada UU khusus tentang COC. Persoalan COC ini di negara kita juga belum menjadi prioritas. Buktinya Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sudah lama membuat naskah akademis, sudah lama berdiskusi dengan DPR (periode yang lalu) untuk membahas RUU COC, akan tetapi sampai hari ini RUU COC belum pernah lahir. Sebuah seminar internasional yang diselenggarakan oleh IKAHI di Gedung MA baru-baru ini dengan narasumber hakim Pengadilan Tinggi Singapura Justice See Kee Oon, guru besar hukum China Prof Jiang Min, hakim Agung MA Dr. Prim Haryadi, Ketua Komisi Yudisial Prof Amzulian Rifai dan ketua Komisi 3 DPR Dr Habiburokhman patur diapresiasi, dan Dr Habiburrokhman berjanji akan menjadikan pembahasan UU COC sebagai sebuah atensi termasuk ide untuk melahirkan UU Jabatan Hakim.

Bagaimana dengan penerapan COC di negara-negara lain? Di negara-negara yang menganut British Legal System seperti Singapura, atau Australia COC ini menjadi perhatian yang penting. Mereka mengaturnya terutama di dalam KUHP (Criminal Code), serta di beberapa peraturan perundangan lainnya untuk memperkuat pengaturan COC. Di negara-negara yang menganut common law system dikategorikan COC yaitu menghalang-halangi proses persidangan (contempt by scandalizing) di pengadilan seperti mengintimidasi hakim atau berkata kotor dalam persidangan. Tidak mematuhi perintah pengadilan (contempt by disobedience) seperti dengan sengaja tidak mematuhi perintah atau putusan pengadilan. Di Jepang dan China meskipun tidak menerapkan common law system namun mereka juga mengatur COC ini di dalam peraturan perundangannya yang berpencaran. Intinya, di Jepang misalnya, mereka menganggap COC adalah sebuah perbuatan pidana serius yang mengancam kemandirian lembaga peradilan. Seorang advokat yang dikenai sanksi, maka ia tidak akan bisa berpraktek hukum di mana pun di Jepang. Semuanya terkoneksi, antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya. Hal yang serupa juga berlaku di China dengan sistem sentralistik ala komunis. Sebab itu, bagi pelakunya harus memperoleh hukuman yang setimpal.

Di Indonesia, beberapa kasus yang kemudian dianggap COC diantaranya kasus Adnan Buyung Nasution saat membela Jend. HR Darsono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di jaman rezim Suharto, sehingga ijin prakteknya dicabut dan beliau hijrah ke negeri Belanda. Sebagai orang yang pernah menjadi personal assistant (PA) dari Adnan Buyung Nasution, –sepulang beliau dari studinya di Universitas Utrecht– mendengar cerita beliau langsung serta menyaksikan kekuasaan rezim Suharto yang sangat otoriter saat itu, saya dapat memahami posisi Bang Buyung Nasution.

Selama ini yang “dianggap” atau dikenakan sanksi dengan ketentuan COC adalah advokat saja, padahal – sekali lagi– yang dimaksud COC itu dapat dilakukan oleh siapa saja: pengunjung sidang, advokat, jaksa penuntut umum dan bahkan oleh hakim sendiri. Pada dasarnya, siapapun yang menghalangi agar terciptanya peradilan yang bebas dan imparsial, dengan tindakan atau ucapan apapun maka hal tersebut dapat dianggap sebagai COC. Seseorang yang berperkara melakukan sogok, advokat menyuap, jaksa menyuap, panitera merayu advokat agar perkaranya “diurus” untuk menang, atau hakim menerima imbalan materi, semua tindakan itu pada prinsipnya adalah COC. Hal itu semua terjadi karena ada supply dan demand. Tak mungkin terjadi penyuapan jika tak ada penyuap dan tersuap. Jika di kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian, misalnya, ada pengawas untuk “mengamputasi” dan menindak mafia hukum, maka untuk unsur mafia hukum dari luar/eksternal (di luar Aparat Penegak Hukum) siapa yang akan melakukan “amputasi”?

Dengan realitas yang semacam itu—untuk mewujudkan proses peradilan yang berintegritas, mewujudkan negara hukum serta kepastian hukum yang adil—maka ada beberapa hal yang harus dibenahi atau dilakukan:

Pertama, dari mulai pembentuk UU, DPR RI, pelaksana UU dan pemerintah dari hulu sampai hilir harus memiliki komitmen untuk memberantas korupsi yudisial dengan segala siasat dan bentuknya. Sebab juga akan percuma peraturannnya bagus namun the man behind the gun (aktor manusianya) tidak beres maka korupsi yudisial dan mafia masih akan bergentayangan. Jadi unsur manusianya berperan sangat penting persis seperti yang dikatakan Bernadus Maria Taverne, ahli hukum pidana dan mantan Jaksa Agung Belanda “Geef me een goede rechter dus zelfs met slechte wetgeving kan ik gerechtigheid brengen” atau dalam bahasa Inggrisnya “give me a good judge, and even with bad legislation , I can bring justice”. Terjemahan bebasnya: beri aku hakim yang berintegritas, maka akan aku ciptakan keadilan meski tanpa UU sekalipun.

Kedua, kehadiran UU COC merupakan suatu keniscayaan yang pembentukannya harus dibuat sesegera mungkin. Untuk pembuatan UU COC maka proses legislasinya haruslah melibatkan partisipasi publik, semua stakeholders mesti dilibatkan, transparan dan harus melalui kajian akademis yang komprehensif dan mendalam. Syarat keberlakuan sebuah UU yakni syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis harus pula menjadi pertimbangan penting oleh DPR sebelum UU COC benar-benar disetujui.

Ketiga, semua aparat penegak hukum (APH) harus dibekali tentang kode etik yang mereka harus pahami dan laksanakan. Ketika mereka bertugas, mesti diadakan evaluasi dan pendidikan berkala soal kode etik tersebut. Kalau di Jepang, sebagai contoh, untuk menjadi jaksa, hakim, atau advokat, maka mereka wajib menempuh pendidikan yang sama selama 1,5 tahun di Research Training Institute (RTI) di Mahkamah Agung Jepang. Kemudian, ada dewan komite yang nanti akan menentukan apakah seseorang lebih cocok jadi hakim, jaksa, atau advokat. Jadi modal awal mereka adalah sama, berbeda dengan kita.

Keempat, budaya hukum – sebagaimana dikemukakan Lawrence M Friedman—harus digalakkan di semua level termasuk di dalam masyarakat dan mesti menjadi bagian integral dari karakter masyarakat. Karakter, keutamaan moral dan perilaku ini penting dan menentukan kemajuan suatu bangsa sebagaimana dikemukakan filosof China Confucius (551-479 SM).

Kelima, memaksimalkan peran media massa. Jika media massa – terutama media massa nasional—juga sudah tidak peduli dengan suara-suara penegakan hukum dan keadilan dengan tidak lagi memuat berita dan tulisan tentang ketidakadilan di negeri ini, maka sudahlah kita tidak perlu lagi bicara tentang negara hukum dan keadilan. Sebab semuanya hanya akan sia-sia! Dan berarti kita akan terus memasuki gubangan dimana sesama anak bangsa hanya akan saling menelikung, saling menyandera, saling mengintai dan saling menjatuhkan! Kita hanya menunggu waktu kehancuran yang sempurna.

TM Luthfi Yazid, Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), Penasehat Hukum Calon Presiden RI dalam sengketa Pilpres tahun 2019 dan 2024 dan alumni University of Warwick, Inggris.

Editor Romo Kefas

error: Content is protected !!