Klikberita.net
penulis: ega mawardin zega.
EPISODE DUA
Matahari masih belum ada tanda-tanda ia dengan segera ke luar dari persembunyiannya yang apik di pagi yang penuh warna ini. Tetapi aku sudah berdiri di halaman samping rumah kos kami yang asri. Tak kulewatkan waktu yang ada, sambil bersiul-siul kecil nyanyikan lagu melankolis sekedar menghibur diri dalam melewati sepi yang tiba-tiba saja menggoda di subuh seperti sekarang ini. Aku coba dengan hati gembira mengusir rasa sepi dengan alunan musik lisanku yang kuciptakan di pagi ini.
Lagu-lagu melankolis jadi kegemaranku sejak dulu semasih remaja. Ia memberikan keteduhan di hati dan jadikan hidup tenang sekalipun hati merindu pada sesuatu. Itulah yang ada dalam pikiran saat ini ketika melantunkan lagu ini dalam angan-angan. Lagu-lagu jenis ini memang dapat membuat hati seakan melayang melampauhi mega-mega seirama syair yang muncul pada ingatan seketika.
Seperti pagi ini terlintas dalam pikiran tentang lagu Gelas-gelas Kaca, langsung saja lagu ini tanpa permisi muncul dalam siulan-siulan kecilku menemani waktu pagi yang masih sepi. Lagu itu menemani diriku pada kegiatan loncat-loncat tak beraturan hanya untuk sekedar memenuhi anjuran dokter agar dapat membetulkan bentuk tubuh yang terlihat semakin berkembang ke arah samping tak lagi sedap dipandang mata.
Aku berjingkrat-jingkrat kecil dan sesekali loncat terkadang tinggi dan kadang rendah tak ada memang aturan yang penting loncat, loncat dan loncat. Kata orang-orang rumah ini namanya olahraga ringan. Dulu hal ini bukanlah kebiasaanku, tetapi sejak divonis ada sedikit gula berlebih dalam tubuh, kulakukan juga tugas jingkrat-jingkrat ini sekenanya saja setiap pagi sebelum matahari muncul dipermukaan langit.
Mula-mula urusan jingkrak-jingkrak dilakukan dengan terpaksa. Kalau dihitung-hitung setengah hati pada awal niat itu dilaksanakan. Dipaksakan, diatur-atur tentu dengan setumpuk ancaman resiko yang mungkin akan terjadi kalau tak melakukannya. Lama-lama jadi biasa dan akhirnya menjadi kebiasaan yang teratur. Aku tertawa sendiri, ada kesesuaian dengan pepatah kuno di kampung dimana aku dulu dilahirkan, peribahasa lama kata para orang tua ala bisa karena biasa.
Sebelum minum air putih bersih yang rutin kulakukan setelah mengakhiri olahraga pagi, terlebih dahulu tubuh yang sudah basah keringat ini dikeringkan dengan handuk yang tergantung di leher. Air yang berasa asin tanpa garam segaja diundang untuk ke luar sebanyak-banyaknya sesuai anjuran dokter juga, katanya waktu itu banyak-banyak keluar keringat dari tubuh baru sehat namanya.
“Banyak olahraga dan usahakan berkeringat penting untuk jaga kesehatan tubuh,” katanya menerangkan pentingnya berolahraga.
“Sebanyak apa Dok?” Tanyaku.
“Sebanyak kamu bisa,” katanya singkat.
“Begitu ya?” Kataku menutup pembicaraan.
“Ya harus begitu.” Jawabnya singkat.
“Ooo,” kataku sekedarnya.
Udara pagi masih terasa dingin dan tubuh sudah terasa segar akibat jingkrat-jingkrat santai yang kulakukan sekalipun tak pernah teratur adanya. Peduli amat bagiku soal aturan senam yang penting ke luar keringat sesuai anjuran dokter. Memang terkadang pikiran tak masuk akal membuang air dari dalam tubuh dan memasukan kembali dengan air yang beda setelah acara membuang air selesai.
Hari masih subuh tak juga cepat berubah dari sejak tadi subuh. Sepertinya malam enggan benar berpindah dari tempatnya semula. Rasa gelap yang menemani dari tengah malam sudah berangsur-angsur hilang walau jejaknya masih ada membayang di halaman belakang rumah kos-kosan kami. Aku harus bersabar menunggu perubahan waktu pada pagi yang akan tiba dengan sempurna sebelum dapat melanjutkan kegiatan rutinku di pagi hari ini, mandi.
Waktu masih bergulir perlahan sekali dan aku masih terpaku pada pikiran pada hari yang belum subuh, kalau saja lampu yang menyorot ke taman tidak tiba-tiba mati aku mungkin tak menyadari perpindahan waktu. Dan lampu yang dipadamkan itu jadi tanda mengakhiri seluruh rangkaian acara jingkrat-jingkrat dan bergegas menuju ruang tengah melintasinya untuk kembali ke kamarku. Tanda-tanda itu kuperhatikan benar agar tak bermasalah dengan waktu yang bisa terbuang percuma dan dapat beresiko terlambat tiba di kantor.
Di dalam rumah pada pojok kamarku ada sebotol air ION sudah menunggu harus kuminum tandaskan sampai tuntas jangan sisakan sedikitpun, demikian dokter pernah menjelaskannya. Tak pernah tahu pasti sesungguhnya hubungan antara sebotol air ION dan anjuran dokter yang setengah memaksa itu berkaitan dengan kesehatan dan sakitku. Hematku ini mungkin hanya urusan kecil saja, maklum harga obat naik dan kata marketing sebagian andil kenaikan itu akibat dokter yang menuntut uang komisi.
Omong-omong tentang dokter, aku sesungguhnya paling tidak suka berurusan yang namanya dokter, khususnya dokter gigi. Sejak kecil memang tidak suka pada dokter gigi. Mereka masuk kategori aneh dalam benak kanak-kanakku saat itu, sebab saat gigiku sakit dipaksa tanggalkan katanya sih supaya bisa ganti yang baru, tetapi yang kurasakan sampai kini itu gigi tak pernah-pernah tumbuh lagi.
Umumnya dokter itu pelit sekali dalam bicara kalau berhadapan dengan pasien. Sudah bukan rahasia lagi dokter dimanapun sikapnya kaku walau sesekali diakui ada juga pengecualian tentunya. Itu memang pendapatku, entalah kalau banyak yang aminin dan berpendapat sama dengan aku.
Pernah merasakan hal demikian tidak mengenakan ketika tinggal di pedesaan yang jauh dari jangkauan. Dokter Puskesmas berikan kesan menggoreskan luka membekas pada hati. Digaji pakai uang negara maklum sebagai pegawai pemerintah. Kalau ada pasien masuk diutak-atik sebentar tak sampai satu menit sudah diminta ke luar lagi dengan membawa secarik kertas penuh coret-coretan yang tak pernah bisa dibaca mereka yang baru saja belajar membaca, maklum tulisan dokter hanya jelas jika menulis kuintasi.
Subuh belum berlalu dengan sempurna. Rumah masih saja sepi dari aktivitas. Tetapi aku sudah lakukan tugas bergeser-geser tempat ke beberapa bagian dalam rumah kos. Mulai dari kamar tidur, kamar tengah, dapur dan teras samping. Untungnya aku tak pernah berfikir menyelinap di kamar yang lain seperti kamar ibu kos yang cantik dan ayu. Kalau yang ini bercanda saja tak mungkinlah melakukan hal demikian. Kualat nantinya. Bisa-bisa jadi bahan olok-olok anak kos kalau ada yang tahu aku ada menyelinap di kamar induk semang kami.
Sejenak mampir di ruang tengah mainkan remote TIVI, menyetel saluran berita berharap dapat informasi yang membangun diri dan pikiranku terlebih untuk bangsa dan negaraku. Ahhh, lagi-lagi beritanya yang itu-itu saja tak pernah ada kemajuan. Presiden pidatolah tak berawal dan tak berujung, tak memiliki makna dan sukar dimengerti. Sialnya para pengamat politik ramai-ramai menterjemahkan gaya pidato presiden, bagaimana gerak bibirnya, gerak tangan bahkan model bajunya yang sederhana menjadi bahan perbincangan dan bukan pada isi pidatonya.
Aku tertawa menyaksikan semua itu. Uniknya berita TIVI gratis negeriku, antara pengamat dan politisi kadang saling cakar-cakaran dan saling merendahkan percis lakon anak teka kalau punya beda dalam berargumentasi. Tetapi pertengkaran itu hanya sebentar saja kemudian akrab kembali bagai tak pernah ada perbedaan pendapat di antara mereka. Politik memang aneh terkadang segala tindakan tak bisa diukur dengan akal sehat.
Hanya seperempat jam berikutnya aku sudah meninggalkan ruang tengah kembali ke kamar tidur terburu-buru rapikan ranjang tidur agar tidak terlihat berantakan. Menarik sprei panjang sekenanya agar tetap terlihat rapi dalam pandangan mata. Bergegas menyusun bantal, melipat selimut seadanya tak juga perlu rapi-rapi benget. Aku bukanlah tipe orang melankolis yang harus merapikan semuanya dengan teratur sesuai warna-warna yang ada. Seperti ini saja, cukuplah. *****
bersambung ke episode 3 dari 17 episode, minggu depan.
——————————————————————————————–
Mencintaimu Dalam Diam, terdiri dari tujuh belas episode, ditulis disela-sela kesibukan kegiatan Penelitian Desa Terpadu Perikanan di Malangrapat, Kabupaten Bintan, Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, tahun 2015.
Ega Mawardin lahir di Nias, tinggal di Jakarta adalah dosen Ilmu Komunikasi di beberapa perguruan tinggi swasta sampai tahun 2010, aktif di organisasi sosial kemasyarakatan sampai tahun 2021 dan saat ini melayani sebagai pendeta di Kota Gunungsitoli, Pulau Nias sejak tahun 2022.