MENCINTAIMU DALAM DIAM

MENCINTAIMU DALAM DIAM

Spread the love

Penulis: Ega Mawardin z.

Klikberita.net

EPISODE SATU

Tidak seperti biasanya hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Udara terasa masih dingin ketika menyentuh pada kulit lenganku yang kering. Hari masih sangat subuh untuk suatu beraktivitas. Mata sesungguhnya sangat terasa berat untuk dipaksa harus terbelalak di pagi yang masih burem seperti ini. Tetapi keinginan untuk bangun tidak dapat ditunda-tunda lagi, bukan karena rajin bangun pagi atau ingin pamer sebagai yang terbaik di pagi hari, tetapi terpaksa bangun sesuai perintah dokter untuk jaga-jaga diri. Walau aku sebenarnya semalaman aku tidak ada waktu untuk dapat tidur sedikitpun sampai jelang subuh, seluruh pikiran terkuras pada tugas kantor yang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi dalam mengelolah pekerjaan yang dititipkan pimpinanku untuk segera diselesaikan.

Hem, aku ini suka sombong kalau bicara dalam kata-kata, suka memakai istilah yang kadang kala menyusahkan teman-teman pembacaku. Konsentrasi tingkat tinggi apa pula artinya itu, padahal hanya untuk ungkapkan kata penuh perhatian yang sebenarnya sudah cukup diartikan dengan kata serius. Mirip pula cakapnya para anggota dewan yang selalu pakai istilah yang sulit dimengerti oleh rakyatnya. Tak apalah kalau hanya soal omong-omong dalam kata dan yang paling penting jangan ditiru kelakuan para anggota dewannya yang lebih banyak beda antara kata dengan perbuatan, kerjanya nyinyir melulu pada tiap kebijakan pemerintah.

Bolehkan sesekali menjadi rakyat yang cakap dan juga sombong, tidak ada yang melarang, bukan? Kalau hanya dikit-dikit tidak akan timbulkan masalah besar bagi negara, asal saja jangan mengganggu kepentingan umum terlebih kepentingan bangsa dan negara dan tidak melalaikan pekerjaan yang diemban sebagai pekerja profesional. Bicara kerja seperti yang aku lakukan semalaman, memang dipaksakan selesai dalam satu malam saja. Bagai roket melesat cepat melayang entah kemana, ngebut saling mendahului, mirip oplet yang blong remnya. Ingat pada tokoh Mandra yang bicara tanpa henti, nyerocos begitu saja bagai dikejar tayang produksi atau seumpama kenek metromini untuk ngejar target uang setoran.

Pekerjaan kadang diburu tergesa-gesa, bagai dikerjar kuntil’anak yang memang tidak pernah beranak, dikejar bajak laut lagi bersandar di tengah lautan. Nah, kalau istilah ini aku dapatkan dari cakapnya pejabat BIN waktu jaman Polikardus punya skandal pembunuhan tokoh HAM yang ikut menyeret nama pejabat negara walau sampai kini tak pernah tahu ujung akhirnya. Entah benar entah tidak, tidak pernah terungkap siapa aktor pembunuh sebenarnya.

“Ah, kau ini jangan banyak bicara, lebih baik diam. Ntar bisa hilang,” kata hatiku mengingatkan.

“Jangan ikut-ikut pada kerja politik, nanti jadi kacau bisa berujung jadi kambing hitam,” hatiku berkata begitu. Sebab dalam kenyataan pengalaman bercakap politik dapat menuai maut.

Hatiku memang unik, selalu berusaha untuk terus menolak ikut-ikutan dalam soal cakap politik. Maklumlah politik selalu diartikan sebagai pekerjaan kotor yang berbau busuk, itu kata sebagian orang yang tidak suka pada politik di negaraku. Bukankah politik selalu hasilkan kegaduhan yang menguras cukup banyak energi dalam bersoal jawab? Cukup sudah kegaduhan yang diciptakan anggota parlemen yang lagi ikut rame-rame masuk bui akibat nilep uang rakyat yang tidak pakai tega.

Kenapa juga harus bicara soal politik, tak ada manfaatnya bagiku saat ini. Coba saja lihat pejabat-pejabat hasil proses politik, aneh-aneh bicaranya. Kalau ada hal-hal yang ngak masuk akal dan tidak diterima oleh pikiran sehatnya, suka-suka saja omongnya dan langsung bilang: itu hasil kerja hantu belau.

Omong pejabat yang begini bolehlah ditiru dikit-dikit, asal ngak ngikut pada sifat korupsinya yang kebablasan tanpa malu, bangga dan senyum di depan kamera setelah di tangkap KPK. Kalau soal korupsi, pejabat kita jagonya, ngak pakai tega, tak pakai malu, apa lagi malu pada anak istri, malah kini ngajak istri dan anak-anak ikut bareng korupsi. Namanya korupsi berjemaat.

Kembali soal kerjaan yang baru dikerjakan, ini bisa juga disebut dikejar setan kuntil’anak yang beranak banyak. Ini juga istilahnya dari bang Opic komedian berkumis kepala botak kalau lagi manggung dalam Opera Van Java. Kerjaan kali ini tak pernah disangka datangnya dan celakanya harus dilaporkan pada besok pagi, ngak pakai terlambat, ngak pakai ntar, itu kalau mau selamat walau sebenarnya janjinya dulu harusnya lapor boleh pada minggu depan setelah week end.

Tiba-tiba saja jadwal berubah tanpa kompromi, tanpa permisi, tanpa tanya-tanya pada siapapun juga padaku yang berkepentingan ngurus kerjaan itu. Ternyata kerjaan hanya lewat pada Pak Bos saja permisinya, lainnya dicuekin juga aku dan teman satu tim.

“Rio, laporan itu harus diserahkan besok pagi-pagi benar.” Kata Pak Bos.

Aku kaget, jantungku tiba-tiba saja berdetak kencang ketika mendengar perintah mendadak ini. Pandanganku melayang kepada teman-teman satu tim, semua diam tak ada seorangpun yang berani protes akan hal ini.

“Ia Pak.” Jawabku singkat tanpa berbantah, dari pada mengundang maut di saat tak tepat seperti ini.

Begitu penjelasan Pak Bos kemarin pagi kepada kami, semua yang berdiri melongo terkaget-kaget. Ini perintah yang tak biasa dan muncul dalam waktu yang tidak tepat. Diantara teman-teman tak ada yang bertanya, tak ada yang protes seakan semua setuju dengan perintah itu. Dan aku yang kebagian tanggung jawab menyelesaikan semuanya. Seperti digigit kalajengki, tetapi tetap diam, bertahan untuk sementara.

“Tinggal poles dikit saja sudah jadi.” Kata Pak Bos singkat memerintahkan semua kami.

“Besok Pak Bos?” Tanyaku tentang waktu sekenanya saja asal bertanya.

“Ya, besok pagi, tidak pakai terlambat.” Jawabnya kaku dan selintas aku sempat lihat sedikit keningnya berkerut.

“Poles saja yang penting pas hasilnya dan lengkap.” Katanya berlalu begitu saja dari hadapan kami dan kami semua yang ikut metting hanya melongo seperti kebo yang hidungnya tersumbat tali kekang.

Aku membalik-balik halaman laporan yang ada dihadapanku sejenak, mempelajari dengan cepat agar faham yang mana yang akan dipoles. Sebagian teman yang tadi berdiri dihadapan Pak Bos pada bubaran meninggalkan aku sendirian seketika, takut kena getahnya kebagian kerjaan tambahan dari Pak Bos. Tentu saja dengan seuntai senyum di bibir masing-masing. Senyum berbangga dapat selamat dari penugasan karena bukan mereka yang kebagian kerjaan kali ini.

“Hem, apanya yang dipoles, ini mah ngerubah total.” Kataku dalam hati, kesal. Aku hanya berani ngegundel tak berani berkomentar langsung pada Pak Bos.

“Gimana Rio, pas ngak hitung-hitungnya itu.” Tiba-tiba saja Dian Utami Caniago bertanya padaku. Ia masih berdiri dihadapanku. Ia satu-satunya yang masih memberi perhatian pada tugas yang diberikan padaku dan tidak menghindar apalagi melarikan diri dari hadapan Pak Bos.

“Apanya yang pas?” Jawabku tanpa menoleh sedikitpun padanya. Aku masih asyik membalik-balik berkas laporan itu.

“Laporannya kan itu tinggal poles, kata Pak Bos tadi.” Dian Utami Caniago masih saja bertanya padaku. Apakah anak itu sekarang ini sedang meledek atau benar-benar memang memberikan perhatian pada pekerjaan ini, tanya muncul tiba-tiba saja dalam hatiku seketika.

Rupanya gadis kelahiran Padang Panjang itu ternyata memang menaruh kasihan padaku atas pekerjaan yang diserahkan sepenuhnya untuk aku sempurnakan. Mungkin sebenarnya mau membantu, tetapi ia juga punya kerjaan yang cukup banyak harus dilaporkan bersamaan dengan laporanku besok pagi.

“Apanya yang dipoles, ini mah dirubah total.” Kataku jengkel.

“Udah ubah saja semua, ntar aku ikut bantu hitung-hitungannya.” Dian menawarkan bantuan.

“Oke, itu baru namanya teman, teman sejati. Tak meninggalkan orang dipintu kematian,” kataku senang menerima tawaran bantuannya. Dian dan aku tertawa lepas sekalipun kami masih menyimpan rasa kesal pada Pak Bos, apalagi aku. Aku lega karena ada orang yang mau juga membantuku jika nantinya menemui jalan buntu dalam menyelesaikan tugas tak bertuan ini.

Pastinya belum tahu tentang Pak Bos kami dan tabiatnya? Jangan banyak tanya-tanya. Orangnya memang terkadang bagai topan badai dalam berkata, bagai palu godam kalau marah. Tapi kalau soal bekerja, tak beda dengan bludozer, ratakan semua halangan, tak mengenal kekurangan dan tahunya hanya satu kata beres dan berhasil.

Pak Bos orang yang tak mengenal kata tidak, apalagi ntar, nanti dan besok-besok. Tidak juga menyukai kata sejenis yang setara dan bertujuan menunda pekerjaan sedikitpun atau hanya untuk sekedar menggeser pada waktu untuk menyelesai-kannya. Kalau itu yang terjadi sama saja bunuh diri namanya, masuk jurang maut dan itu sama artinya tinggal menunggu pesangon tiga bulan ke depan. Menurut Pak Bos semua asistennya adalah orang-orang pilihan yang terbaik, orang yang terlatih dan yang sanggup mengerjakan sesuatu dalam sesaat.

Dasar Bos separoh gila, itu julukan dari kami para staf pada pimpinan yang gila kerja itu. Kalau saja gila benaran betapa bahayanya kami semua, bisa saja semua ikut jadi gila seperti Pak Bos.

“Janganlah dulu Pak Bos gila benaran, nanti semua bakal rugi.” Itu kata Saiful yang menolak Pak Bos disebut setengah gila, alasannya satu saja kalau Pak Bos jadi gila, siapa nanti yang membayar gaji kita? Bisa-bisa semua bakalan nganggur lagi seperti tiga tahun lalu gara-gara salah order pekerjaan dan Pak Bos masuk rumah sakit, untung masih dapat disembuhkan linglungnya dan kita kebagian sial memilih pengurangan gaji atau ke luar.

Aku mengamini pendapat Syaiful sahabatku. Lebih baik kerjakan tugas sebisanya dan juga sesanggupnya. Pak Bos itu orang yang tak pernah berfikir panjang-panjang, dikiranya semua pegawainya tukang sulap, pemain sirkus, juru masak cepat saji, pesan sejenak duduk-duduk dan itu makanan sudah muncul di depan hidung.

Karena tidak ingin tidak disebut sebagai orang pilihan, terpaksa berlama-lama dan main-main juga dengan setumpuk kertas kerja. Diucek-ucek sampai pantat terasa panas bagai berada di atas bara. Puji Tuhan akhirnya tanggung jawab yang harus ditang-gung di atas bahu ini selesai juga jelang subuh.

Hari masih subuh itu ukuran kami anak-anak penghuni rumah kos yang belajar hidup di rumah yang separoh penuh barang antik itu. Hari terlihat samar-samar menuju pada pagi dari kamar yang letaknya paling samping di bagian sebelah luar rumah utama. Udara dingin bergerak perlahan sesekali melintas dalam kegelapan. Sepertinya angin pagi masih sangat hati-hati untuk menyampaikan salam, sepertinya angin yang datang ini tak ingin kehadirannya mengganggu orang-orang yang masih terlelap dalam mimpi-mimpi.

Aku saja yang sudah bangun lebih dulu dari semuanya, bergerak perlahan melintas gang dekat jendela kamar yang terbuka dan melangkah terus ke arah meja belajar menuju pintu samping dengan langkah-langkah lebih cepat dari biasanya. Pagi ini harus melaksanakan anjuran dokter jaga untuk selalu berolahraga dan itulah tujuanku bangun sepagi ini sekalipun hampir tidak tidur semalaman.

Dingin langsung menerpa dan menyapu permukaan kulitku yang halus kala kujejalkan kakiku di bagian luar rumah menuju halaman samping. Sejuk dan dingin yang kurasakan disekujur tubuhku, begitu menyegarkan. Rasa dingin itu menampar hamparan kulit dengan lembut mengelus halus permukaan wajah yang masih terasa lelah. Angin subuh terasa menembus pada tulang sampai ke dalam relung hati yang terdalam berdetak sangat teratur di pagi buta pada hari yang sungguh indah ini.

Pagi yang sejuk dalam kesegaran jiwa yang menerpa memberi semangat bagi hati yang masih terus saja bergelora mengikuti darah orang muda. Semangat memang harus selalu dipompa untuk mengejar setumpuk rangkaian cita-cita yang telah dibangun jadi harapan yang ingin digapai. Jiwa yang bergelora menjadi pendorong untuk selalu optimis dalam bekerja, juga pada hari ini sekalipun masih terasa lelah.

Mata memang harus selalu dipaksakan untuk terbelalak agar tak tertidur kembali di halaman samping rumah tempat tinggal aku ngekos selama ini. Mata harus tetap dibelalakkan begitulah cara bangun paling praktis menurut catatan kuliah subuh Om Qomar yang terdengar menggema di saat-saat subuh tiba waktu untuk sembayang berjemaah.

Pidato Om Haji itu sudah biasa bagiku, bahkan sangat terbiasa dibangunkan dengan ceramah yang terkadang pada mulanya tak jelas ujung dan pangkalnya dan pada akhir ceramahnya selalu aku tahu dan juga kuamini pada anjuran berbuat baik dan ikut sembayang berjemaah pasti ada pahalanya. Nikmati sajalah dengan ceria dan senyum, cerita apapun akan jadi baik kalau hati menerimanya dengan tulus dan ikhlas seperti kata penutup ceramah Om Haji pasti akan ada pahalanya.

Begitu juga pada kuliah subuh Om Qomar yang terkenal dalam menerangkan isi ceramah yang sedikit pedas-pedas dan aku selalu berkesempatan mendengarnya, tentu dengan hati tulus sekalipun terkadang juga menyinggung rasa, tetapi lihat saja sisi positifnya pasti akan selalu menyenangkan dalam hati.

Kini subuh sudah benar-benar tiba dengan baik. Ceramah pagi yang nongol hari ini bagai alaram hidupku sesuai waktu, tanpa harus diprogram. Itulah sebagian kisahku ketika memasuki hari yang baru pada subuh yang juga baru bagiku. Memasuki hari baru yang pasti akan selalu menggembirakan dan menyenangkan hati di pagi hari ini. Itu menurutku, hari baru, kehidupan yang baru. Semoga saja.*****

bersambung ke episode 2 dari 17 episode, minggu depan.

——————————————————————————————————

Mencintaimu Dalam Diam, terdiri dari 17 episode, ditulis disela-sela kesibukan kegiatan Penelitian Desa Terpadu Perikanan di Malangrapat, Kabupaten Bintan, Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015.

Ega Mawardin lahir di Nias, tinggal di Jakarta adalah dosen Ilmu Komunikasi di beberapa perguruan tinggi swasta sampai tahun 2010, aktif di organisasi sosial kemasyarakatan sampai tahun 2021 dan saat ini melayani sebagai pendeta di Kota Gunungsitoli, Pulau Nias sejak tahun 2022.(***) 

error: Content is protected !!