Bogor – Pada tanggal 8 Agustus 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyampaikan pernyataan yang memicu kontroversi mengenai tanah warisan yang tidak dimanfaatkan. Pernyataan ini sontak menuai reaksi keras dari publik karena dianggap meremehkan hak milik rakyat serta melukai nilai historis dan emosional terkait tanah warisan.
Pernyataan Nusron Wahid mengenai tanah warisan yang tidak dimanfaatkan dan dapat diambil alih oleh negara secara tegas bertentangan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa tanah warisan yang tidak dimanfaatkan dapat diambil alih oleh negara tanpa proses hukum yang jelas dan adil.
Pernyataan Nusron Wahid juga menyesatkan karena dapat menimbulkan kesan bahwa tanah warisan yang tidak dimanfaatkan dapat diambil alih oleh negara tanpa proses hukum yang jelas dan adil. Hal ini dapat memicu ketidakpastian hukum dan mengganggu hak-hak masyarakat atas tanah warisan.
Pernyataan ini juga berpotensi menggiring opini bahwa negara dapat melakukan kebijakan yang mendzolimi rakyatnya sendiri. Jika pernyataan ini tidak diklarifikasi dengan baik, maka dapat menimbulkan kesan bahwa negara tidak peduli dengan hak-hak masyarakat dan hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Pribahasa Jawa “Alas Mbahmu, Omahmu” dan pribahasa Minahasa “Tambu-tambuwo, pala’ mataluhu” menggambarkan pentingnya tanah sebagai warisan leluhur, tempat bernaung, sumber kehidupan, dan identitas masyarakat. Pernyataan Nusron Wahid ini berpotensi mengancam hak-hak masyarakat atas tanah warisan dan memisahkan mereka dari sumber kehidupan mereka.
Jadi lahan tanah yang merupakan warisan leluhur dan sumber kehidupan masyarakat harus dilindungi dan dihormati. Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid pada tanggal 8 Agustus 2025 mengenai tanah warisan yang tidak dimanfaatkan telah memicu perdebatan sengit di masyarakat. Oleh karena itu, kami menyerukan kepada semua pejabat di Indonesia untuk lebih bijak dalam membuat pernyataan dan kebijakan, serta memastikan bahwa hak-hak masyarakat tetap terlindungi dan dihormati. Jangan biarkan pernyataan sembrono memicu kegaduhan dan keresahan di masyarakat! Pejabat harus lebih bertanggung jawab dan berhati-hati dalam membuat pernyataan yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Oleh Kefas Hervin Devananda
Ketua LKBH PEWARNA INDONESIA || Ketua Presidium FORMAKSI