Jakarta – Usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto kembali membuka perdebatan tentang warisannya bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, tak dapat dipungkiri bahwa era kepemimpinannya ditandai dengan pembangunan infrastruktur yang signifikan dan stabilitas ekonomi yang relatif terjaga. Namun, di sisi lain, bayang-bayang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sistematis dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela masih menghantui memori kolektif bangsa. “Jer basuki mawa béya,” sebuah peribahasa Jawa yang mengingatkan bahwa setiap keberhasilan besar membutuhkan pengorbanan. Pertanyaannya, apakah pengorbanan yang dituntut di era Orde Baru sepadan dengan “keberhasilan” yang diklaim, dan apakah pengorbanan itu ditanggung secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat?
Literasi sejarah seharusnya membimbing kita untuk menimbang kedua sisi warisan Soeharto secara objektif. Mengacu pada data Komnas HAM, terdapat setidaknya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru yang belum terselesaikan (https://www.komnasham.go.id/), termasuk Tragedi 1965-1966 (estimasi korban jiwa mencapai 500.000 hingga 3 juta jiwa), Peristiwa Tanjung Priok 1984 (puluhan korban tewas), dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998 (13 aktivis masih hilang hingga kini). Pelanggaran HAM berat ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak setiap orang untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan mendapatkan keadilan.
Di sisi lain, pendukung Soeharto seringkali menunjuk pada keberhasilan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, waduk, dan industrialisasi, sebagai bukti jasa-jasanya. Namun, “Sepi ing pamrih, rame ing gawé,” seharusnya menjadi tolok ukur sejati kepahlawanan, yaitu berbuat tanpa pamrih, melainkan demi kepentingan rakyat. KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat ribuan kasus penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat negara selama masa Orde Baru (https://kontras.org/), yang menunjukkan bahwa pembangunan tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh warga negara. Tindakan ini jelas melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Analisis kritis mengungkap bahwa usulan ini bukan hanya soal menghargai jasa, melainkan juga memiliki dimensi politik yang kompleks. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada akhir era Orde Baru (1998) hanya mencapai skor 20 (dari skala 0-100), menunjukkan tingkat korupsi yang sangat tinggi (Transparency International, https://www.transparency.org/). Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian negara akibat korupsi di masa Orde Baru mencapai puluhan hingga ratusan miliar dolar AS (World Bank, “https://www.worldbank.org/”). Praktik KKN ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. “Satunggaling lara, lara kabeh,” mengingatkan kita bahwa dampak korupsi tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang, melainkan oleh seluruh bangsa.
Keputusan untuk memberikan atau tidak memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto harus didasarkan pada pertimbangan yang matang, dengan menghormati fakta sejarah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan secara jelas mengatur kriteria pemberian gelar kepahlawanan, yang meliputi integritas moral, jasa yang luar biasa bagi bangsa dan negara, serta tidak pernah melakukan tindakan tercela. “Becik ketitik, ala ketara,” mengingatkan bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap.
Oleh karena itu, mari kita jadikan momentum ini sebagai ajang refleksi nasional untuk menimbang warisan Soeharto secara jujur dan adil. Keputusan yang kita ambil akan mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung tinggi sebagai bangsa dan akan memengaruhi arah masa depan Indonesia. “Memayu hayuning bawana,” adalah semangat yang harus kita kedepankan dalam setiap langkah kita, yaitu berupaya untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
(Romo_Kfs)

