MENJAGA RASIONALITAS KONSTITUSIONAL: MENYIKAPI ISU PEMAKZULAN WAKIL PRESIDEN

MENJAGA RASIONALITAS KONSTITUSIONAL: MENYIKAPI ISU PEMAKZULAN WAKIL PRESIDEN

Spread the love

Jakarta,- Klikberita.net

Belakang ini beredar wacana di ruang publik mengenai pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih. Menanggapi hal ini, penting untuk mengedepankan rasionalitas konstitusional. Pemakzulan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukanlah instrumen politik semata, melainkan mekanisme hukum yang ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945. Konstitusi mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta apabila dinilai tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.

Proses pemakzulan pun tidak sederhana. Harus ada terlebih dahulu usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran tersebut. Hanya jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran, barulah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat bersidang untuk memberhentikan secara resmi.

Artinya, pemakzulan bukan keputusan politis semata, melainkan hasil dari serangkaian proses hukum dan politik yang memiliki standar pembuktian yang ketat.

Dalam konteks Gibran Rakabuming Raka, hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa ia melakukan pelanggaran konstitusional sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945. Benar bahwa proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka memang menjadi kontroversi besar, terutama setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia calon Presiden/Wakil Presiden. Drama ini semakin memanas karena Ketua MK saat itu (Anwar Usman, yang juga paman Gibran) dinyatakan melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Akan tetapi dari perspektif konstitusi, perdebatan soal proses pencalonan itu bukan dasar langsung untuk memakzulkan Wakil Presiden terpilih. Pemakzulan berdasarkan Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 hanya dapat dilakukan jika seorang Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dikemukakan di atas. Artinya, yang dipersoalkan dalam pemakzulan adalah tindakan pribadi dari Presiden atau Wakil Presiden, bukan permasalahan administratif atau etis dalam pencalonan sebelum menjabat.

Kalaupun pencalonannya dianggap cacat, itu lebih tepat diselesaikan melalui sengketa pemilu di MK, bukan melalui mekanisme pemakzulan. Jalur hukum atas pencalonan Gibran Rakabuming Raka sudah di tempuh melalui Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK, dan MK telah memutuskan. Demikian juga pelanggaran etik di MK telah ditindak, tetapi tidak otomatis membatalkan Putusan MK tentang usia Capres-Cawapres. Pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka hanya mungkin jika setelah menjabat ia melakukan pelanggaran hukum, bukan atas dasar kontroversi pencalonan.
Hanya karena ketidakpuasan terhadap proses pencalonan atau hasil Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) tidak dapat dijadikan dasar untuk memaksakan pemakzulan. Perkara etik Ketua MK dan dugaan keberpihakan dalam Putusan MK tentu masalah serius, dan memang bisa dikritik keras.

Namun, dalam konstruksi konstitusi, itu tidak otomatis menggugurkan legalitas pencalonan Gibran Rakabuming Raka secara langsung, apalagi tidak otomatis menjadi alasan hukum untuk pemakzulan setelah dia menjabat. Isu ini bila tidak diletakkan dalam kerangka konstitusional yang tepat justru dapat melemahkan stabilitas demokrasi dan memperburuk iklim politik nasional.

Dengan kata lain, kritik terhadap proses pencalonan sah dan penting sebagai bentuk kontrol demokrasi. Tetapi, pemakzulan Gibran Rakabuming Raka tetap harus tunduk pada syarat konstitusional yang ketat. Jika tidak ditemukan tindakan pribadi Gibran Rakabuming Raka yang memenuhi unsur Pasal 7A, maka pemakzulan tidak berdasar hukum, dan justru berpotensi memperkeruh konsolidasi demokrasi pasca pemilu.

Demokrasi yang sehat tidak hanya berbicara soal perbedaan pendapat, tetapi juga soal penghormatan terhadap hasil pemilu yang sah dan prinsip-prinsip ketatanegaraan. Ketidakpuasan dalam demokrasi semestinya disalurkan melalui mekanisme konstitusional yang telah tersedia, seperti constitutional review, penyelesaian di Mahkamah Konstitusi, atau persaingan sehat dalam pemilu berikutnya, bukan dengan wacana yang mengabaikan prinsip hukum dan mekanisme konstitusi. Dalam demokrasi konstitusional, kehendak politik harus selalu dikendalikan oleh logika hukum dan konstitusi, dan tidak boleh didikte oleh emoasi atau ketidakpuasan politik semata.

Lagi pula, wacana pemakzulan tanpa dasar hukum yang kuat juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara, memperuncing polarisasi sosial, serta mengalihkan energi bangsa dari agenda-agenda penting seperti penguatan ekonomi dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, semua pihak hendaknya menahan diri dan tidak menggunakan isu pemakzulan sebagai alat politik pragmatis, melainkan berkomitmen menjaga supremasi konstitusi dan keadaban demokrasi. Penting bagi semua anak bangsa untuk menahan diri, mejaga rasionalitas, dan mengedepankan penyelesaian setiap persoalan melalui jalur konstitusional yang sah.

Menjaga rasionalitas konstitusional berarti memastikan bahwa setiap tindakan politik berpijak pada prinsip negara hukum, bukan sekadar pada kalkulasi kekuasaan jangka pendek. Indonesia membutuhkan keteguhan untuk menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama dan bintang pemandu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya dengan cara yang demikian diyakini bahwa stabilitas politik dan pemerintahan dapat tetap terjaga, serta demokrasi kita dapat terus tumbuh dalam koridor konstitusi (demokrasi konstitusional) dan etika publik yang sehat, serta memperkuat bangunan negara hukum yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. [*]

Oleh: Dr. Bachtiar Pengajar HTN-HAN Fakultas Hukum Universitas Pamulang

error: Content is protected !!