Oleh: Kefas Hervin Devananda (Jurnalis, Senior Pewarna Indonesia )
Bogor,25 Desember 2025 Saya pernah mendengar kata-kata dari seorang nenek Sunda tua: “Hidup itu kayak jalan raya — ada yang lebar, ada yang sempit, tapi yang penting adalah kita tidak pernah lupa untuk menoleh ke samping dan mencium bau bunga yang tumbuh di tepi jalan.” Filosofi itu selalu bergema di hati saya sebagai jurnalis — sampai saya menyadari bahwa Natal adalah momentum yang paling indah, di mana setiap langkah kita diiringi oleh “bunga” silahturahmi yang menghangatkan hati.
Di tengah keragaman agama, budaya, dan latar belakang yang membuat Indonesia seperti kain batik yang kaya corak, Natal tidak hanya menjadi hari perayaan bagi umat Kristen. Lebih dari itu, ia adalah “momentum rasa” — waktu di mana kita merasakan kehangatan kasih, persatuan, dan keasahan sebagai sesama anak bangsa. Semua ini bahkan selaras dengan filosofi kearifan lokal budaya Sunda, firman Tuhan dalam Alkitab, dan juga semangat Konstitusi Indonesia yang mengutamakan persatuan, keadilan, dan rasa kekeluargaan. Seperti yang tertulis dalam Mazmur 133:1: “Betapa baik dan menyenangkannya bila umat Tuhan hidup bersama dalam kesatuan!” — sebuah pesan yang sejalan dengan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Sebelum membahas pesan-pesan hangat yang diterima, penting untuk kita ingat bahwa semangat silahturahmi di Bogor — sebagai bagian dari Tatar Sunda — sangat dipengaruhi oleh filosofi sunda yang kuat, yaitu “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh” dan “Sabilulungan”. Nilai-nilai ini persis dengan apa yang diajarkan dalam Alkitab dan juga tertuang dalam konstitusi kita, menjadikannya dasar yang kuat untuk silahturahmi di momentum Natal.
– “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh” artinya saling mengasihi, saling mengasah (belajar), dan saling mengasuh. Ini mencerminkan Roma 12:9-10: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Selain itu, nilai ini juga sejalan dengan Sila Kedua Pancasila (“Kemanusiaan yang adil dan beradab”) dan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali nya” — menegaskan persamaan hak dan kewajiban tanpa diskriminasi.
– “Sabilulungan” berarti kerja sama, saling menolong, dan persatuan yang kuat. Seperti yang tertuang dalam lirik lagu Sunda terkenal: “Sabilulungan, tulung tinulungan, kukuh persatuan” — nilai ini sejalan dengan Ibrani 10:25: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” Dan juga sesuai dengan Sila Ketiga Pancasila (“Persatuan Indonesia”) serta Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan: “negara indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik” — memperkuat kesatuan bangsa meskipun beragam.
Ada juga peribahasa Sunda “Kawas Gula Eu jeung Peu Eut” yang berarti hidup harus rukun saling menyayangi, tanpa pernah berselisih. Ini selaras dengan 1 Yohanes 4:11: “Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi” dan Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain — dasar dari kerukunan sosial di momentum Natal. Semua nilai ini menjadi pondasi yang membuat Natal menjadi ajang silahturahmi yang tulus dan penuh makna.
Tahun ini, momentum silahturahmi Natal semakin terasa hangat dengan pesan-pesan yang diterima dari berbagai tokoh, Ustad, rekan, dan sahabat di Bogor, termasuk saya dan keluarga — semua yang mencerminkan nilai kearifan lokal Sunda, ayat Alkitab, dan semangat konstitusi:
Pertama, pesan dari Walikota Bogor Dedie A Rachim:
Romo & Keluarga Tercinta,
Selama Merayakan Hari Natal.
Semoga Damai dan Kasih Tuhan Selalu Menyertai Kebahagiaan Bersama Keluarga.
Salam Hormat,
Dedie A Rachim
Kemudian, pesan dari KH Tatang Salam:
Sejahtera Buat Kita Semua
Kepada Sodara-sodara ku/Sahabat-sahabat ku yg Beragama Nasrani Selamat Merayakan Natal Dan Tahun Baru Semoga Tuhan YME Selalu Melimpahkan Berkah Nya….
Selain itu, Ustad yang saya kenal dari masjid terdekat juga mengucapkan selamat Natal melalui pesan di grup WhatsApp lingkungan: “Selamat Natal bagi saudara-saudara Nasrani. Semoga hari ini penuh dengan damai dan kebahagiaan untuk semua keluarga. Kita tetap satu keluarga bangsa yang saling mencintai.” Kata-katanya jelas mencerminkan nilai “Silih Asih” dan 1 Yohanes 4:20: “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Selain itu, pesan ini juga mencerminkan Sila Pertama Pancasila yang mengajarkan saling menghormati antar agama, seperti yang dijamin oleh Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
Bahkan, rekan kerja dan sahabat yang berasal dari berbagai agama juga tidak ketinggalan — mereka datang ke kantor atau rumah dengan bunga dan kue, sambil mengucapkan “Selamat Natal” dan berbagi waktu bersama. Satu rekan kerja saya yang beragama Buddha berkata: “Natal adalah waktu untuk bersukacita bersama, jadi saya ingin ikut merayakan denganmu, sahabat.” Ini adalah wujud nyata dari “Kawas Gula Eu jeung Peu Eut” dan Mazmur 55:14: “Sungguh persahabatan yang baik yang pernah kami nikmati saat kami berjalan bersama menuju rumah Tuhan.” Juga sesuai dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi jiwa persatuan bangsa di momentum Natal, selaras dengan konstitusi.
Pesan-pesan ini bukan hanya ucapan perayaan, tapi juga simbol silahturahmi kebangsaan dari pemimpin, tokoh agama, Ustad, rekan, dan sahabat kepada satu sama lain — yang semua selaras dengan filosofi kearifan lokal Sunda, ayat Alkitab, dan semangat Konstitusi Indonesia. Banyak warga yang membagikan semua pesan ini di media sosial, dan semuanya merasa diterima dan disayangi sebagai bagian dari satu keluarga bangsa di tengah momentum Natal.
Yang paling menakjubkan dari silahturahmi di momentum Natal adalah bagaimana ia melampui batasan agama, dengan dukungan dari nilai kearifan lokal Sunda, ayat Alkitab, dan semangat konstitusi. Di lingkunganku di Bogor, saya melihat hal ini terjadi setiap tahun:
– Warga Muslim datang mengunjungi tetangga Kristen dengan membawa kue, nasi, atau hadiah kecil, sambil mengucapkan “Selamat Natal” dan mengutip nilai “Sabilulungan” serta Mazmur 133:1 sebagai bukti semangat persatuan — selaras dengan Sila Ketiga Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945.
– Umat Kristen mengembalikan kebaikan itu dengan mengunjungi tetangga dari agama lain di hari-hari perayaan mereka, mencerminkan “Silih Asuh” dan Ibrani 13:1: “Pelihara lah kasih persaudaraan!” — sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945 yang mengajarkan penghormatan hak asasi manusia.
– Komunitas kita mengadakan berbagai kegiatan bersama di sekitar momentum Natal — makan bersama, berbagi bantuan, dan bertukar cerita — semua warga tanpa memandang agama, dijiwai oleh “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh” dan Roma 12:10 — serta semangat Sila Kedua Pancasila yang mengutamakan kemanusiaan yang adil.
Saya rasakan bahwa “Natal adalah Momentum di Mana Kita Semua Anak Bangsa dapat bersilaturahmi dalam rangkaian kebangsaan. Ini membuktikan bahwa silahturahmi kebangsaan di momentum Natal adalah fenomena yang meluas.
Momentum Natal juga menjadi ajang silahturahmi yang berwujud tindakan nyata untuk sesama anak bangsa, yang diilhami oleh nilai “Sabilulungan” dari budaya Sunda, ayat Alkitab, dan semangat konstitusi. Di waktu Natal tahun lalu, komunitasku — bersama Ustad, rekan, dan sahabat — mengadakan kegiatan bersama:
– Mengumpulkan makanan, pakaian, dan uang bantuan untuk warga yang kurang mampu — tanpa memandang agama mereka.
– Membantu memperbaiki rumah tetangga yang rusak, baik yang beragama Kristen maupun bukan.
– Mengadakan kelas baca tulis untuk anak-anak di lingkungan, diajarkan oleh Ustad, rekan, dan sahabat dari berbagai latar belakang pekerjaan.
Semua ini dilakukan dengan sukarela sebagai bentuk kepedulian dan kebersamaan — wujud nyata dari “Sabilulungan” dan 3 Yohanes 1:5: “Saudaraku yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing.” Juga sesuai dengan Sila Kelima Pancasila (“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”) dan Pasal 33 UUD 1945 yang mengutamakan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan untuk kemakmuran bersama.
Untuk saya sebagai jurnalis, silahturahmi di momentum Natal adalah bukti bahwa persatuan Indonesia bukan hanya kata-kata. Ini adalah kenyataan yang hidup, yang terlihat dari tindakan kecil setiap orang, pesan hangat dari pemimpin serta tokoh agama kita, dan semuanya dijiwai oleh filosofi kearifan lokal budaya Sunda, firman Tuhan dalam Alkitab, dan semangat Konstitusi Indonesia. Pesan Natal yang saya kenal — “karena begitu besar kasih Tuhan akan dunia ini” — kini bagi saya juga berarti kasih yang besar kepada sesama anak bangsa, yang selaras dengan 1 Yohanes 4:7: “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.”
Ketika saya merenungkan semua yang terjadi di momentum Natal tahun ini, melihat warga, Ustad, rekan, dan sahabat yang berbeda agama dan budaya saling memberi, saling mencintai, dan saling menghormati, saya menyadari: Natal adalah momentum silahturahmi yang mengukuhkan keasahan kita sebagai bangsa — dan nilai kearifan lokal Sunda, ayat Alkitab, serta semangat Konstitusi Indonesia adalah pondasi yang membuatnya tetap kuat. Di sinilah keindahan keragaman Indonesia terwujud — dalam saling kasih dan persatuan, sesuai dengan apa yang kita janjikan dalam dasar negara kita.
“Selamat Natal dan Tahun Baru bagi yang merayakan — dan selamat hari silahturahmi bagi semua sesama anak bangsa, Ustad, rekan, dan sahabat. Semoga Damai, Kasih Tuhan, dan Berkah Tuhan YME selalu menyertai kita semua, nilai kearifan lokal Sunda tetap hidup dalam hati kita, firman Tuhan selalu menjadi pedoman kita, dan semangat Konstitusi Indonesia selalu menguatkan persatuan dan keadilan kita di setiap momentum hidup. Haleluya!!! Amin.”
Profil Penulis adalah jurnalis berbasis di Bogor yang juga merupakan rohaniawan dari salah satu Sinode Gereja di Indonesia. Ia berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya bercampur: Sunda, Manado, Tionghoa, dan Betawi — latar belakang ini menjadikannya memiliki wawasan mendalam tentang keragaman Indonesia dan pentingnya silahturahmi antar suku. Ia telah mengembangkan keahlian penulisan melalui pengalaman kerja langsung di bidang pers dan media sejak tahun 2005, dan aktif menulis tentang tema kerukunan sosial, kearifan lokal, dan peran agama dalam membangun persatuan bangsa. Tulisannya telah diterbitkan di berbagai media online lokal dan nasional, dengan fokus pada cerita-cerita nyata yang menunjukkan keindahan keragaman Indonesia.”

