Rentan dengan kerapuhan,
Terjatuh oleh kegagalan,
Tersayat, terluka tak berdaya,
Aku hanya manusia yang tentu sosok pemimpi,
Namun, terkadang mimpi tak selalu indah
***
Aku berjalan gontai sambil memeluk buku-buku tebal yang selalu menemani hari-hariku. Aku selalu datang paling pagi di sekolahku. Aku menyusuri koridor kelas yang masih lengang. Sesampainya di kelas, aku mengucapkan salam di dalam hati meskipun tak ada siapa-siapa di kelasku. Aku menurunkan kursiku yang masih bertengger di atas meja. Aku membuka tasku, lalu mengambil buku kumpulan soal-soal UN dan SBMPTN beserta buku tulis yang berisi coretan-coretan soal yang telah aku selesaikan.
Aku masih menggerakkan tanganku untuk menyelesaikan soal-soal yang cukup rumit dan terkadang membuat keningku berkerut. Ini terjadi terus-menerus, berulang kali, seperti kebiasaanku berhari-hari semenjak aku mulai menginjakkan kaki di kelas 12. Kelas 12, akhir masa dimana kita merasakan seragam sekolah. Di penghujung dimana kita tidak dapat bermain-main lagi, karena masa depan sudah siap untuk diraih.
Aku, Ratu Berliani. Aku mempunyai mimpi yang sangat kuat sekali. Tidak ada satu pun yang bisa menggoyahkan mimpiku. Tujuan hidupku adalah mendedikasikan diriku untuk masyarakat, untuk orang lain. Aku ingin sekali berguna untuk orang lain. Impianku ingin menjadi seorang dokter. Awalnya aku ingin menjadi dokter karena ibuku didiagnosa terdapat kista di rahim beliau. Aku membaca banyak buku tentang kesehatan, mencari obat herbal yang baik untuk menyembuhkan ibuku. Setelah itu, aku berjanji ingin menjadi dokter spesialis kandungan dan menyembuhkan ibuku.
Ketika aku memasuki masa putih abu-abu, aku sering menonton acara tv yang menyangkut tentang dunia kesehatan yang terjadi di negeri ini. Pelayanan kurang baik yang diberikan rumah sakit. dan yang membuatku semakin bulat ingin menjadi dokter adalah setelah menonton salah satu acara tv yang membahas tentang daerah pelosok yang fasilitas kesehatannya tidak cukup baik. Kekurangan tenaga kesehatan, bahkan puskesmas di daerah tersebut berdebu dan sudah dipenuhi sarang laba-laba. Hatiku tergerak, hal ini menyentuh hatiku yang paling dalam.
Aku ingin menjadi dokter relawan, rela ditugaskan di daerah terpencil, lalu menolong masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Keinginanku simpel. Setelah lulus, aku hanya ingin menjadi PNS, membiarkan negara saja yang menggajiku. Lalu, impianku berkelanjutan ingin menjadi pendiri sebuah rumah sakit, dimana penghasilan yang didapat akan aku jadikan beasiswa untuk generasi muda yang ingin masuk kuliah kedokteran tetapi kurang mampu. Aku sangat berharap, impianku bisa terwujud.
***
Aku seperti biasanya sedang mendengarkan teman-temanku berkeluh kesah. Keluh kesah kebimbangan mereka ingin melanjutkan kuliah dimana dan di jurusan apa. Aku dengan sabar mendengarkan kata-kata yang terlontar dari mulut mereka, terkadang mereka terlihat lelah karena berpikir keras memikirkan apa potensi mereka, apa minat mereka dan apa cita-cita mereka.
Aku dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku dengan perlahan-lahan bicara untuk menenangkan mereka. Membuat mereka merasa optimis, karena Allah SWT tidak pernah tidur. Aku menyemangati mereka, mimpi harus dikejar, mimpi harus digapai dengan usaha, dengan kejujuran dan dengan niat yang ikhlas dan tentunya baik.
Terkadang ada temanku yang konsultasi dengan pertanyaan yang cukup konyol dan tentunya aku harus menahan rasa sebal dan kesal. “Ra, jurusan yang nanti pas lulus kerjanya banyak duit itu apa? Tapi, aku maunya yang kerjanya dikit.”
Aku tersenyum sambil menahan rasa gemasku. Rasanya ingin aku jambak temanku itu. Pertanyaan yang konyol, semua pekerjaan harus dilakukan dengan banyak usaha. Tidak ada yang langsung mendapatkan kesuksesan secara cuma-cuma. Sedangkan sahabatku mulai mengomel sebal mendengar pertanyaan temanku. Ya, sahabatku itu orangnya memang jutek dan terkadang ketika bicara terasa ketus dan pedas.
***
Aku masih terdiam menahan rasa kecewa yang terpendam. De Javu. Hal yang pernah terjadi 2 kali dalam hidupku akan terulang kembali di masa SMA-ku. Ketika banyak orang membahas tentang pembelian kunci jawaban. Aku hanya dapat bergeming dalam kesunyian. Aku meringis dalam hati. Ya Allah kapan kejujuran akan tertebar? Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Selalu begini. Yang membuatku tercengang adalah orang-orang yang selama ini menjadi rivalku dalam mendapatkan peringkat menjadi gembongnya.
Aku tak bisa berkata-kata apa lagi, aku dengan susah payah membujuk orang-orang terdekatku untuk tidak ikut di jalan yang tidak benar tersebut. Aku dan orang-orang terdekatku belajar mati-matian sebisa kami untuk menghadapi ujian nasional. Aku hanya dapat berserah diri, aku yakin, Allah SWT akan selalu bersama orang-orang yang jujur. Dan aku berdoa dengan sepenuh hati, agar ketidak jujuran di negeri ini sedikit demi sedikit berkurang.
***
“Ra….” Sese meneriaki namaku dari balik pagar rumahku.
“Iya, Se. Masuk aja.” Sahutku.
Sese memasuki rumahku. Lalu, dia mulai menampakkan wajah pucat sepucat warna buah pear. Aku mengernyitkan keningku. “Muka kamu kok pucat sekali, Se?”
Dia menundukkan kepalanya. “Aku takut, Ra. Nanti jam 2 pengumuman SNMPTN. Kata apa-ku, kalau aku nggak dapat SNMPTN, aku kayaknya nggak kuliah deh. Aku kerja aja.” Jelasnya dengan suara bergetar. Apa adalah panggilan untuk ayah. Sese adalah orang chineese. Ya, kami sahabat beda agama. Namun, walau begitu, dia adalah orang yang sangat marah jika tau aku melalaikan sholat.
Aku menepuk pundaknya. “Aku yakin kok, kamu pasti lulus. Universitas mana sih yang mau nolak murid berprestasi kayak kamu.” Hiburku sambil tersenyum. Dia tertawa sambil menggumam “Apaan sih, Ra.”
***
Aku kini sedang terduduk di bawah kaki wali kelasku. Aku menunduk. Aku tidak berani mengangkat wajahku. Aku tidak bisa menahan air mataku. Air mataku jatuh perlahan, lama-kelamaan makin deras. Aku tersedu-sedu. Aku masih tidak percaya dengan nilai yang aku dapatkan. Rasanya aku ingin pingsan.
Aku menutupi mulutku. Aku menggigit bibirku kuat. Kejadian ini terjadi berkali-kali. aku belajar siang malam subuh senja, semua aku habiskan berkutat dengan buku-buku tebal yang membuat kepalaku berputar-putar. Beberapa kali try out, aku selalu mendapat peringkat 3 besar. Beberapa kali nilai try out-ku berada di urutan pertama. Aku terpukul.
Guru-guruku menanyai mengapa nilaiku bisa seperti itu. Aku menjawab dengan tangisku. Badanku berguncang hebat. Aku sudah berusaha sekuat tenaga-ku. Kenapa hanya ini yang aku dapatkan? Haruskah aku memupuskan harapan ibuku lagi?
Wali kelasku mengusap-usap kepalaku. Aku mendongak sambil menatap matanya nanar. Mataku mengucapkan ribuan kata maaf. Maaf yang tak terucapkan, aku tahu beliau juga kecewa. Kerja keras beliau untuk menyampaikan ilmu hanya bisa aku bayarkan dengan nilai kecilku itu. Tiba-tiba guru akuntansi yang sering memanggilku mendekati kami. Guru yang sering dijuluki ‘Maminya Sese dan Ratu’ itu sering sekali dibully teman-temanku karena ketidak jelasan beliau ketika mengajar. Bahkan, sejujurnya aku pun sering ternganga dibuat oleh beliau. Beliau menatapku sedih.
“Ratu jangan sedih, Ibu percaya kamu akan tetap bersinar dimana pun kamu berada. Ibu percaya kamu bisa. Orang yang jujur akan menang nantinya. Percayalah.” Beliau menyemangatiku. Aku tahu beliau tulus mengucapkan kata-kata itu.
“Maafkan Intan, Bu. Maaf.” gumamku disela tangisku yang tak kunjung berhenti. Guru yang sering aku tertawakan justru orang yang merengkuhku ketika aku terjatuh. Sese terdiam kaku melihat aku menangis.
***
Seperti jatuh namun tertimpa tangga pula, setelah pengumuman nilai ujian nasional yang membuatku menangis terpukul, aku diberikan kabar buruk lagi oleh Allah SWT. Tanganku bergetar memegangi mouse. Tatapanku kosong memandangi layar komputer yang bertuliskan bahwa aku tidak lulus SNMPTN. Aku membeku di tempat dudukku. Bibirku kelu. Mataku panas. Nafasku sesak, seakan oksigen telah habis di bumi ini. Kepalaku terasa berputar-putar.
“Ra, nangis aja. Jangan ditahan.” Ujarnya sambil memegangi pundakku. Aku masih bergeming. Bukan hanya bergeming, sepertinya aku berhenti bernafas. “Ra, aku check punya aku ya?” tanyanya. Aku mengangguk kaku.
Semenit kemudian Sese terlonjak girang. Ia dinyatakan lulus SNMPTN. Aku menatapnya dengan senyum perih. Ia menatapku tak enak. “Ra, nangis aja. Jangan ditahan.” Ujarnya lagi. Aku masih diam.
***
Aku seperti boneka, terdiam kaku seperti es. Badanku dingin. Tatapanku kosong. Rambutku acak-acakan. Air mata mengalir tanpa henti di pipiku. Teman-teman yang selama ini konsultasi denganku, semuanya lulus SNMPTN. Mereka satu persatu mengirimkan screenshoot bukti mereka diterima di PTN dan jurusan yang dulunya aku sarankan melalui BBM. Aku hanya membaca namun tidak membalasnya.
Aku terpuruk. Benar-benar terpuruk. Aku merasa Allah SWT itu tidak adil. Dia jahat, kejam. Aku menangis sejadi-jadinya. Bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Ya Rabb? Mengapa? Apa salahku? Aku terus berusaha dengan semaksimal mungkin. Aku tidak pernah meninggalkan sholatku, aku selalu tahajud di sepertiga malam. Aku pun selalu membantu orang lain. Aku selalu baik pada siapa pun.
Aku benar-benar putus asa. Ingin rasanya aku mengakhiri hidupku. Aku telah membuat ibu dan bapakku kecewa. Aku benar-benar rapuh. Aku bahkan sudah 2 hari tak sholat sama sekali dan tidak makan.
***
Terkadang Allah mempunyai banyak cara untuk mencintaimu. Dia tidak akan memberikan ujian yang diluar batas umat-Nya. Sejujurnya aku terluka, aku masih meletakkan impianku di atas sana. Inginku raih secepatnya. Namun, aku percaya ada hikmah yang ingin disampaikan-Nya untuk kita.
Entah itu pelajaran yang tak akan tertebuskan oleh apa pun. Bagiku perlahan melupakan mimpiku sejenak itu perih, pedih bagaikan tersayat. Butuh ribuan tetes air mata, mencoba ikhlas, mencoba tegar, membiarkan Allah SWT yang menggerakkan takdir di hidupku. Bahkan, hingga kini aku masih menyimpan bulir air mata yang sebenarnya ingin tumpah.
Aku, kini menempuh pendidikan di jurusan psikologi di universitas bertaraf internasional. Aku percaya, jika niatku baik, Allah SWT akan mewujudkannya. Aku ikhlas, aku tahu, aku hanya sosok manusia yang mempunyai rencana untuk masa depanku, namun yang berhak atas itu hanya Sang Penguasa bumi yang aku pijak ini. Aku masih ingin mencoba untuk tes masuk fakultas kedokteran tahun depan. Namun, aku telah siap dengan apa pun hasilnya.
Aku, pernah putus asa. Aku pernah sengaja melupakan-Nya. Aku kecewa oleh-Nya. Namun, aku sadar, kesuksesan perlu pengorbanan. Butuh jatuh ribuan kali. Dari keterpurukan aku disadarkan untuk tidak mengingat kebaikanku pada orang lain. Dari air mataku, aku belajar tentang pahit manisnya ujian yang Ia beri. Dari sujud yang sempat kulupukan, aku belajar artinya bangkit dari kesulitan. Dan, kutitipkan pada angin, beberapa butir anganku yang terbang terbawa udara.
***
Mimpi mengajarkanku tentang tujuan,
Mengatur sesuatu agar indah untuk kedepannya,
Namun, Mimpi tanpa sadar membuat terhempas,
Dan mengajarkan pengalaman…
Penulis : Intan Pitaloka