Pilkada Lewat DPR: Demokrasi yang 'Efisien' atau Penjarahan Hak Rakyat?

Pilkada Lewat DPR: Demokrasi yang ‘Efisien’ atau Penjarahan Hak Rakyat?

Spread the love

Bogor – Tak terasa, wacana yang semula muncul di HUT Golkar tahun lalu kini kembali menggelegar—bahkan semakin serius dengan kemungkinan dibahas di ranah keputusan. Ketika Bahlil Lahadalia membangkitkan ide pemilihan gubernur, walikota, dan bupati melalui DPR (atau DPRD, seperti yang dibahas sebelumnya), dan Presiden Prabowo menyemangati dengan alasan “mengurangi permainan uang” dan “efisiensi anggaran,” kita tidak boleh hanya mengangguk semata. Ini bukan sekadar soal biaya atau kecepatan—ini adalah soal jiwa demokrasi yang telah kita bangun selama lebih dari dua dekade. Dan seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Ojo didol rahayu kanggo entek suwene”—jangan jual kebahagiaan untuk sementara kemudahan. Apakah kita bersedia menjual hak langsung memilih—yang merupakan kebahagiaan demokrasi—hanya karena alasan yang seolah-olah memudahkan, tapi justru membuat kita kehilangan yang paling berharga dalam jangka panjang?

Prabowo dan Bahlil berpendapat: pilkada langsung mahal, boros anggaran, dan menjadi sarang politik uang. Ada benarnya di situ—statistik menunjukkan biaya pilkada tahun 2024 mencapai triliunan rupiah, dengan banyak laporan praktik “uang susu,” korupsi, dan intimidasi. Mereka menunjuk ke Malaysia, Singapura, atau India sebagai contoh sistem yang lebih “efisien” karena kepala daerah dipilih oleh parlemen lokal.

Bayangkan ini seperti sebuah pasar yang ramai, di mana setiap hari ribuan warga datang memilih nasi box dari ratusan tukang nasi—perumpamaan yang menggambarkan pilkada langsung yang penuh pilihan. Kadang ada tukang nasi yang jual mahal tapi rasa jelek, atau yang berikan “uang kembalian” agar dibeli. Lalu tiba-tiba, para pemilik pasar mengumumkan: “Supaya tidak ribet dan mahal, dari sekarang ini, kalian tidak boleh memilih sendiri. Kami yang akan memilih satu tukang nasi untuk semua!” Warga heran: “Tapi kenapa kami tidak boleh memilih sendiri rasa yang kami mau?” Para pemilik menjawab: “Karena kalian terlalu banyak, pilihannya terlalu rumit!”

Tetapi efisiensi apa yang dimaksud? Efisiensi dalam pengeluaran uang, atau efisiensi dalam memenuhi kepentingan rakyat? Di negara-negara yang disebutkan, sistem tersebut tumbuh dari konteks sejarah dan sosial yang berbeda—Singapura dengan model otoriter yang terpusat, Malaysia dengan koalisi partai yang kuat, India dengan demokrasi parlemen yang sudah berabad-abad. Apakah model itu cocok dengan Indonesia yang beragam etnis, budaya, dan geografis? Lebih penting, apakah “penghematan uang” akan benar-benar dialihkan ke pendidikan atau kesehatan—atau malah menjadi “uang sisa” yang dicuri oleh elit politik yang lebih terkonsentrasi kekuasaannya? Satirnya, para pemilik pasar menyebut ini “perbaikan sistem,” padahal mereka hanya membuat diri mereka lebih kuat, dan warga lebih terjebak dalam ketidakadilan yang lebih tersembunyi—seperti dipaksa makan bubur yang tidak disukai, hanya karena yang memasaknya bilang “ini lebih efisien dan tidak boros bumbu.”

Salah satu argumen terkuat pendukung adalah pengurangan politik uang. Mereka berpendapat: dengan pilkada melalui parlemen, calon hanya perlu mendekati sedikit elit partai, bukan jutaan pemilih. Ini akan mengurangi kebutuhan untuk mengumpulkan uang dalam jumlah besar.

Ini adalah sesat pandang yang berbahaya. Politik uang tidak hilang—hanya berubah bentuk. Dari “membelikan suara rakyat” menjadi “membelikan dukungan elit partai” atau “memukau dewan dengan janji-jani korporat.” Kita telah melihat bagaimana politik uang beroperasi di dalam parlemen—dari pembelian suara undang-undang hingga pemberian jabatan. Apakah kita ingin memperkuat ruang bagi praktik itu dengan membuat kepala daerah tergantung pada kehendak partai di dewan?

Di sinilah pribahasa Jawa: “Krasa iku ora podo karo ndelok, ndelok iku ora podo karo rasak”—mendengar bukan sama dengan melihat, melihat bukan sama dengan merasakan—berperan penting. Elit bisa berkata mereka “mengetahui apa yang terbaik” untuk rakyat, tapi hanya rakyat yang merasakan kebutuhan sehari-hari—kenaikan harga sembako, kurangnya fasilitas kesehatan, macetnya jalan. Pemilihan tidak langsung membuat elit “ndelok” dari jauh, bukan “rasak” apa yang dirasakan warga. Kajian oleh Institut Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (IDEHA) tahun 2024 menunjukkan bahwa sistem ini cenderung meningkatkan ketergantungan calon pada partai, bukan pada rakyat—seperti tukang nasi yang sekarang hanya perlu merayu para pemilik pasar, bukan warga.

Pernyataan “kedaulatan rakyat dimiliki oleh rakyat dan dilaksanakan secara langsung atau melalui perwakilan” dalam Pasal 1 UUD 1945 adalah pondasi dari demokrasi kita. Pilkada langsung adalah wujud paling konkret dari “kedaulatan rakyat secara langsung”—tempat setiap warga memiliki suara yang sama, tanpa perantara yang bisa memanipulasi keputusan.

Ketika kita mengalihkan pemilihan ke parlemen, kita tidak hanya mengalihkan kekuasaan—kita menurunkan derajat hak rakyat. Apakah perwakilan yang kita pilih di DPRD benar-benar mampu mewakili keinginan semua lapisan masyarakat? Ataukah mereka hanya mewakili kepentingan partai dan kelompok elit yang mendukung mereka? Kajian oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, sistem pemilihan tidak langsung cenderung menghasilkan kepala daerah yang kurang akuntabel kepada rakyat. Karena mereka tidak dipilih langsung, mereka lebih cenderung mengabaikan aspirasi warga dan lebih memperhatikan keinginan partai yang membuat mereka menjabat.

Jika masalahnya adalah biaya dan politik uang, mengapa kita tidak memperbaiki sistem pilkada langsung, bukan menggantinya dengan yang lebih buruk? Ada banyak cara yang bisa dilakukan:

– Mengatur batas pengeluaran kampanye yang ketat dan menegakkannya dengan tegas.
– Membuat sistem pendanaan kampanye yang transparan dan didukung oleh negara.
– Memperkuat pengawasan KPU dan Bawaslu agar lebih mandiri dan tegas terhadap pelanggaran.
– Meningkatkan literasi politik masyarakat agar lebih cerdas dalam memilih dan tidak tergiur oleh uang.

Ini adalah langkah-langkah yang lebih sulit dan membutuhkan waktu, tetapi mereka menjaga esensi demokrasi kita. Mengganti sistem hanya karena ada masalah adalah seperti memotong tangan karena ada luka—tindakan yang ekstrem dan tidak perlu. Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Ojo ngobong omah kanggo numpah kebo”—jangan bakar rumah untuk membunuh sapi. Masalah politik uang dan biaya adalah “kebo” yang perlu ditangani, tapi kita tidak boleh membakar “omah”—yaitu sistem demokrasi langsung yang sudah kita bangun—hanya untuk itu.

Kesimpulan: Demokrasi Tidak Boleh Dibeli dengan “Efisiensi”

Wacana pemilihan kepala daerah melalui DPR adalah ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Dan saya katakan ini dengan tegas: jika kita terjebak dalam alasan “efisiensi” dan “mengurangi permainan uang” yang semu, kita bukan hanya mengubah sistem—kita mencuri hak rakyat.

Demokrasi tidak pernah murah, dan tidak pernah sempurna. Tapi itu adalah sistem yang memberi kekuasaan kepada rakyat, bukan kepada elit. Ketika kita mulai mengurangi peran rakyat dalam proses keputusan politik, kita mulai menjauh dari apa yang membuat Indonesia menjadi negara demokrasi yang terhormat. Wacana ini tidak boleh hanya dibahas oleh para elit di Istora atau Istana—ia harus dibahas di pasar, di kampung, di sekolah, di mana saja rakyat berkumpul. Karena yang akan terkena dampaknya adalah kita semua. Jangan biarkan elit membungkam suara kita dengan nama “kemudahan”—karena kebebasan memilih itu bukan barang yang bisa dibeli atau dijual.

Penulis: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Kordinator Nasional LSM GERAK

error: Content is protected !!