Bogor – Reses DPRD, yang seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan pemerintah, seringkali menjadi sorotan karena praktik-praktik yang menyimpang. Alih-alih menjadi ruang partisipasi yang inklusif, reses justru terkooptasi oleh kepentingan politik praktis, bahkan berpotensi melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Buah tangan dari pemikiran dan perenungan penulis ini berupaya mengupas tuntas persoalan tersebut dari perspektif hukum dan sosial, dengan merujuk pada produk-produk hukum yang relevan, data empiris, dan menawarkan solusi konstruktif untuk mewujudkan reses yang ideal.
Reses, secara implisit, merupakan implementasi dari hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, reses juga merupakan bagian dari kewajiban negara untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk.

Namun, realitas di lapangan seringkali jauh dari ideal. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada tahun 2024, hanya 30% masyarakat yang merasa puas dengan pelaksanaan reses di daerah mereka. Rendahnya tingkat kepuasan ini menunjukkan adanya permasalahan serius dalam pelaksanaan reses, yang perlu diidentifikasi dan diatasi. Sebagian besar responden mengeluhkan kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam proses reses, yang menjadi indikasi adanya distorsi dalam praktik demokrasi perwakilan.
Praktik-praktik yang menyimpang dalam reses berpotensi melanggar hukum, antara lain:
1. Penyalahgunaan Wewenang: Anggota DPRD yang menggunakan reses untuk kepentingan pribadi atau kelompok, seperti kampanye terselubung atau promosi bisnis, dapat dianggap melanggar UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya terkait asas-asas umum pemerintahan yang baik AUPB.
2. Konflik Kepentingan: Anggota DPRD yang memiliki hubungan bisnis atau kepentingan pribadi dengan pihak-pihak yang diundang dalam reses, dapat dianggap melanggar UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN.
3. Penggunaan Anggaran yang Tidak Tepat: Anggaran reses yang digunakan untuk kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan reses, seperti hiburan atau konsumsi berlebihan, dapat dianggap melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4. Diskriminasi: Anggota DPRD yang tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam reses, dapat dianggap melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pelanggaran-pelanggaran hukum ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak citra lembaga DPRD sebagai representasi rakyat. Di sinilah kita melihat paradoks demokrasi: sebuah sistem yang seharusnya menjamin keadilan dan kesejahteraan, justru seringkali menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperkaya diri sendiri. Kita perlu merenungkan kembali hakikat kekuasaan: apakah kekuasaan itu adalah tujuan, ataukah hanya sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia?
Selain aspek hukum, praktik reses juga perlu dianalisis dari perspektif sosial dan politik. Reses seringkali menjadi arena pertarungan kepentingan antara berbagai kelompok masyarakat, seperti pengusaha, petani, buruh, dan kelompok minoritas. Anggota DPRD yang tidak mampu mengakomodasi kepentingan seluruh kelompok masyarakat, dapat memicu konflik sosial dan politik. Oleh karena itu, anggota DPRD perlu memiliki kemampuan komunikasi dan mediasi yang baik, serta komitmen untuk mewakili seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, kita dapat belajar dari ajaran Konfusius tentang pentingnya harmoni dan keseimbangan dalam masyarakat. Seorang pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang mampu mendengarkan suara dari berbagai lapisan masyarakat, dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak.
Dalam konteks ini, gugatan hukum dapat menjadi instrumen kontrol masyarakat yang efektif untuk mengawasi dan mengkritisi pelaksanaan reses. Warga negara dapat mengajukan gugatan citizen lawsuit gugatan warga negara ke pengadilan, jika menemukan indikasi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan reses. Gugatan ini didasarkan pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh informasi publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dengan demikian, gugatan hukum dapat menjadi mekanisme koreksi yang penting dalam sistem demokrasi. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa hukum bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini. Kita perlu membangun kesadaran moral dan etika di kalangan penyelenggara negara, agar mereka memiliki komitmen yang kuat untuk melayani kepentingan rakyat.
Untuk mewujudkan reses yang ideal dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan partisipasi, beberapa rekomendasi dapat diajukan:
1. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas: DPRD harus membuat peraturan yang jelas dan rinci tentang pelaksanaan reses, termasuk anggaran, agenda, mekanisme pertanggungjawaban, dan mekanisme umpan balik dari masyarakat.
2. Penguatan Pengawasan Internal dan Eksternal: DPRD harus membentuk komite etik yang independen untuk mengawasi pelaksanaan reses, serta melibatkan masyarakat sipil dalam proses pengawasan, termasuk media massa dan organisasi non-pemerintah.
3. Peningkatan Kapasitas Anggota DPRD: DPRD harus memberikan pelatihan kepada anggota DPRD tentang etika, hukum, prinsip-prinsip good governance, serta keterampilan komunikasi dan mediasi.
4. Peningkatan Kesadaran Hukum dan Partisipasi Masyarakat: Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus meningkatkan kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat tentang hak-hak mereka dalam berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, serta memberikan pelatihan tentang cara menyampaikan aspirasi yang efektif.
5. Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil: Aparat penegak hukum harus menindak tegas setiap pelanggaran hukum yang terjadi dalam pelaksanaan reses, tanpa pandang bulu, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berani melaporkan pelanggaran.
Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi ini, diharapkan pelaksanaan reses dapat menjadi lebih efektif, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan aspirasi masyarakat secara lebih baik. Kita perlu menyadari bahwa perubahan tidak akan terjadi secara instan. Perubahan membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjutan, serta komitmen dari semua pihak. Namun, jika kita memiliki visi yang jelas dan semangat yang kuat, kita pasti dapat mewujudkan reses yang ideal, yang benar-benar menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan pemerintah.
Reses adalah instrumen penting dalam sistem demokrasi perwakilan, namun rentan terhadap penyimpangan. Dengan memahami perspektif hukum dan sosial, merujuk pada produk-produk hukum yang relevan, data empiris, diharapkan kita dapat mewujudkan reses yang ideal, yang benar-benar menjembatani aspirasi rakyat dan kebijakan pemerintah. Gugatan hukum sebagai instrumen kontrol masyarakat, dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengawasi dan mengkritisi pelaksanaan reses, serta mendorong perubahan yang positif dalam sistem demokrasi kita. Pada akhirnya, kita perlu merenungkan kembali makna demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukanlah sekadar mekanisme pemilihan umum, tetapi juga sebuah sistem nilai yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan partisipasi. Jika kita ingin mewujudkan demokrasi yang sejati, kita perlu mengubah paradigma kita, dari paradigma kekuasaan menjadi paradigma pelayanan.
Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)
Penulis adalah Jurnalis Senior di Pewarna Indonesia, aktivis sosial, dan rohaniawan yang aktif dalam salah satu sinode Gereja di Indonesia. Dengan pengalaman luas di bidang jurnalistik dan pelayanan masyarakat, Romo Kefas memiliki perhatian mendalam terhadap isu-isu keadilan sosial, tata kelola pemerintahan, dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.