Klik berita – Kota Bekasi kembali terusik. Kali ini, bukan soal macet atau banjir, tapi soal dugaan “perkawinan” antara dana reses dan kepentingan partai politik. Ketua DPD PSI Kota Bekasi, Tanti Herawati, dituding mengalihkan dana aspirasi rakyat untuk agenda kaderisasi partai. Spanduk reses bersanding mesra dengan spanduk partai? Ini bukan lagi soal etika, tapi soal akuntabilitas dan integritas.
Dana reses adalah amanah. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk menyerap aspirasi, bukan untuk memperkuat cengkeraman partai. Ketika dana ini diselewengkan, kepercayaan publik terkoyak. Masyarakat Bekasi bukan hanya kehilangan haknya untuk didengar, tapi juga menjadi korban dari praktik politik yang kotor. Lebih dari itu, tindakan ini dapat dikategorikan menyimpang dari pengelolaan keuangan negara yang tertib, efisien, dan bertanggung jawab, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sebagai partai yang selalu menggaungkan anti-korupsi, PSI seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas. Namun, isu ini justru menjadi tamparan keras bagi citra mereka. Sikap bungkam Tanti Herawati hanya memperkeruh suasana dan memicu spekulasi liar. Apakah ini bukti bahwa slogan anti-korupsi hanya pemanis bibir belaka? Sikap ini semakin disayangkan karena bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.
Di tengah hiruk pikuk politik, muncul pertanyaan siapa yang berani mengawal kebenaran dan memastikan dana reses digunakan sebagaimana mestinya. Dana reses yang seharusnya menjadi sarana untuk menyerap aspirasi masyarakat, justru diduga diselewengkan untuk kepentingan partai. Penggunaan dana reses yang tidak sesuai peruntukannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menuntut adanya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu.
Kasus ini bukan hanya soal dugaan penyimpangan dana, tapi juga soal moralitas dan etika politik. Apakah para wakil rakyat benar-benar peduli dengan aspirasi masyarakat, atau hanya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan partai? Akankah kebenaran terungkap, atau kasus ini akan menguap begitu saja? Pertanyaan ini semakin relevan mengingat pertanggungjawaban penggunaan dana reses diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Masyarakat Bekasi sudah muak dengan janji-janji manis para politisi. Mereka butuh bukti nyata bahwa hukum masih tajam dan berpihak pada kebenaran. Kasus ini adalah ujian bagi aparat penegak hukum. Jika mereka gagal membuktikan keadilan, maka runtuhlah kepercayaan publik dan tercorenglah citra Bekasi sebagai kota yang bersih. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas akan menjadi pelajaran bagi seluruh penyelenggara negara, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan.
Jangan biarkan kasus ini berlalu begitu saja. Masyarakat Bekasi harus bersatu dan menuntut keadilan. Awasi setiap gerak-gerik para wakil rakyat dan jangan ragu untuk melaporkan setiap indikasi penyimpangan. Karena hanya dengan tindakan nyata, kita bisa mewujudkan Bekasi yang lebih baik. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi penggunaan dana publik adalah wujud dari pelaksanaan asas transparansi yang dijamin oleh undang-undang, sehingga setiap warga negara memiliki hak dan tanggung jawab untuk memastikan keuangan negara dikelola secara benar dan bertanggung jawab.
By Aris Benlu,Aktivis dan Tokoh Muda Bekasi Utara