Titik Rawan Konstitusional Implementasi Putusan MK tentang Perpanjangan Masa Jabatan Anggota DPRD

Titik Rawan Konstitusional Implementasi Putusan MK tentang Perpanjangan Masa Jabatan Anggota DPRD

Spread the love

Oleh: Ahmad Matdoan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional—Presiden/Wapres, DPR, DPD—dengan Pemilu lokal—kepala daerah dan DPRD—akan berlaku pada 2029. Konsekuensinya, terdapat jeda maksimal dua setengah tahun antara dua jenis pemilu. Namun, di balik niat menyederhanakan sistem elektoral, putusan ini menyimpan titik rawan konstitusional: isu perpanjangan masa jabatan Anggota DPRD.

Dalam konstruksi hukum positif, Undang-Undang Pemilu (UU No. 7/2017) dan Undang-Undang MD3 (UU No. 17/2014 jo. UU No. 13/2019) tidak mengenal istilah perpanjangan masa jabatan. Keduanya hanya mengatur soal masa jabatan lima tahunan dan mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) untuk mengisi kursi kosong. Dengan demikian, jika masa jabatan DPRD diperpanjang semata demi menyesuaikan jadwal pemilu lokal, kebijakan itu tidak memiliki pijakan hukum eksplisit.

Lebih jauh, Pasal 22E UUD 1945 menegaskan prinsip pemilu setiap lima tahun sekali. Periodesasi ini adalah jaminan konstitusional bagi rakyat untuk memperbarui wakilnya secara berkala. Perpanjangan jabatan tanpa dasar undang-undang yang sah dapat dipandang melanggar spirit konstitusi dan mereduksi kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, solusi transisi sebaiknya tidak ditempuh melalui perpanjangan masa jabatan, melainkan dengan memanfaatkan mekanisme PAW. Kursi DPRD yang kosong dalam masa transisi bisa diisi oleh calon legislatif dengan suara terbanyak berikutnya pada pemilu terakhir. Skema ini menghadirkan tiga keuntungan. Pertama, ia sejalan dengan spirit kaderisasi partai politik, memberi ruang regenerasi bagi kader muda. Kedua, ia membantu mengatasi pengangguran, sebab membuka kesempatan kerja politik baru bagi calon legislatif yang sebelumnya belum terpilih. Ketiga, ia mewujudkan asas keadilan, karena wakil rakyat tetap berasal dari orang-orang yang memang sudah mendapatkan legitimasi suara, meski belum menduduki kursi utama.

Dengan mekanisme ini, kebutuhan penyesuaian jadwal pemilu tetap terpenuhi, tetapi prinsip konstitusi tidak dikorbankan. MK telah memberi arah, namun tanggung jawab terbesar ada di tangan DPR dan Pemerintah untuk merumuskan norma transisi yang tegas, adil, dan konstitusional.

Putusan MK semestinya tidak dimaknai sebagai tiket untuk memperpanjang masa jabatan secara serampangan. Ia harus dibaca sebagai dorongan untuk membenahi tata kelola pemilu agar lebih sederhana, partisipatif, dan sesuai konstitusi. Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar kursi DPRD, melainkan kualitas demokrasi dan penghormatan kita pada amanat UUD 1945.

Editor Romo Kefas

error: Content is protected !!