Bogor – Negara merugi triliunan rupiah akibat korupsi yang menggurita, sementara RUU Perampasan Aset terus dikangkangi kepentingan politik. Di tengah kebuntuan ini, pertanyaan mendesak muncul: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), saatnya palu godam menghantam para koruptor atau justru menjadi petaka bagi demokrasi yang kita junjung? “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak,” begitulah petuah Sunda mengingatkan, bahwa dalam menghadapi masalah korupsi yang begitu besar, seluruh elemen bangsa harus bersatu padu dan bergotong royong.
Korupsi, laksana kanker ganas, tak hanya menguras pundi-pundi negara, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik. Hukuman penjara, meski esensial, seringkali gagal memulihkan kerugian yang diderita. Oleh karena itu, gagasan pemiskinan koruptor semakin mengemuka sebagai solusi yang lebih radikal. Namun, implementasinya membutuhkan fondasi hukum yang kokoh, yaitu RUU Perampasan Aset.
Pertanyaan mendasar yang patut direnungkan adalah: mengapa kita hanya terpaku pada pemenjaraan? Realitasnya, fasilitas mewah di balik jeruji besi, remisi yang diobral, dan celah hukum yang dieksploitasi kerap kali memungkinkan para koruptor untuk terus menikmati hasil jarahannya. Hukuman badan saja tak cukup. Negara harus berani menyita seluruh aset yang terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, tanpa ampun. Di sinilah RUU Perampasan Aset memegang peranan krusial, memberikan landasan hukum yang kuat bagi negara untuk melacak, membekukan, dan menyita aset-aset hasil korupsi, bahkan tanpa harus menunggu adanya vonis pidana (non-conviction based asset forfeiture).
RUU ini bertujuan untuk memungkinkan negara merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, terutama korupsi, tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelakunya. Tujuan utamanya adalah memiskinkan pelaku kejahatan dan memulihkan kerugian keuangan negara. Aset yang dapat dirampas meliputi aset hasil tindak pidana (termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan), aset yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan pelaku. Lebih jauh, RUU ini juga mengatur tentang perampasan aset di luar negeri, yang akan membantu aparat penegak hukum dalam menyita aset hasil korupsi yang disembunyikan di mancanegara.
Namun, bagaimana jika pengesahan RUU ini terus menemui jalan buntu? Apakah pemerintah perlu mengambil langkah ekstrem dengan menerbitkan Perppu? Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, berpendapat bahwa jika RUU ini dianggap mendesak, Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu. Akan tetapi, pandangan berbeda disampaikan oleh Menko Polhukam, Yusril Ihza Mahendra, yang menilai bahwa belum ada urgensi yang memaksa untuk menerbitkan Perppu, karena regulasi dan lembaga yang ada saat ini dianggap masih efektif.
Di sisi lain, Transparency International Indonesia (TII) memperkirakan bahwa negara kehilangan potensi pemasukan hingga triliunan rupiah setiap tahun akibat mandeknya RUU Perampasan Aset. Tanpa instrumen hukum yang kuat, negara kesulitan memulihkan kerugian akibat korupsi, terutama jika aset hasil kejahatan tak dapat disita karena pelaku meninggal, melarikan diri, atau belum divonis. “Jer basuki mawa béa,” kata orang Jawa, bahwa untuk mencapai tujuan yang mulia, seperti memberantas korupsi, dibutuhkan pengorbanan dan keberanian mengambil risiko, termasuk mempertimbangkan penerbitan Perppu.
Tentu saja, gagasan ini bukan tanpa tantangan. Asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi. Proses pembuktian harus transparan dan akuntabel. Jangan sampai semangat memberantas korupsi justru menjadi alat untuk menzalimi pihak yang tak bersalah. RUU Perampasan Aset harus dirancang dengan cermat, memastikan adanya mekanisme pengawasan yang ketat dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang tak bersalah. Kontroversi pun mencuat terkait aturan perampasan aset tersangka apabila nilainya tak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang dimiliki.
Namun, jika kita mampu mengatasi tantangan tersebut, pemiskinan koruptor yang didukung oleh RUU Perampasan Aset bisa menjadi senjata yang ampuh. Selain mengembalikan kerugian negara, langkah ini akan memberikan efek jera yang lebih kuat. Para calon koruptor akan berpikir dua kali sebelum melancarkan aksinya, karena mereka tahu, jika tertangkap, bukan hanya penjara yang menanti, tetapi juga kehilangan seluruh kekayaannya.
Pemiskinan koruptor dan RUU Perampasan Aset bukanlah solusi tunggal, melainkan bagian integral dari strategi pemberantasan korupsi yang komprehensif. Selain penindakan, kita juga harus memperkuat pencegahan, meningkatkan transparansi, dan membangun budaya anti-korupsi di semua lini.
Dengan kombinasi strategi yang tepat, kita bisa berharap suatu saat nanti korupsi benar-benar bisa dienyahkan dari bumi pertiwi. RUU Perampasan Aset harus segera disahkan, dengan memastikan bahwa undang-undang ini dirancang untuk melindungi hak-hak semua pihak dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah terus mengupayakan agar RUU ini dapat segera disahkan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sementara itu, penerbitan Perppu sebagai opsi alternatif perlu dipertimbangkan secara serius, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan hak asasi manusia. Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita: akankah kita terus membiarkan korupsi merajalela, atau berani mengambil langkah tegas demi menyelamatkan masa depan bangsa? Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih menjadi penonton yang pasrah, atau menjadi pelaku perubahan yang berani.
Oleh: Kefas Hervin Devananda alias Romo Kefas (Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Wasekjen Parkindo)

