Jakarta – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga saat ini, terdapat 9,9 juta masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah. Untuk menutupi backlog atau defisit perumahan tersebut, dibutuhkan peran pemerintah melalui kebijakan fiskal yang tepat.
“Pemerintah melihat rumah adalah kebutuhan dasar dan Pemerintah harus hadir. Jadi, dukungan terhadap sektor perumahan ada beberapa skema. Ini akan terus kami evaluasi, seberapa besar kemampuan fiskal untuk dukungan ini akan kami evaluasi dari tahun ke tahun,” kata Direktur Sistem Manajemen Investasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan (kemenkeu) Saiful Islam dalam konferensi pers di Kantor Staf Presiden di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Menurut Saiful, selain Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), selama ini Pemerintah memiliki sejumlah program fiskal lain untuk mengatasi persoalan backlog rumah. Misalnya, insentif Pajak Pertambahan Nilai atas Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 50-100 persen untuk hunian dengan harga jual tertinggi Rp5 miliar, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 120/2023.
Kemudian, pemberian Bantuan Biaya Administrasi (BBA) senilai Rp4 juta per rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2023.
Juga ada dukungan rumah bagi masyarakat miskin melalui bantuan Rumah Sederhana Terpadu (RST), yakni insentif fiskal sebesar Rp20 juta yang pemberiannya dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial.
“Kami memastikan akan terus mengevaluasi kebijakan fiskal untuk sektor perumahan itu,” tegas Saiful.
Dana Tapera
Terkait dengan Tapera, Saiful menjelaskan, dana Tapera tidak akan digunakan untuk belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terdapat tiga skema pengelolaan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera sejak badan ini resmi dibentuk sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Pertama, dana modal kerja bagi BP Tapera yang diberikan pemerintah melalui APBN 2018 senilai Rp2,5 triliun. Dana ini digunakan untuk pemenuhan biaya operasional berbagai program serta investasi BP Tapera.
Kedua, alihan dana kelola dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) ke BP Tapera. Bapertarum-PNS berhenti beroperasi karena terbitnya UU 4/2016 yang kemudian fungsinya dilanjutkan oleh BP Tapera. Dana aset dari Bapertarum-PNS dialihkan ke BP Tapera pada 2018 sebesar Rp11,88 triliun.
“Dana peserta aparatur negeri sipil (ASN) eks Bapertarum-PNS saat ini belum dilanjutkan karena Peraturan Menteri Keuangan (PMK) belum dikeluarkan,” jelas Saiful.
Ketiga, dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dalam APBN. Aliran dana FLPP ini disebut sebagai tabungan pemerintah pada BP Tapera. Sejak 2010 hingga kuartal I-2024, total dana FLPP yang diterima oleh BP Tapera mencapai Rp105,2 triliun.
Menimbang berbagai kondisi itu, Saiful menggarisbawahi dana simpanan peserta Tapera tidak masuk ke dalam skema APBN. Dana Tapera berbasis pada akun individual (individual account) dalam bank kustodian per peserta, sehingga bisa diketahui riwayat dana dari masing-masing peserta.
Saiful memastikan dana Tapera dikelola di instrumen investasi oleh manajer investasi profesional dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara reguler.
Pengawasan Tapera
Dalam konferensi pers tersebut, terungkap bahwa pengawasan terhadap dana kelolaan BP Tapera nantinya tidak hanya dilakukan oleh OJK, namun juga lintas Kementerian/Lembaga lain.
“Pengawasannya itu tidak hanya oleh OJK, tapi juga oleh Komite Tapera, dan komite lain tadi sudah disampaikan oleh Bapak, Ibu, ada dari PUPR, ada dari Kementerian Keuangan, kemudian ada juga dari Kementerian Ketenagakerjaan, dan staf profesional,” kata Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jasmi.
Jasmi menjelaskan bahwa Tapera merupakan sui generis, atau dilandasi oleh jenis aturan hukum yang mengatur hal-hal spesifik. Dalam hal ini, pengawasan terhadap tabungan wajib Tapera telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), serta POJK NO. 20 TAHUN 2022 Tentang Pengawasan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat oleh Otoritas Jasa Keuangan.
“Ada Undang-Undang tentang Tapera, ada PP, dan juga bahkan secara khusus, OJK sudah menerbitkan peraturan OJK yang tadi. Tapera ini adalah sui generis,” kata Jasmi. (***)