Pangkalpinang – Perkembangan dunia digital sudah menyentuh pada setiap aspek kehidupan, baik hubungannya dengan politik, hukum, budaya, maupun kehidupan sosial. Perubahan dalam bentuk modernisasi membawa banyak manfaat. Dengan era digitalisasi ini, setiap potret pribadi mudah ditelusuri, khususnya melalui pemanfaatan media sosial. Melalui media virtual ini semakin mudah bagi setiap manusia untuk saling terhubung, bahkan kepada kerabat terjauh oleh jarak dan waktu.
Penggunaan media sosial sebagai ruang interaksi baru memiliki banyak kemudahan, tetapi juga memiliki dampak negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif yang bisa ditimbulkan yakni banyaknya berita hoaks, penipuan, bocornya informasi pribadi, hingga terjadinya kasus kekerasan seksual. Pada kasus yang disebutkan terakhir, bahkan saat ini menjadi sangat sering ditemui pada setiap respons dan komentar di unggahan atau postingan pengguna dalam bentuk pelecehan seksual, sehingga pelecehan kini tak hanya sering dijumpai pada tindakan yang berupa perbuatan bersifat fisik, tetapi juga non-fisik.
Berdasarkan data yang diperoleh Komnas Perempuan, ada delapan jenis kekerasan seksual yang difasilitasi oleh kehadiran teknologi, mulai dari pelecehan di ruang-ruang maya, peretasan, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga ancaman penyebaran foto, dan video intim. Kekerasan dan pelecehan seksual berhubungan erat dengan persoalan perilaku.
Darmastut (2011) dalam Cangara (2013), menjelaskan bahwa salah satu pengaruh perilaku negatif atas lahirnya kebebasan dalam penggunaan internet untuk jejaring sosial ialah penyimpangan seksual, menghujat, dan memfitnah orang lain, sehingga bisa menimbulkan delik hukum. Sedangkan Giles (2003) menyebutkan, terdapat tiga efek langsung dari paparan kekerasan media, yaitu adanya perilaku imitation (meniru), excitation (transfer eksitasi), dan dessensitive (menjadi tidak sensitive).
Efek yang paling dikhawatirkan jelas adalah perilaku meniru, di mana pelaku yang telah sering terpapar media ini cenderung untuk berusaha meniru apa yang ditontonnya dari media. Lebih daripada itu, penyalahgunaan internet juga berdampak pada aspek psikologis korbannya. Meskipun dampak ini lebih bersifat individual, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa efeknya jauh lebih besar daripada kerugian fisik atau materil.
Bentuk Pelecehan Seksual
Kekerasan dan pelecehan seksual telah bertransformasi tidak hanya di ruang publik, tetapi juga merambah di dunia maya. Media sosial juga bisa menjadi tempat terjadinya tindakan keduanya. Adapun menurut Rape Abuse & Incest Nasional Network (RAINN) yang dikutip dari Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), bentuk-bentuk pelecehan seksual sebagai berikut:
- Komentar dan lelucon seksual tentang tubuh seseorang;
- Memberikan siulan pada orang lain di depan umum;
- Ajakan untuk berhubungan intim atau tindakan seksual lainnya;
- Menyebarkan rumor tentang aktivitas seksual orang lain;
- Menyentuh diri sendiri secara seksual di depan orang lain;
- Berbicara tentang kegiatan seksual dirinya sendiri di depan orang lain;
- Sentuhan seksual, yaitu menyentuh bagian tubuh seseorang tanpa izin;
- Menampilkan gambar, video, cerita, atau benda seksual pada orang lain.
Mencegah Kekerasan Seksual di Ruang Virtual
Dalam setiap tindakan yang ditimbulkan, pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk kekerasan ataupun pelecehan seksual. Salah satu yang dapat dicegah dengan memanfaatkan fitur “Privasi” yang ditawarkan oleh setiap platform, baik di Instagram, Facebook, X (Dulu Twitter), TikTok, YouTube, ataupun media sosial lainnya. Dengan fitur tersebut, pengguna dapat menyeleksi siapa saja yang bisa melihat postingan yang dibagikan. Selain itu, penting bagi pengguna media sosial untuk memahami hal-hal yang bisa dibagikan, dan yang tidak seharusnya dibagikan seperti kontak pribadi, alamat rumah, pekerjaan, dan dokumen penting lainnya.
Selain itu, Atikah Dewi Utam (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung) dalam jurnalnya menyimpulkan adanya beberapa tindakan pencegahan untuk meminimalisir terjadinya kekerasan seksual melalui media internet. Tindakan advokasi, seperti mendorong pembahasan UU tindak kejahatan seksual, termasuk meningkatkan sanksi hukuman pelaku kejahatan seksual, dan membuat video dokumenter tentang bahaya kejahatan seksual. Kemudian tindakan preventif, seperti membuat program IT yang dapat memblokir hingga memberantas para predator seks, penguatan sistem keamanan, dan pengamanan bagi masyarakat.
Sanksi Pidana Kejahatan Seksual
Sebagai upaya preventif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual maupun pelecehan seksual, terlebih di ruang media sosial, para pengguna diharapkan dapat secara sadar dan berani untuk melaporkan tindakan disertai dengan pembuktian awal, karena setiap pelaku kejahatan seksual dapat dipidana. Bagi pelaku dalam kategori memberikan komentar bernada seksualitas dapat dijerat dengan Pasal 5 UU TPKS tentang pelecehan seksual nonfisik.
Selain itu, pasal tentang pelecehan di media sosial juga termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik. Hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual berbasis elektronik diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS. Selain ketentuan dalam UU TPKS, komentar bernada pelecehan juga dilarang oleh UU ITE dan perubahannya dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 1 angka 1 UU 19/2016.
Dalam upaya memerangi pelecehan seksual yang sering terjadi diperlukannya dukungan, serta kerja sama semua pihak, baik individu, masyarakat, perusahaan sosial media terkait, bahkan pemerintah. Masyarakat perlu lebih sadar akan masalah pelecehan seksual yang juga bisa terjadi secara online, serta perlunya kampanye anti-kekerasan, dan pendidikan pencegahan pelecehan seksual dengan cara bijak menggunakan media sosial dari lembaga terkait.
Sumber : Diskominfo Babel